Denpasar (ANTARA) - Sosiolog Universitas Udayana Wahyu Budi Nugroho, mengatakan bahwa fenomena "coffee shop" di masa pandemi COVID-19 ini berpeluang memunculkan budaya baru di lingkungan masyarakat.
"Tentu (munculkan budaya baru), yaitu “budaya cafe”, dan sudah banyak penelitian mengenai ini. Dalam banyak hal, kafe mampu merepresentasi karakter profesional muda, juga anak-anak muda. Simbol-simbol yang ditunjukkan kafe kerapkali berasosiasi pada jiwa muda, produktivitas, dinamis, gaul, mapan, cerdas, elegan, sukses, dan lain-lain. Yang nantinya dapat membentuk budaya baru," ucap Wahyu saat dihubungi melalui telepon di Denpasar, Selasa.
Ia menjelaskan bahwa dalam budaya "Coffee" ini terdapat permainan simbol-simbol atau karakter yang ditunjukkan, sehingga dapat mengundang minat anak muda mengunjungi kafe dan pada masanya nanti akan membentuk arus kecil budaya baru, atau subkultur.
Baca juga: Makna kopi bagi Chicco Jerikho
Menurut dia hal ini dipengaruhi karena adanya budaya pop. Salah satunya, seperti film-film dari luar negeri maupun dalam negeri selalu menampilkan adegan-adegan dengan latar kafe, atau juga film-film yang tokoh utamanya akrab dengan kafe, seakan kafe tidak lepas dari keseharian hidup mereka.
"Ada dua hal yang saya lihat dari fenomena ini. Pertama, kebutuhan para pekerja urban akan tempat atau ruang kerja (working space), kedua dapat memunculkan "masyarakat tontonan", ketiga menjadi tujuan untuk panjat sosial," ucap Wahyu.
Baca juga: Begini cara minum kopi kekinian agar lebih sehat
Fenomena ini dapat menjadi kebutuhan bagi para pekerja urban yang mencari tempat untuk bekerja dan bisa memberikan nuansa baru sehingga dapat mereduksi kejenuhan kerja. Selain itu, mencari yang dirasa cukup menghibur untuk mengurangi tekanan target-target kerja. "Ini agaknya juga berlaku bagi para mahasiswa yang memiliki banyak tugas atau sedang dalam tekanan menyelesaikan skripsi," katanya.
Sedangkan, di era teknologi informasi ini dapat memunculkan apa yang disebut sebagai “masyarakat tontonan”, yaitu kultur baru masyarakat untuk selalu mengunggah aktivitas atau berbagai komoditas yang dikonsumsinya di media sosial.
Salah satu bentuk "masyarakat tontonan" itu berupa panjat sosial atau menunjukkan status sosial. Kata dia, mengunggah foto sedang berada di kafe setidaknya bisa memenuhi kepentingan ini. Selain itu, kafe juga merupakan kultur kelas menengah, dengan menu makanan atau minuman yang ditawarkannya pun biasanya juga tidak murah.
Dari fenomena ini tentu ada dampak negatif dan positifnya bagi masyarakat, yang memiliki ketertarikan pergi ke kedai kopi. "Negatifnya tentu membuat lebih boros dan konsumtif. Sementara dampak positifnya, kafe bisa memberikan nuansa baru, memberikan inspirasi, dan sejenak melupakan penatnya keseharian hidup yang mekanistis," kata Wahyu.
Baca juga: Daerah ini dorong pengembangan kopi wine
Baca juga: Bantu masyarakat budidayakan kopi dan coklat, kata Legislator Kalteng
Baca juga: Kopi dan teh dari kotoran gajah jadi minuman langka dan mahal
"Tentu (munculkan budaya baru), yaitu “budaya cafe”, dan sudah banyak penelitian mengenai ini. Dalam banyak hal, kafe mampu merepresentasi karakter profesional muda, juga anak-anak muda. Simbol-simbol yang ditunjukkan kafe kerapkali berasosiasi pada jiwa muda, produktivitas, dinamis, gaul, mapan, cerdas, elegan, sukses, dan lain-lain. Yang nantinya dapat membentuk budaya baru," ucap Wahyu saat dihubungi melalui telepon di Denpasar, Selasa.
Ia menjelaskan bahwa dalam budaya "Coffee" ini terdapat permainan simbol-simbol atau karakter yang ditunjukkan, sehingga dapat mengundang minat anak muda mengunjungi kafe dan pada masanya nanti akan membentuk arus kecil budaya baru, atau subkultur.
Baca juga: Makna kopi bagi Chicco Jerikho
Menurut dia hal ini dipengaruhi karena adanya budaya pop. Salah satunya, seperti film-film dari luar negeri maupun dalam negeri selalu menampilkan adegan-adegan dengan latar kafe, atau juga film-film yang tokoh utamanya akrab dengan kafe, seakan kafe tidak lepas dari keseharian hidup mereka.
"Ada dua hal yang saya lihat dari fenomena ini. Pertama, kebutuhan para pekerja urban akan tempat atau ruang kerja (working space), kedua dapat memunculkan "masyarakat tontonan", ketiga menjadi tujuan untuk panjat sosial," ucap Wahyu.
Baca juga: Begini cara minum kopi kekinian agar lebih sehat
Fenomena ini dapat menjadi kebutuhan bagi para pekerja urban yang mencari tempat untuk bekerja dan bisa memberikan nuansa baru sehingga dapat mereduksi kejenuhan kerja. Selain itu, mencari yang dirasa cukup menghibur untuk mengurangi tekanan target-target kerja. "Ini agaknya juga berlaku bagi para mahasiswa yang memiliki banyak tugas atau sedang dalam tekanan menyelesaikan skripsi," katanya.
Sedangkan, di era teknologi informasi ini dapat memunculkan apa yang disebut sebagai “masyarakat tontonan”, yaitu kultur baru masyarakat untuk selalu mengunggah aktivitas atau berbagai komoditas yang dikonsumsinya di media sosial.
Salah satu bentuk "masyarakat tontonan" itu berupa panjat sosial atau menunjukkan status sosial. Kata dia, mengunggah foto sedang berada di kafe setidaknya bisa memenuhi kepentingan ini. Selain itu, kafe juga merupakan kultur kelas menengah, dengan menu makanan atau minuman yang ditawarkannya pun biasanya juga tidak murah.
Dari fenomena ini tentu ada dampak negatif dan positifnya bagi masyarakat, yang memiliki ketertarikan pergi ke kedai kopi. "Negatifnya tentu membuat lebih boros dan konsumtif. Sementara dampak positifnya, kafe bisa memberikan nuansa baru, memberikan inspirasi, dan sejenak melupakan penatnya keseharian hidup yang mekanistis," kata Wahyu.
Baca juga: Daerah ini dorong pengembangan kopi wine
Baca juga: Bantu masyarakat budidayakan kopi dan coklat, kata Legislator Kalteng
Baca juga: Kopi dan teh dari kotoran gajah jadi minuman langka dan mahal