Jakarta (ANTARA) - Mantan karyawan Facebook Inc, Frances Haugen, menilai media sosial tersebut bisa memicu lebih banyak kerusuhan di seluruh dunia jika tidak menghentikan algoritma yang mendorong penyebaran konten ekstrem dan berpotensi memecah belah.
Haugen, kepada parlemen Inggris Raya, mengatakan Facebook melihat keamanan di dunia maya memakan biaya. Dia juga menilai media sosial tersebut menganggap jalan pintas adalah hal yang baik.
"Tidak perlu ditanyakan lagi, ia membuat kebencian jadi semakin buruk," kata Haugen, dikutip dari Reuters, Selasa.
Haugen mengaku terpacu oleh rencana Britania yang ingin memaksa perusahaan teknologi besar untuk mengatasi konten berbahaya di platform mereka.
Baca juga: Facebook diminta transparan soal kebijakan akun tokoh terkenal
Haugen menilai bahwa Facebook, terutama untuk Amerika Serikat, menutup mata akan dampak yang mereka timbulkan di berbagai pasar akibat kekurangan staf yang mampu berbahasa lokal. Akibatnya, mereka gagal memahami bahaya dari pesan-pesan yang ada di platform tersebut.
"Peristiwa yang kita lihat di seluruh dunia, seperti di Myanmar dan Ethiopia, adalah bab pembuka karena peringkat yang berdasarkan interaksi melibatkan dua hal. Pertama prioritas dan amplifikasi konten yang memecah belah dan polarisasi dan kedua, mereka memusatkannya," kata Haugen.
CEO Facebook Mark Zuckerbeg membantah tuduhan-tuduhan Haugen. Zuckerberg menyatakan tidak masuk akal Facebook secara sengaja mendorong konten yang membuat orang marah.
"Bertolak belakang dengan apa yang dibahas pada sidang, kami selalu memiliki insentif komersial untuk menghapus konten berbahaya dari situs kami. Orang tidak mau melihat konten berbahaya ketika menggunakan aplikasi kami dan pengiklan tidak mau iklannya berada di dekat konten berbahaya," kata Zuckerberg.
Inggris Raya berencana membuat undang-undang yang bisa mengenakan denda kepada perusahaan media sosial sebesar 10 persen dari pendapatan mereka jika gagal menghapus atau membatasi penyebaran konten ilegal.
Baca juga: Facebook akan rekrut puluhan ribu karyawan untuk bangun 'metaverse'
Baca juga: Facebook ditekan untuk atasi hoaks vaksin COVID-19
Baca juga: Facebook hapus konten pelecehan seksual terhadap figur publik
Haugen, kepada parlemen Inggris Raya, mengatakan Facebook melihat keamanan di dunia maya memakan biaya. Dia juga menilai media sosial tersebut menganggap jalan pintas adalah hal yang baik.
"Tidak perlu ditanyakan lagi, ia membuat kebencian jadi semakin buruk," kata Haugen, dikutip dari Reuters, Selasa.
Haugen mengaku terpacu oleh rencana Britania yang ingin memaksa perusahaan teknologi besar untuk mengatasi konten berbahaya di platform mereka.
Baca juga: Facebook diminta transparan soal kebijakan akun tokoh terkenal
Haugen menilai bahwa Facebook, terutama untuk Amerika Serikat, menutup mata akan dampak yang mereka timbulkan di berbagai pasar akibat kekurangan staf yang mampu berbahasa lokal. Akibatnya, mereka gagal memahami bahaya dari pesan-pesan yang ada di platform tersebut.
"Peristiwa yang kita lihat di seluruh dunia, seperti di Myanmar dan Ethiopia, adalah bab pembuka karena peringkat yang berdasarkan interaksi melibatkan dua hal. Pertama prioritas dan amplifikasi konten yang memecah belah dan polarisasi dan kedua, mereka memusatkannya," kata Haugen.
CEO Facebook Mark Zuckerbeg membantah tuduhan-tuduhan Haugen. Zuckerberg menyatakan tidak masuk akal Facebook secara sengaja mendorong konten yang membuat orang marah.
"Bertolak belakang dengan apa yang dibahas pada sidang, kami selalu memiliki insentif komersial untuk menghapus konten berbahaya dari situs kami. Orang tidak mau melihat konten berbahaya ketika menggunakan aplikasi kami dan pengiklan tidak mau iklannya berada di dekat konten berbahaya," kata Zuckerberg.
Inggris Raya berencana membuat undang-undang yang bisa mengenakan denda kepada perusahaan media sosial sebesar 10 persen dari pendapatan mereka jika gagal menghapus atau membatasi penyebaran konten ilegal.
Baca juga: Facebook akan rekrut puluhan ribu karyawan untuk bangun 'metaverse'
Baca juga: Facebook ditekan untuk atasi hoaks vaksin COVID-19
Baca juga: Facebook hapus konten pelecehan seksual terhadap figur publik