Jakarta (ANTARA) - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menyelesaikan kasus video penghinaan terhadap Palestina yang terjadi di NTB dan Bengkulu dengan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice).
"Terkait video ujaran kebencian ada dua peristiwa terjadi di NTB dan Bengkulu. Keduanya diselesaikan secara restorative justice," kata Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan, saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.
Kasus video viral menghina Palestina terjadi di Nusa Tengggara Barat (NTB) pada Sabtu (15/5) sekitar pukul 19.00 WIT oleh HM alias UC seorang pekerja kebersihan di salah satu kampus di Mataram.
HM alias UC sempat diamankan petugas kepolisian dan ditetapkan sebagai tersangka setelah penyidik memeriksa dan mengumpulkan alat bukti berupa dokumen elektronik terkait video penghinaan tersebut serta memeriksa tiga orang saksi.
Bahkan HM alias UC disangkakan dengan Pasal 28 ayat 2 juchto Pasal 5 ayat 2 UU ITE dengan ancaman paling lama 6 tahun penjara.
Namun, Rabu (19/5) penahanan terhadap HM alias UC ditangguhkan, penyidik melakukan gelar dan mencoba menyelesaikan perkara dengan pendekatan keadilan restoratif.
Menurut Ramadhan, penangkapan HM alias UC dilakukan dalam rangka mengamankan pelaku dari amukan masyarakat yang marah dan hendak membakar rumahnya.
"Namun Kamis (20/5) penyidik kembali laksanakan gelar untuk mencoba menggelar restorative justice dengan pertimbangan adanya permintaan maaf pelaku dan ketidakpahaman pelaku terhadap permasalahan yang terjadi," ujar Ramadhan.
Terkait video viral hina Palestina, pelajar di Bengkulu Tengah dikeluarkan dari sekolah. (Foto Antarabengkulu.com)
Kasus video viral ujaran kebencian terhadap Palestina juga terjadi di Bengkulu oleh salah satu siswa sekolah berinisial MS.
Kejadian tersebut, kata Ramadhan, juga diselesaikan lewat pendekatan keadilan restoratif, atau diselesaikan di luar pengadilan.
Penyelesaian kasus tersebut dilakukan dengan mediasi yang dihadiri Kapolres Bengkulu, Forum Kerukunan Antar Umat Beragama, pelaku dan orang tuanya.
Dalam mediasi tersebut MS dan orang tuanya bersedia menyampaikan permintaan maaf di depan umum dan memviralkan permintaan maafnya di media sosial. Dan peserta mediasi menerima permintaan maaf tersebut.
"Peserta rapat menerima permintaan maaf dan MS serta keluarga akan merendam situasi terjadi. Terhadap MS dari otoritas sekolah akan dilakukan pembinaan dan sanksi sebagai efek jera agar peristiwa tidak terjadi lagi atau dilakukan siswa lain," kata Ramadhan.
Ramadhan menambahkan, upaya penyelesaian hukum dengan pendekatan keadilan restoratif ini dilakukan dengan mempedomani kriteria seperti tidak meresahkan masyarakat, dan antar masyarakat sepakat untuk diselesaikan secara damai.
"Ketika kriteria ini tidak terpenuhi maka proses hukum tetap berlanjut," ujar Ramadhan.
"Terkait video ujaran kebencian ada dua peristiwa terjadi di NTB dan Bengkulu. Keduanya diselesaikan secara restorative justice," kata Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan, saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.
Kasus video viral menghina Palestina terjadi di Nusa Tengggara Barat (NTB) pada Sabtu (15/5) sekitar pukul 19.00 WIT oleh HM alias UC seorang pekerja kebersihan di salah satu kampus di Mataram.
HM alias UC sempat diamankan petugas kepolisian dan ditetapkan sebagai tersangka setelah penyidik memeriksa dan mengumpulkan alat bukti berupa dokumen elektronik terkait video penghinaan tersebut serta memeriksa tiga orang saksi.
Bahkan HM alias UC disangkakan dengan Pasal 28 ayat 2 juchto Pasal 5 ayat 2 UU ITE dengan ancaman paling lama 6 tahun penjara.
Namun, Rabu (19/5) penahanan terhadap HM alias UC ditangguhkan, penyidik melakukan gelar dan mencoba menyelesaikan perkara dengan pendekatan keadilan restoratif.
Menurut Ramadhan, penangkapan HM alias UC dilakukan dalam rangka mengamankan pelaku dari amukan masyarakat yang marah dan hendak membakar rumahnya.
"Namun Kamis (20/5) penyidik kembali laksanakan gelar untuk mencoba menggelar restorative justice dengan pertimbangan adanya permintaan maaf pelaku dan ketidakpahaman pelaku terhadap permasalahan yang terjadi," ujar Ramadhan.
Kasus video viral ujaran kebencian terhadap Palestina juga terjadi di Bengkulu oleh salah satu siswa sekolah berinisial MS.
Kejadian tersebut, kata Ramadhan, juga diselesaikan lewat pendekatan keadilan restoratif, atau diselesaikan di luar pengadilan.
Penyelesaian kasus tersebut dilakukan dengan mediasi yang dihadiri Kapolres Bengkulu, Forum Kerukunan Antar Umat Beragama, pelaku dan orang tuanya.
Dalam mediasi tersebut MS dan orang tuanya bersedia menyampaikan permintaan maaf di depan umum dan memviralkan permintaan maafnya di media sosial. Dan peserta mediasi menerima permintaan maaf tersebut.
"Peserta rapat menerima permintaan maaf dan MS serta keluarga akan merendam situasi terjadi. Terhadap MS dari otoritas sekolah akan dilakukan pembinaan dan sanksi sebagai efek jera agar peristiwa tidak terjadi lagi atau dilakukan siswa lain," kata Ramadhan.
Ramadhan menambahkan, upaya penyelesaian hukum dengan pendekatan keadilan restoratif ini dilakukan dengan mempedomani kriteria seperti tidak meresahkan masyarakat, dan antar masyarakat sepakat untuk diselesaikan secara damai.
"Ketika kriteria ini tidak terpenuhi maka proses hukum tetap berlanjut," ujar Ramadhan.