Palangka Raya (ANTARA) - Pada awal tahun 2020 ini tensi dinamika politik di daerah diyakini akan kembali meningkat. Pasalnya, pada tahun ini publik kembali disuguhi agenda besar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 270 daerah seantero Nusantara, dengan rincian sembilan pemilihan Gubernur pada level provinsi, 224 pemilihan Bupati pada tingkat Kabupaten, serta 37 pemilihan wali kota pada tingkat Kotamadya.
Masih teringat di benak kita semua bagaimana agenda akbar pemilihan presiden (Pilpres) yang berbarengan dengan pemilihan legislatif (Pileg) yang lalu bak peperangan The Avengers vs Thanos yang berimplikasi pada terkoyaknya jalinan kebangsaan kita oleh polarisasi pilihan politik yang berbeda.
Seiring desentralisasi peran pemimpin daerah kini menjadi sangat vital. Sejalan dengan pendapat Benjamin Barber (2013) dalam bukunya yang berjudul “If Mayor Ruled The World: Dysfunctional Nations, Rising Cities” menggambarkan bahwa pemimpin di daerah kini menghadapi tantangan yang sangat besar dalam hal percepatan pembangunan.
Menurutnya tantangan pembangunan daerah sedemikian kompleks bersifat multidimensi seiring dinamika lokal sekaligus gonjang-ganjing arus global. Sehingga ekspektasi masyarakat akan kapasitas dan kapabilitas pemimpin daerah menjadi sebuah ‘aksesoris’ yang wajib melekat pada seorang pemimpin daerah.
Provinsi Kalimantan Tengah menjadi salah satu daerah yang akan menyelenggarakan hajatan akbar Pilkada pada tahun 2020 ini, yaitu kontestasi pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur. Provinsi terluas di pulau Kalimantan ini masih menyimpan potensi pembangunan yang sangat besar.
Sumber Daya Alam (SDA) terhampar luas dengan kekayaan flora dan fauna yang beragam. Meskipun demikian, meminjam pandangan klasik terkait dengan Kutukan Sumber Daya Alam (Resource Curse Theory), dimana menurut para ahli daerah yang mempunyai SDA yang melimpah cenderung mempunyai korelasi negatif terhadap kesenjangan ekonomi antar lapisan masyarakat.
Keberlimpahan tersebut juga setali tiga uang dengan ketidakefektifan pemerintahan yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat yang kian menjadi fatamorgana. Pandangan tersebut bisa saja berjalin kelindan dengan kondisi eksisting kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Kalimantan Tengah dewasa ini.
Kita harus jujur mengakui Provinsi ini masih terpaku pada pendekatan ekstraktif dalam hal pengelolaan SDA. Sementara pada tataran ideal semestinya pengelolaan SDA kita harus menitikberatkan pada industri hilirisasi. Sehingga pendulum pengelolaan SDA yang bersifat ekstraktif bisa bergeser pada pola produktif, yang tentu saja mempunyai nilai tambah (added value) bagi pembangunan ekonomi dan akan menyentuh level mikro ekonomi rakyat Kalimantan Tengah.
Kita mesti bersepakat bahwa kutub pengelolaan SDA kita masih mengalami perdebatan hebat antara paradigma produksi yang berkiblat pada ekstraktif ataukah paradigma konservasi yang bermazhab pada keberlanjutan (sustainable).
Seiring penunjukan Provinsi Kalimantan Timur sebagai Ibukota Negara semakin menjadi semacam alarm peringatan bagi Kalimantan Tengah untuk juga bersadar dan bersiap diri sebagai Provinsi penopang Ibukota Baru.
Salah satu yang harus dipersiapkan adalah kapasitas pemerintahan karena kualitas pemerintahan menjadi unsur yang vital terhadap daya saing suatu daerah. Provinsi ini harus segera berbenah memacu birokrasi sebagai mesin pembangunan di daerah untuk bergerak dinamis, gesit dan responsif .Mesin birokrasi daerah akan sangat ditentukan oleh kapasitas nahkoda yaitu pemimpin daerah.
Sirkulasi Kepemimpinan
Pilkada pada hakikatnya adalah sebuah wahana estafet kepemimpinan dimana sirkulasi kepemimpinan diharapkan mampu berjalan dengan baik, sehingga akan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas mumpuni, yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Namun, data dan fakta di lapangan belum berpihak demikian. Pilkada kita masih menyimpan segudang pekerjaan rumah yang tidak sederhana. Proses Pilkada masih dipahami sebatas pada sirkulasi kekuasaan belaka. Kualitas Pilkada kita masih sejalan dengan malnutrisi’nya demokrasi kita yang acapkali tersandera dengan ruwetnya oligarki partai politik yang menggurita.
