Sumatera Selatan (ANTARA) - Pemberian dana hibah pembangunan Masjid Raya Sriwijaya di Palembang ternyata maladministrasi terungkap oleh saksi pada sidang lanjutan pembuktian tindak pidana korupsi (tipikor) terhadap empat terdakwa (Edi Hermanto, Syarifudin, Yudi Arminto, dan Dwi Krisdayani), di Pengadilan Negeri Palembang, Sumatera Selatan, Selasa.
Dalam persidangan yang diketuai hakim Sahlan Effendi itu, tiga orang dari sebelas saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan (Sumsel) mengungkapkan bahwa benar pemberian dana hibah dilakukan tanpa dokumen proposal dan pembahasan terpadu.
Saksi Suwandi (tim verifikasi dokumen Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi Sumsel), mengatakan, pemberian dana hibah pembangunan masjid itu dilakukan tanpa dibekali oleh proposal permohonan dari Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya selaku penyelenggara pembangunan.
“Tidak ada proposalnya, tapi sudah cair dana hibah senilai Rp50 miliar,” kata dia.
Ia menjelaskan, hal tersebut diketahui saat dirinya diperintah oleh Kepala Biro Kesra Ahmad Nasuhi (terdakwa) untuk melakukan verifikasi dokumen pencairan dana hibah pembangunan masjid tersebut tahun 2015.
Saat memverifikasi dokumen itu, ia mendapati bahwa Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya sama sekali belum pernah menerbitkan proposal permohonan pembangunan ke Pemprov Sumsel.
“Saya aneh juga bisa begitu,” ujarnya pula.
Lalu, saksi Agustinus Toni (mantan staf di Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Sumsel) mengatakan, ada dua tahap pencairan dana hibah untuk masjid itu, yaitu termin pertama pada tahun 2015 senilai Rp50 miliar, dan termin kedua pada tahun 2017 senilai Rp80 miliar.
Namun dari dua tahap pencairan itu, sama sekali tidak ada pembahasan sebelumnya, bahkan tidak termasuk dalam RKPD saat itu. Sebab, menurutnya, semua sudah ditangani oleh Kepala BPKAD.
"Saya hanya menjalani perintah, yang mulia, semua usul selalu disetujui oleh ketua BPKAD atas nama Laoma L Tobing," ujarnya.
Sementara itu, saksi Akhmad Najib selaku Asisten III Bidang Kesra Pemprov Sumsel saat itu menganggap pemberian dana hibah tersebut sudah sesuai dengan aturan, yaitu Permendagri Nomor 32 Tahun 2012 tentang Pedoman Dana Hibah, SK Gubernur Sumsel, dan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 2014.
“Sudah saya pelajari dokumennya, perdanya ada, pergubnya ada,” ujarnya lagi.
Maka atas pertimbangan tersebut, dirinya berani menandatangani naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) yang mengatur pemberian dana hibah yang totalnya senilai Rp130 miliar.
“Terkait kelengkapan dokumen sebelumnya itu saya tidak tahu,” kata dia pula.
Adapun dalam sidang lanjutan itu dihadiri oleh sebelas orang saksi termasuk dua orang tersangka yang berkas perkaranya sudah dilimpahkan ke JPU.
Saksi itu adalah Richard Cahyadi (mantan Kaban Kesbangpol Sumsel), Agustinus Toni (Staf BPKAD Sumsel), Suwandi (tim verifikasi dokumen Setda Pemprov Sumsel), Rita Aryani, Joko Imam (mantan Asisten IV Administrasi dan Umum Setda Provinsi Sumsel).
Kemudian, MA Gantada (mantan Ketua DPRD Sumsel), Akhmad Najib (Asisisten III Kesejahteraan Rakyat Setda Sumsel), Mukti Sulaiman (tersangka), Ahmad Nasuhi (tersangka), Laoma L Tobing (Kepala BPKAD Sumsel), Toni Aguswara (Anggota Divisi Hukum dan Administrasi Lahan Pembangunan Masjid Sriwijaya).
Sebelumnya ada beberapa pejabat sebagai saksi, yaitu Ardani (Kepala Divisi Hukum Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya sekaligus Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Sumsel), Angga Ariansyah (Kabag Aset Pemprov Sumsel), dan Syahrullah (Wakil Ketua Divisi Hukum dan Lahan Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya), Lumassia (Sekretaris Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya), dan Zainal Effendi Berlian (Ketua Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya sejak 2020), Akmad Najib (Asisten III Bidang Kesra Setda Sumsel), Muddai Madang (mantan Bendahara Umum Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya).
Termasuk dalam kasus ini menyeret mantan Gubernur Sumsel sekaligus Anggota Komisi VII DPR RI Alex Noerdin, dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie.
