Malang, Jawa Timur (ANTARA) - Tim peneliti Universitas Brawijaya (UB) dan BMKG menunjukkan hasil penelitiannya bahwa sinar ultraviolet (UV) dari matahari yang tinggi dan tidak ada pencemaran udara masif mampu membersihkan udara dari virus corona.
Guru Besar Biologi Sel dan Molekuler Universitas Brawijaya Prof Sutiman Bambang Sumitro di Malang, Jawa Timur, Jumat menjelaskan di wilayah dengan indeks UV yang tinggi dan tidak ada pencemaran udara masif, jumlah orang terinfeksi corona jauh lebih sedikit.
"Sinar UV memiliki frekuensi gelombang tinggi yang dapat merusak materi RNA (Ribonucleic Acid) dan protein virus, sehingga bisa menginaktifkan virus di udara, bahkan yang menempel di benda-benda padat. Hasil penelitian ini memberikan indikasi bahwa sinar UV dari matahari mampu membersihkan corona yang ada di udara," katanya.
Baca juga: Cara lindungi mata dari sinar UV
Hal ini, lanjutnya, membuat Indonesia yang berada di Khatulistiwa sangat diuntungkan, karena mendapat limpahan sinar UV dibandingkan negara subtropis.
"Di wilayah subtropis, seperti New York, AS, Milan, Italia dan Spanyol yang indeks UV-nya rendah dan pencemaran udaranya tinggi, menyebabkan orang tertular melalui media udara (airborne), sehingga jumlah penderita COVID-19-nya sangat banyak," katanya.
Sutiman menambahkan indeks UV yang tinggi umumnya didapatkan pada siang hari. Dengan demikian, di luar rumah pada siang hari membuat udara lebih bersih dari virus corona.
Ia mengatakan UV tinggi kurang baik bagi orang subtropis berkulit putih. Sebaliknya, bagi masyarakat Indonesia yang sudah terbiasa dengan UV tinggi tidak masalah.
"Namun, bagi penduduk yang jarang ada di luar ruangan, kulit manusia juga bisa terbakar bila terlalu lama di bawah sinar UV, misalnya di pantai atau di gunung tinggi," katanya.
Baca juga: Tips tingkatkan kualitas udara rumah selama pandemi corona
Dikemukakannya bahwa kemampuan sebagai disinfektan dari sinar UV ini bisa dimanfaatkan untuk sterilisasi angkutan umum, seperti bus dan kereta api, bahkan UV dipakai untuk sterilisasi atau membunuh kuman di ruang operasi di rumah sakit.
"Sebenarnya kita tidak perlu melakukan penyemprotan cairan disinfektan pada siang hari," katanya.
Namun demikian, kata dia, keuntungan mendapatkan limpahan sinar UV harus didukung dengan pola hidup sehat sesuai anjuran pemerintah, seperti menjaga jarak dan memakai masker. Sebab, keberadaan sinar UV akan sia-sia jika tidak didukung pola hidup sehat.
Jadi, katanya, meskipun mendapatkan sinar UV banyak, bila masih banyak warga berkerumun di tempat-tempat umum, kasus baru yang muncul juga masih akan ada.
"Kita harus mensyukuri berkah limpahan sinar UV matahari ini dengan melakukan pola hidup sehat sesuai anjuran pemerintah, seperti menghindari kerumunan, menjaga jarak dan memakai masker. Selain itu, kita harus menumbuhkan empati agar tidak menjadi penular, karena ada orang-orang dengan kondisi tertentu rentan untuk menderita keparahan ketika terinfeksi COVID-19," kata Sutiman Bambang Sumitro.
Baca juga: Lawan peningkatan polusi udara dengan menggunakan mobil listrik
Sementara itu, salah satu peneliti yang juga bekerja sama dengan Prof Sutiman, Dr Novanto Yudistira dari Laboratorium Sistem Cerdas Fakultas Ilmu Komputer (Filkom) UB mengatakan penelitian ini menggunakan teknik analisis "big data" dan "machine learning" yang dilatih dengan data yang dikumpulkan dari seluruh stasiun pengamat cuaca di dunia serta beberapa satelit.
Big data yaitu menganalisa data yang besar dari berbagai sumber di internet yang berubah setiap hari, sedangkan machine learning memprediksi perkembangan pandemi dengan big data dengan algoritma yang sudah dilatih oleh komputer.
"Informasi lain dari hasil penelitian ini, di Indonesia dan wilayah tropis lainnya kemungkinan besar penularan terbanyak diperkirakan bukan dari airborne udara, namun lebih banyak dari kontak orang ke orang," kata demikian Novanto Yudistira.
