Palangka Raya (ANTARA) - Ketua PWI Provinsi Kalimantan Tengah, Haris Sadikin mengatakan, bahwa produk Jurnalistik yang legal tidak boleh distempel hoaks baik oleh instansi terkait.
"Kemerdekaan pers adalah sebagian wujud kedaulatan rakyat yang harus dilakukan dengan prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Itulah asas yang terdapat pada Pasal 2 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers," kata Haris di Palangka Raya, Jumat.
Haris mengungkapkan, apabila ada kekeliruan dalam pemberitaan yg dimuat dalam media, maka berlaku pasal 1 angka 11, 12, dab 13 UUD 40 tahun 1999 yang diatur kembali dalam pasal 5 ayat 2 yaitu hak jawab atau pasal 5 ayat 3 yaitu hak koreksi.
Baca juga: Bupati Mura menjadi warga kehormatan PWI
Baca juga: PWI: Pemberitaan COVID-19 harus mencerahkan dan menenangkan masyarakat
"Yang menentukan apakah berita itu produk jurnalistik atau bukan maupun hoaks, hanya Dewan Pers sebagaimana diatur dalam pasal 15 UUD 40 tahun 1999," ucapnya.
Ia menambahkan, apabila hak koreksi dan hak jawab tidak dilayani, maka bisa dilaporkan ke polisi sebagai pelanggaran pasal 18 ayat 2 dan menjadi pidana pers.
Wartawan juga harus mematuhi Pasal 7 ayat (2) UU Pers, memiliki dan mentaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ), yang disahkan Dewan Pers. Hal ini merujuk pada KEJ 11 pasal yang ditetapkan 14 Maret 2006.
Selanjutnya, apakah pemberitaan yang diduga mengandung berita bohong tersebut boleh distempel hoaks oleh instansi di luar Dewan Pers? Bila hal ini terjadi maka menjadi persoalan serius bagi kemerdekaan pers di Indonesia.
Baca juga: PWI Kalteng nilai penundaan Porwanas sebagai keputusan bijak
Baca juga: Sembilan asesor akan uji peserta UKW Kalteng
Pasal 15 UU Pers dengan jelas hanya menunjuk Dewan Pers sebagai lembaga atau institusi penjaga kemerdekaan pers yang independen.
"Jadi, terhadap produk pers tidak ada instansi lain yang boleh memberikan stempel hoaks atau berita bohong. Penilaian terhadap karya jurnalistik yang melanggar etik ada pada Dewan Pers, bukan instansi lain," katanya.
Haris menambahkan, stempel hoaks boleh ditempelkan pada media tanpa legalitas produknya bukan produk pers dan boleh distempel hoaks serta media sosial atau media yang tidak memiliki penanggung jawab.
Selain itu Haris menegaskan, media yang terdata dengan baik dan berbadan hukum dimaksudkan agar media tersebut lebih profesional dan mengurangi adanya praktek penyimpangan dilapangan.
"Dengan demikian, dalam hal praktek dilapangan, penyimpangan bisa dikurangi dengan mengacu pada kode etik jurnalistik yang ada," tegas Haris.
Baca juga: PWI Kalteng peringati HANI dengan pertandingan sepak bola
Baca juga: Tingkatkan kualitas wartawan di Bartim melalui UKW
Baca juga: Ketua PWI Seruyan terima penghargaan dari kepolisian
"Kemerdekaan pers adalah sebagian wujud kedaulatan rakyat yang harus dilakukan dengan prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Itulah asas yang terdapat pada Pasal 2 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers," kata Haris di Palangka Raya, Jumat.
Haris mengungkapkan, apabila ada kekeliruan dalam pemberitaan yg dimuat dalam media, maka berlaku pasal 1 angka 11, 12, dab 13 UUD 40 tahun 1999 yang diatur kembali dalam pasal 5 ayat 2 yaitu hak jawab atau pasal 5 ayat 3 yaitu hak koreksi.
Baca juga: Bupati Mura menjadi warga kehormatan PWI
Baca juga: PWI: Pemberitaan COVID-19 harus mencerahkan dan menenangkan masyarakat
"Yang menentukan apakah berita itu produk jurnalistik atau bukan maupun hoaks, hanya Dewan Pers sebagaimana diatur dalam pasal 15 UUD 40 tahun 1999," ucapnya.
Ia menambahkan, apabila hak koreksi dan hak jawab tidak dilayani, maka bisa dilaporkan ke polisi sebagai pelanggaran pasal 18 ayat 2 dan menjadi pidana pers.
Wartawan juga harus mematuhi Pasal 7 ayat (2) UU Pers, memiliki dan mentaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ), yang disahkan Dewan Pers. Hal ini merujuk pada KEJ 11 pasal yang ditetapkan 14 Maret 2006.
Selanjutnya, apakah pemberitaan yang diduga mengandung berita bohong tersebut boleh distempel hoaks oleh instansi di luar Dewan Pers? Bila hal ini terjadi maka menjadi persoalan serius bagi kemerdekaan pers di Indonesia.
Baca juga: PWI Kalteng nilai penundaan Porwanas sebagai keputusan bijak
Baca juga: Sembilan asesor akan uji peserta UKW Kalteng
Pasal 15 UU Pers dengan jelas hanya menunjuk Dewan Pers sebagai lembaga atau institusi penjaga kemerdekaan pers yang independen.
"Jadi, terhadap produk pers tidak ada instansi lain yang boleh memberikan stempel hoaks atau berita bohong. Penilaian terhadap karya jurnalistik yang melanggar etik ada pada Dewan Pers, bukan instansi lain," katanya.
Haris menambahkan, stempel hoaks boleh ditempelkan pada media tanpa legalitas produknya bukan produk pers dan boleh distempel hoaks serta media sosial atau media yang tidak memiliki penanggung jawab.
Selain itu Haris menegaskan, media yang terdata dengan baik dan berbadan hukum dimaksudkan agar media tersebut lebih profesional dan mengurangi adanya praktek penyimpangan dilapangan.
"Dengan demikian, dalam hal praktek dilapangan, penyimpangan bisa dikurangi dengan mengacu pada kode etik jurnalistik yang ada," tegas Haris.
Baca juga: PWI Kalteng peringati HANI dengan pertandingan sepak bola
Baca juga: Tingkatkan kualitas wartawan di Bartim melalui UKW
Baca juga: Ketua PWI Seruyan terima penghargaan dari kepolisian