Saksi tersebut dipanggil untuk mengusut tuntas kasus yang menimbulkan kerugian negara senilai Rp130 miliar.
Sementara ini empat terdakwa disebut telah melanggar Pasal 2 juncto Pasal 18 UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 KUHP dan subsider Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 20/2001 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam persidangan yang diketuai hakim Sahlan Effendi itu, tiga orang dari sebelas saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan (Sumsel) mengungkapkan bahwa benar pemberian dana hibah dilakukan tanpa dokumen proposal dan pembahasan terpadu.
Saksi Suwandi (tim verifikasi dokumen Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi Sumsel), mengatakan, pemberian dana hibah pembangunan masjid itu dilakukan tanpa dibekali oleh proposal permohonan dari Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya selaku penyelenggara pembangunan.
“Tidak ada proposalnya, tapi sudah cair dana hibah senilai Rp50 miliar,” kata dia.
Ia menjelaskan, hal tersebut diketahui saat dirinya diperintah oleh Kepala Biro Kesra Ahmad Nasuhi (terdakwa) untuk melakukan verifikasi dokumen pencairan dana hibah pembangunan masjid tersebut tahun 2015.
Saat memverifikasi dokumen itu, ia mendapati bahwa Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya sama sekali belum pernah menerbitkan proposal permohonan pembangunan ke Pemprov Sumsel.
“Saya aneh juga bisa begitu,” ujarnya pula.
Lalu, saksi Agustinus Toni (mantan staf di Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Sumsel) mengatakan, ada dua tahap pencairan dana hibah untuk masjid itu, yaitu termin pertama pada tahun 2015 senilai Rp50 miliar, dan termin kedua pada tahun 2017 senilai Rp80 miliar.
Namun dari dua tahap pencairan itu, sama sekali tidak ada pembahasan sebelumnya, bahkan tidak termasuk dalam RKPD saat itu. Sebab, menurutnya, semua sudah ditangani oleh Kepala BPKAD.
"Saya hanya menjalani perintah, yang mulia, semua usul selalu disetujui oleh ketua BPKAD atas nama Laoma L Tobing," ujarnya.
Sementara itu, saksi Akhmad Najib selaku Asisten III Bidang Kesra Pemprov Sumsel saat itu menganggap pemberian dana hibah tersebut sudah sesuai dengan aturan, yaitu Permendagri Nomor 32 Tahun 2012 tentang Pedoman Dana Hibah, SK Gubernur Sumsel, dan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 2014.
“Sudah saya pelajari dokumennya, perdanya ada, pergubnya ada,” ujarnya lagi.
Maka atas pertimbangan tersebut, dirinya berani menandatangani naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) yang mengatur pemberian dana hibah yang totalnya senilai Rp130 miliar.
“Terkait kelengkapan dokumen sebelumnya itu saya tidak tahu,” kata dia pula.
Adapun dalam sidang lanjutan itu dihadiri oleh sebelas orang saksi termasuk dua orang tersangka yang berkas perkaranya sudah dilimpahkan ke JPU.
Saksi itu adalah Richard Cahyadi (mantan Kaban Kesbangpol Sumsel), Agustinus Toni (Staf BPKAD Sumsel), Suwandi (tim verifikasi dokumen Setda Pemprov Sumsel), Rita Aryani, Joko Imam (mantan Asisten IV Administrasi dan Umum Setda Provinsi Sumsel).
Kemudian, MA Gantada (mantan Ketua DPRD Sumsel), Akhmad Najib (Asisisten III Kesejahteraan Rakyat Setda Sumsel), Mukti Sulaiman (tersangka), Ahmad Nasuhi (tersangka), Laoma L Tobing (Kepala BPKAD Sumsel), Toni Aguswara (Anggota Divisi Hukum dan Administrasi Lahan Pembangunan Masjid Sriwijaya).
Sebelumnya ada beberapa pejabat sebagai saksi, yaitu Ardani (Kepala Divisi Hukum Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya sekaligus Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Sumsel), Angga Ariansyah (Kabag Aset Pemprov Sumsel), dan Syahrullah (Wakil Ketua Divisi Hukum dan Lahan Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya), Lumassia (Sekretaris Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya), dan Zainal Effendi Berlian (Ketua Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya sejak 2020), Akmad Najib (Asisten III Bidang Kesra Setda Sumsel), Muddai Madang (mantan Bendahara Umum Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya).
Termasuk dalam kasus ini menyeret mantan Gubernur Sumsel sekaligus Anggota Komisi VII DPR RI Alex Noerdin, dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie.
Saksi tersebut dipanggil untuk mengusut tuntas kasus yang menimbulkan kerugian negara senilai Rp130 miliar.
Sementara ini empat terdakwa disebut telah melanggar Pasal 2 juncto Pasal 18 UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 KUHP dan subsider Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 20/2001 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.