Tahun politik 2020 ini semestinya dimaknai secara konstruktif oleh seluruh komponen masyarakat di Kalimantan Tengah. Kita wajib menjadikan momen ini untuk arena ‘naik kelas’. Dengan kata lain menaikkan kualitas kontestasi pilkada kita bukan hanya sebagai estafet kekuasaan semata, namun ianya adalah sebagai arena maraton untuk melahirkan pemimpin Kalimantan Tengah yang mampu menggerakkan seluruh komponen untuk berlari kencang mengejar kemajuan pembangunan Provinsi lainnya di pulau kalimantan.
Pilkada serentak 2020 adalah momen yang sangat monumental untuk para putra-putri terbaik Kalimantan Tengah untuk hadir bukan hanya sebagai pekerja politik musiman semata, tetapi juga harus menunjukkan kapasitas diri yang terbalut etika negarawan yang konsisten memperjuangkan kepentingan publik daripada kepentingan golongan yang tidak jarang membuat rumit.
Pilpres 2019 lalu sudah lebih dari cukup memberikan kita pelajaran yang sangat berharga bahwa persatuan bangsa adalah segala-galanya. Kontestasi ke depan mesti mengedepankan politik santun jauh daripada perpecahan, isu SARA, dan pragmatis semata.
Kita membutuhkan pemimpin yang tak menghalalkan segala janji saja, namun pemimpin yang mempunyai kapasitas akademis teknokratis yang mumpuni. Kebijakan publik kini mensyaratkan perumusan kebijakan berbasis kajian (bukti) atau yang familiar disebut Evidence Based Policy (EBP), sehingga menuntut pemimpin tersebut untuk terus meningkatkan kapasitas berbasis pengetahuan keilmuan untuk menjadi nahkoda yang mampu memacu kompas pembangunan daerah menuju sebesar-sebesarnya kesejahteraan masyarakat Kalimantan Tengah.
Dengan tetap mengilhami semangat Huma Betang, semoga Pilkada 2020 ini para kontestan yang akan berkompetisi tetap konsisten men-dialektika-kan berbagai gagasan konstruktif demi kemajuan pembangunan Kalimantan Tengah di masa depan.
Penulis : Farid Zaky Y, S.Sos, M.Si
Dosen FISIPOL UMP, Peneliti Muda pada Institute of Regional Development
Political Studies (IRDEPoS)
Masih teringat di benak kita semua bagaimana agenda akbar pemilihan presiden (Pilpres) yang berbarengan dengan pemilihan legislatif (Pileg) yang lalu bak peperangan The Avengers vs Thanos yang berimplikasi pada terkoyaknya jalinan kebangsaan kita oleh polarisasi pilihan politik yang berbeda.
Seiring desentralisasi peran pemimpin daerah kini menjadi sangat vital. Sejalan dengan pendapat Benjamin Barber (2013) dalam bukunya yang berjudul “If Mayor Ruled The World: Dysfunctional Nations, Rising Cities” menggambarkan bahwa pemimpin di daerah kini menghadapi tantangan yang sangat besar dalam hal percepatan pembangunan.
Menurutnya tantangan pembangunan daerah sedemikian kompleks bersifat multidimensi seiring dinamika lokal sekaligus gonjang-ganjing arus global. Sehingga ekspektasi masyarakat akan kapasitas dan kapabilitas pemimpin daerah menjadi sebuah ‘aksesoris’ yang wajib melekat pada seorang pemimpin daerah.
Provinsi Kalimantan Tengah menjadi salah satu daerah yang akan menyelenggarakan hajatan akbar Pilkada pada tahun 2020 ini, yaitu kontestasi pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur. Provinsi terluas di pulau Kalimantan ini masih menyimpan potensi pembangunan yang sangat besar.
Sumber Daya Alam (SDA) terhampar luas dengan kekayaan flora dan fauna yang beragam. Meskipun demikian, meminjam pandangan klasik terkait dengan Kutukan Sumber Daya Alam (Resource Curse Theory), dimana menurut para ahli daerah yang mempunyai SDA yang melimpah cenderung mempunyai korelasi negatif terhadap kesenjangan ekonomi antar lapisan masyarakat.
Keberlimpahan tersebut juga setali tiga uang dengan ketidakefektifan pemerintahan yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat yang kian menjadi fatamorgana. Pandangan tersebut bisa saja berjalin kelindan dengan kondisi eksisting kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Kalimantan Tengah dewasa ini.