Baca juga: Belum ada pembuktian corona menular via udara , kata guru besar FKUI
Baca juga: Udara di Madrid lebih bersih selama karantina wilayah
Guru Besar Biologi Sel dan Molekuler Universitas Brawijaya Prof Sutiman Bambang Sumitro di Malang, Jawa Timur, Jumat menjelaskan di wilayah dengan indeks UV yang tinggi dan tidak ada pencemaran udara masif, jumlah orang terinfeksi corona jauh lebih sedikit.
"Sinar UV memiliki frekuensi gelombang tinggi yang dapat merusak materi RNA (Ribonucleic Acid) dan protein virus, sehingga bisa menginaktifkan virus di udara, bahkan yang menempel di benda-benda padat. Hasil penelitian ini memberikan indikasi bahwa sinar UV dari matahari mampu membersihkan corona yang ada di udara," katanya.
Baca juga: Cara lindungi mata dari sinar UV
Hal ini, lanjutnya, membuat Indonesia yang berada di Khatulistiwa sangat diuntungkan, karena mendapat limpahan sinar UV dibandingkan negara subtropis.
"Di wilayah subtropis, seperti New York, AS, Milan, Italia dan Spanyol yang indeks UV-nya rendah dan pencemaran udaranya tinggi, menyebabkan orang tertular melalui media udara (airborne), sehingga jumlah penderita COVID-19-nya sangat banyak," katanya.
Sutiman menambahkan indeks UV yang tinggi umumnya didapatkan pada siang hari. Dengan demikian, di luar rumah pada siang hari membuat udara lebih bersih dari virus corona.
Ia mengatakan UV tinggi kurang baik bagi orang subtropis berkulit putih. Sebaliknya, bagi masyarakat Indonesia yang sudah terbiasa dengan UV tinggi tidak masalah.
"Namun, bagi penduduk yang jarang ada di luar ruangan, kulit manusia juga bisa terbakar bila terlalu lama di bawah sinar UV, misalnya di pantai atau di gunung tinggi," katanya.
Baca juga: Tips tingkatkan kualitas udara rumah selama pandemi corona
Dikemukakannya bahwa kemampuan sebagai disinfektan dari sinar UV ini bisa dimanfaatkan untuk sterilisasi angkutan umum, seperti bus dan kereta api, bahkan UV dipakai untuk sterilisasi atau membunuh kuman di ruang operasi di rumah sakit.
"Sebenarnya kita tidak perlu melakukan penyemprotan cairan disinfektan pada siang hari," katanya.
Namun demikian, kata dia, keuntungan mendapatkan limpahan sinar UV harus didukung dengan pola hidup sehat sesuai anjuran pemerintah, seperti menjaga jarak dan memakai masker. Sebab, keberadaan sinar UV akan sia-sia jika tidak didukung pola hidup sehat.
Jadi, katanya, meskipun mendapatkan sinar UV banyak, bila masih banyak warga berkerumun di tempat-tempat umum, kasus baru yang muncul juga masih akan ada.
"Kita harus mensyukuri berkah limpahan sinar UV matahari ini dengan melakukan pola hidup sehat sesuai anjuran pemerintah, seperti menghindari kerumunan, menjaga jarak dan memakai masker. Selain itu, kita harus menumbuhkan empati agar tidak menjadi penular, karena ada orang-orang dengan kondisi tertentu rentan untuk menderita keparahan ketika terinfeksi COVID-19," kata Sutiman Bambang Sumitro.
Baca juga: Lawan peningkatan polusi udara dengan menggunakan mobil listrik
Sementara itu, salah satu peneliti yang juga bekerja sama dengan Prof Sutiman, Dr Novanto Yudistira dari Laboratorium Sistem Cerdas Fakultas Ilmu Komputer (Filkom) UB mengatakan penelitian ini menggunakan teknik analisis "big data" dan "machine learning" yang dilatih dengan data yang dikumpulkan dari seluruh stasiun pengamat cuaca di dunia serta beberapa satelit.
Big data yaitu menganalisa data yang besar dari berbagai sumber di internet yang berubah setiap hari, sedangkan machine learning memprediksi perkembangan pandemi dengan big data dengan algoritma yang sudah dilatih oleh komputer.
"Informasi lain dari hasil penelitian ini, di Indonesia dan wilayah tropis lainnya kemungkinan besar penularan terbanyak diperkirakan bukan dari airborne udara, namun lebih banyak dari kontak orang ke orang," kata demikian Novanto Yudistira.
Baca juga: Belum ada pembuktian corona menular via udara , kata guru besar FKUI
Baca juga: Udara di Madrid lebih bersih selama karantina wilayah