Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin, kembali memanggil Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi (SH) dalam penyidikan kasus korupsi penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin usaha pertambangan (IUP) di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, pada tahun 2010—2012.
"SH dipanggil dalam kapasitasnya sebagai tersangka," kata Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Sebelumnya, penyidik KPK telah memanggil Supian pada hari Rabu (22/7). Namun, saat itu yang bersangkutan tidak memenuhi panggilan tanpa keterangan.
"Belum diperoleh informasi," ucap Ali dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (22/7).
Supian telah ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 1 Februari 2019. Namun, Supian belum ditahan sampai saat ini.
Dalam kasus ini, diduga tersangka Supian menerbitkan Surat Keputusan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi seluas 1.671 hektare kepada PT Fajar Mentaya Abadi (FMA) yang berada di kawasan hutan.
Padahal, Supian mengetahui bahwa PT FMA belum memiliki sejumlah dokumen perizinan seperti izin lingkungan/amdal dan persyaratan lainnya yang belum lengkap.
Diduga kerugian keuangan negara pada perkara ini sekitar Rp5,8 triliun dan 711.000 dolar AS.
Kerugian itu dihitung dari eksplorasi hasil pertambangan bauksit, kerusakan lingkungan, dan kerugian kehutanan akibat produksi dan kegiatan pertambangan yang dilakukan PT Fajar FMA, PT Billy Indonesia (BI), dan PT Aries Iron Mining (AIM).
Selain itu, Supian juga diduga menerima mobil Toyota Land Cruiser senilai Rp710 juta, mobil Hummer H3 senilai Rp1,35 miliar, dan uang Rp500 juta dari penerbitan izin tersebut.
Supian disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
"SH dipanggil dalam kapasitasnya sebagai tersangka," kata Plt. Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Sebelumnya, penyidik KPK telah memanggil Supian pada hari Rabu (22/7). Namun, saat itu yang bersangkutan tidak memenuhi panggilan tanpa keterangan.
"Belum diperoleh informasi," ucap Ali dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (22/7).
Supian telah ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 1 Februari 2019. Namun, Supian belum ditahan sampai saat ini.
Dalam kasus ini, diduga tersangka Supian menerbitkan Surat Keputusan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi seluas 1.671 hektare kepada PT Fajar Mentaya Abadi (FMA) yang berada di kawasan hutan.
Padahal, Supian mengetahui bahwa PT FMA belum memiliki sejumlah dokumen perizinan seperti izin lingkungan/amdal dan persyaratan lainnya yang belum lengkap.
Diduga kerugian keuangan negara pada perkara ini sekitar Rp5,8 triliun dan 711.000 dolar AS.
Kerugian itu dihitung dari eksplorasi hasil pertambangan bauksit, kerusakan lingkungan, dan kerugian kehutanan akibat produksi dan kegiatan pertambangan yang dilakukan PT Fajar FMA, PT Billy Indonesia (BI), dan PT Aries Iron Mining (AIM).
Selain itu, Supian juga diduga menerima mobil Toyota Land Cruiser senilai Rp710 juta, mobil Hummer H3 senilai Rp1,35 miliar, dan uang Rp500 juta dari penerbitan izin tersebut.
Supian disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.