Kita harus jujur mengakui Provinsi ini masih terpaku pada pendekatan ekstraktif dalam hal pengelolaan SDA. Sementara pada tataran ideal semestinya pengelolaan SDA kita harus menitikberatkan pada industri hilirisasi. Sehingga pendulum pengelolaan SDA yang bersifat ekstraktif bisa bergeser pada pola produktif, yang tentu saja mempunyai nilai tambah (added value) bagi pembangunan ekonomi dan akan menyentuh level mikro ekonomi rakyat Kalimantan Tengah.
Kita mesti bersepakat bahwa kutub pengelolaan SDA kita masih mengalami perdebatan hebat antara paradigma produksi yang berkiblat pada ekstraktif ataukah paradigma konservasi yang bermazhab pada keberlanjutan (sustainable).
Seiring penunjukan Provinsi Kalimantan Timur sebagai Ibukota Negara semakin menjadi semacam alarm peringatan bagi Kalimantan Tengah untuk juga bersadar dan bersiap diri sebagai Provinsi penopang Ibukota Baru.
Salah satu yang harus dipersiapkan adalah kapasitas pemerintahan karena kualitas pemerintahan menjadi unsur yang vital terhadap daya saing suatu daerah. Provinsi ini harus segera berbenah memacu birokrasi sebagai mesin pembangunan di daerah untuk bergerak dinamis, gesit dan responsif .Mesin birokrasi daerah akan sangat ditentukan oleh kapasitas nahkoda yaitu pemimpin daerah.
Sirkulasi Kepemimpinan
Pilkada pada hakikatnya adalah sebuah wahana estafet kepemimpinan dimana sirkulasi kepemimpinan diharapkan mampu berjalan dengan baik, sehingga akan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas mumpuni, yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Namun, data dan fakta di lapangan belum berpihak demikian. Pilkada kita masih menyimpan segudang pekerjaan rumah yang tidak sederhana. Proses Pilkada masih dipahami sebatas pada sirkulasi kekuasaan belaka. Kualitas Pilkada kita masih sejalan dengan malnutrisi’nya demokrasi kita yang acapkali tersandera dengan ruwetnya oligarki partai politik yang menggurita.
Tahun politik 2020 ini semestinya dimaknai secara konstruktif oleh seluruh komponen masyarakat di Kalimantan Tengah. Kita wajib menjadikan momen ini untuk arena ‘naik kelas’. Dengan kata lain menaikkan kualitas kontestasi pilkada kita bukan hanya sebagai estafet kekuasaan semata, namun ianya adalah sebagai arena maraton untuk melahirkan pemimpin Kalimantan Tengah yang mampu menggerakkan seluruh komponen untuk berlari kencang mengejar kemajuan pembangunan Provinsi lainnya di pulau kalimantan.
Pilkada serentak 2020 adalah momen yang sangat monumental untuk para putra-putri terbaik Kalimantan Tengah untuk hadir bukan hanya sebagai pekerja politik musiman semata, tetapi juga harus menunjukkan kapasitas diri yang terbalut etika negarawan yang konsisten memperjuangkan kepentingan publik daripada kepentingan golongan yang tidak jarang membuat rumit.
Pilpres 2019 lalu sudah lebih dari cukup memberikan kita pelajaran yang sangat berharga bahwa persatuan bangsa adalah segala-galanya. Kontestasi ke depan mesti mengedepankan politik santun jauh daripada perpecahan, isu SARA, dan pragmatis semata.
Kita membutuhkan pemimpin yang tak menghalalkan segala janji saja, namun pemimpin yang mempunyai kapasitas akademis teknokratis yang mumpuni. Kebijakan publik kini mensyaratkan perumusan kebijakan berbasis kajian (bukti) atau yang familiar disebut Evidence Based Policy (EBP), sehingga menuntut pemimpin tersebut untuk terus meningkatkan kapasitas berbasis pengetahuan keilmuan untuk menjadi nahkoda yang mampu memacu kompas pembangunan daerah menuju sebesar-sebesarnya kesejahteraan masyarakat Kalimantan Tengah.
Dengan tetap mengilhami semangat Huma Betang, semoga Pilkada 2020 ini para kontestan yang akan berkompetisi tetap konsisten men-dialektika-kan berbagai gagasan konstruktif demi kemajuan pembangunan Kalimantan Tengah di masa depan.
Penulis : Farid Zaky Y, S.Sos, M.Si
Dosen FISIPOL UMP, Peneliti Muda pada Institute of Regional Development
Political Studies (IRDEPoS)