Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis penyakit dalam konsultan alergi imunologi dari RSCM, Suzy Maria mengingatkan, tak boleh ada konsep memaksa saat Anda berusaha meluruskan informasi yang salah atau hoaks dari orang lain termasuk mengenai vaksin COVID-19 dan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI).
Saat orang itu misalnya menyampaikan kekhawatirannya Anda bisa mendengarkannya dulu dan perlahan meluruskan informasi salah yang dia dengar.
"Kita tanya dulu apa yang dia khawatirkan, takutkan dari vaksinasi tersebut. Dengan cara yang baik kita coba jelaskan, meluruskan informasi tidak benar yang dia yakini. Tidak boleh ada konsep pemaksaan, ngotot-ngototan karena kalau seperti itu tidak ada habisnya," ujar dia dalam webinar Lansia Online yang diselenggarakan Geriatri.id bersama Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI) dan berbagai pihak lain, dikutip Minggu.
Baca juga: Vaksinasi COVID-19 saat haid turunkan imun? Cek faktanya
Kementerian Kominfo pada Jumat (4/6) menemukan sebanyak 206 hoaks vaksin COVID-19 di berbagai platform media sosial dengan total sebaran 1592. Dari angka itu, sebaran terbesar yakni 1445 berasal dari Facebook, diikuti Twitter (82) dan YouTube (41). Demi menangani hoaks ini, Kementerian Kominfo menggandeng kementerian, lembaga maupun pemerintah daerah.
Di sisi lain, masyarakat juga diminta berhati-hati usai menerima informasi terkait vaksin dan memeriksa kebenaran informasi itu salah satunya dengan mengakses s.id/infovaksin.
Suzy mengatakan, pada prinsipnya obat atau vaksin memiliki manfaat juga efek samping. Namun efek samping ini sudah diketahui sejak vaksin dalam fase uji klinis. Efek yang muncul lebih sering sifatnya ringan. Sementara bila itu fatal maka vaksin akan dihentikan penggunaannya atau izinnya sehingga tak akan digunakan siapapun.
Efek samping vaksin Sinovac dan AstraZeneca misalnya, bersifat sangat umum mulai seperti nyeri di bagian yang disuntik, rasa hangat atau gatal, bengkak, rasa tidak enak badan, lelah atau merasa demam dan nyeri kepala. Namun, ada juga orang yang tak mengalami efek apapun setelah divaksin.
"Yang paling sering efek samping yang ringan. Kalau ada yang fatal, pasti sudah ada tindak lanjutnya, dihentikan penggunaanya, tidak diizinkan dan sebagainya. Kita harus percaya yang namanya vaksinasi apalagi yang jadi program pemerintah itu sesuatu yang baik, banyak manfaatnya dan keamanannya sudah diyakinkan," tutur Suzy.
Dia menyebut, vaksinasi sebagai salah satu cara paling cost-efektif dalam mencegah penyakit yang dapat dicegah dengan vaksinasi, termasuk COVID-19.
Saat ini sudah ada banyak jenis vaksin dan lebih dari 30 jenis khusus untuk penyakit infeksi. Vaksin-vaksin ini bisa mencegah 2-3 juta kematian orang-orang di seluruh dunia.
Vaksin berusaha membentuk imunitas aktif dari tubuh. Suatu hari saat seseorang yang sudah divaksin terpapar penyebab penyakit maka tubuhnya sudah siap melawanya, sehingga tidak menjadi sakit. Kalaupun sampai sakit, maka derajatnya tak akan berat.
"Vaksin tidak menimbulkan penyakit, risiko jauh lebih kecil dibandingkan risiko komplikasi akibat infeksi alamiah," kata Suzy.
Saat orang itu misalnya menyampaikan kekhawatirannya Anda bisa mendengarkannya dulu dan perlahan meluruskan informasi salah yang dia dengar.
"Kita tanya dulu apa yang dia khawatirkan, takutkan dari vaksinasi tersebut. Dengan cara yang baik kita coba jelaskan, meluruskan informasi tidak benar yang dia yakini. Tidak boleh ada konsep pemaksaan, ngotot-ngototan karena kalau seperti itu tidak ada habisnya," ujar dia dalam webinar Lansia Online yang diselenggarakan Geriatri.id bersama Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI) dan berbagai pihak lain, dikutip Minggu.
Baca juga: Vaksinasi COVID-19 saat haid turunkan imun? Cek faktanya
Kementerian Kominfo pada Jumat (4/6) menemukan sebanyak 206 hoaks vaksin COVID-19 di berbagai platform media sosial dengan total sebaran 1592. Dari angka itu, sebaran terbesar yakni 1445 berasal dari Facebook, diikuti Twitter (82) dan YouTube (41). Demi menangani hoaks ini, Kementerian Kominfo menggandeng kementerian, lembaga maupun pemerintah daerah.
Di sisi lain, masyarakat juga diminta berhati-hati usai menerima informasi terkait vaksin dan memeriksa kebenaran informasi itu salah satunya dengan mengakses s.id/infovaksin.
Suzy mengatakan, pada prinsipnya obat atau vaksin memiliki manfaat juga efek samping. Namun efek samping ini sudah diketahui sejak vaksin dalam fase uji klinis. Efek yang muncul lebih sering sifatnya ringan. Sementara bila itu fatal maka vaksin akan dihentikan penggunaannya atau izinnya sehingga tak akan digunakan siapapun.
Efek samping vaksin Sinovac dan AstraZeneca misalnya, bersifat sangat umum mulai seperti nyeri di bagian yang disuntik, rasa hangat atau gatal, bengkak, rasa tidak enak badan, lelah atau merasa demam dan nyeri kepala. Namun, ada juga orang yang tak mengalami efek apapun setelah divaksin.
"Yang paling sering efek samping yang ringan. Kalau ada yang fatal, pasti sudah ada tindak lanjutnya, dihentikan penggunaanya, tidak diizinkan dan sebagainya. Kita harus percaya yang namanya vaksinasi apalagi yang jadi program pemerintah itu sesuatu yang baik, banyak manfaatnya dan keamanannya sudah diyakinkan," tutur Suzy.
Dia menyebut, vaksinasi sebagai salah satu cara paling cost-efektif dalam mencegah penyakit yang dapat dicegah dengan vaksinasi, termasuk COVID-19.
Saat ini sudah ada banyak jenis vaksin dan lebih dari 30 jenis khusus untuk penyakit infeksi. Vaksin-vaksin ini bisa mencegah 2-3 juta kematian orang-orang di seluruh dunia.
Vaksin berusaha membentuk imunitas aktif dari tubuh. Suatu hari saat seseorang yang sudah divaksin terpapar penyebab penyakit maka tubuhnya sudah siap melawanya, sehingga tidak menjadi sakit. Kalaupun sampai sakit, maka derajatnya tak akan berat.
"Vaksin tidak menimbulkan penyakit, risiko jauh lebih kecil dibandingkan risiko komplikasi akibat infeksi alamiah," kata Suzy.