Solo (ANTARA) - Eks narapidana terorisme, Munir Kartono, secara terbuka meminta maaf kepada masyarakat Solo, Provinsi Jawa Tengah, atas perbuatannya sebagai donatur atau pendana kejadian aksi bom bunuh diri oleh Nur Rohman di Markas Polres Kota Surakarta, pada 2016.
"Saya memohon kepada semua pihak untuk dibukakan pintu maaf yang besar-besarnya atas apa yang saya lakukan. Saya menyadari apa yang dilakukan sebuah kesalahan besar," kata Kartono saat acara permintaan maaf kepada masyarakat, di Balai Kota Surakarta, Kamis.
Ia bertindak selaku pendana aksi bom bunuh diri yang terjadi Selasa, 5 Juli 2016, pada saat anggota-anggota Polresta Surakarta sedang apel pagi rutin. Rohman, selaku eksekutor bom bunuh diri yang memakai sepeda motor, secara sangat tiba-tiba merangsek masuk ke halaman dalam Markas Polresta Surakarta.
Polisi-polisi yang ada di sana saat itu sempat mengejar dia, dan dalam manuvernya menuju luar markas itu, bom meledak hingga menewaskan pembawanya, dan ada polisi terluka.
Saat dia mengutarakan permintaan maaf, hadir juga korban, Inspektur Polisi Dua Bambang Cahyono (anggota Markas Polresta Surakarta) dan disaksikan Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka, Kepala Polresta Surakarta, Komisaris Besar Polisi Ade Safri Simanjuntak, Kasudit Sosialisasi Direktorat Identifikasi dan Sosialisasi Densus 88 Antiteror Kepolisian Indonesia, Komisaris Polisi James William, dan perwakilan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Jawa Tengah.
"Saya selaku pendana aksi bom bunuh diri di Markas Polresta Surakarta yang dilakukan Nur Rohman, pada 2016, yang pada akhirnya menjadi sebuah tragedi dalam kehidupan masyarakat Solo," kata Kartono.
Selama masa hukuman, dia menyadari apa yang dilakukan pada saat itu merupakan kesalahan dan setelah menerima pembinaan yang dilakukan dari berbagai pihak baik Densus 88 Antiteror, BNPT maupun berbagai pihak lainnya meminta dirinya untuk menyadari apa yang dilakukan itu adalah kesalahan besar.
Ia dibantu dari berbagai pihak untuk datang ke Pemerintah Kota Surakarta memenuhi apa yang sudah dia janjikan sendiri, yaitu meminta maaf kepada seluruh masyarakat Surakarta.
Sementara itu Cahyono yang menjadi korban bom bunuh itu menyatakan sudah memberikan maaf secara ikhlas apa yang dilakukan pelaku.
Adapun Willian mengatakan kasus bom bunuh diri yang melibatkan Kartono berawal usai kejadian di Markas Polresta Surakarta pada 2016. Ia ditangkap dan ditahan kemudian menjalani proses hukum.
Pada proses hukum tersebut, kata dia, Densus 88 ada paradigma baru, tidak hanya upaya keras yang dilakukan dalam penegakan hukum, tetapi ada upaya penanggulangan yang sifatnya sebaliknya.
Densus 88 sebagai pelaksana awal dari wakil negara hadir untuk upaya yang halus, untuk menyentuh orangnya, bagaimana menyadarkan yang bersangkutan bahwa perbuatannya itu salah walau memerlukan waksu penanganan yang panjang.
Setelah yang bersangkutan selesai pembinaan dengan status terdakwa dipindahkan ke LP sebagai narapidana. Kemudian yang bersangkutan keluar dari LP dan ada sentuhan negara yang hadir, maka timbul keinginan dia menyadari kesalahannya kemudian meminta maaf yang difasilitasi Pemerintah Kota Surakarta.
"Hal ini suatu momentum hala yang besar bukan hanya untuk Surakarta, tetapi untuk dunia bahwa model penanggulangan wujudnya tidak hanya cara keras dalam penegakan hukum tetapi juga cara-cara halus," katanya.
"Saya memohon kepada semua pihak untuk dibukakan pintu maaf yang besar-besarnya atas apa yang saya lakukan. Saya menyadari apa yang dilakukan sebuah kesalahan besar," kata Kartono saat acara permintaan maaf kepada masyarakat, di Balai Kota Surakarta, Kamis.
Ia bertindak selaku pendana aksi bom bunuh diri yang terjadi Selasa, 5 Juli 2016, pada saat anggota-anggota Polresta Surakarta sedang apel pagi rutin. Rohman, selaku eksekutor bom bunuh diri yang memakai sepeda motor, secara sangat tiba-tiba merangsek masuk ke halaman dalam Markas Polresta Surakarta.
Polisi-polisi yang ada di sana saat itu sempat mengejar dia, dan dalam manuvernya menuju luar markas itu, bom meledak hingga menewaskan pembawanya, dan ada polisi terluka.
Saat dia mengutarakan permintaan maaf, hadir juga korban, Inspektur Polisi Dua Bambang Cahyono (anggota Markas Polresta Surakarta) dan disaksikan Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka, Kepala Polresta Surakarta, Komisaris Besar Polisi Ade Safri Simanjuntak, Kasudit Sosialisasi Direktorat Identifikasi dan Sosialisasi Densus 88 Antiteror Kepolisian Indonesia, Komisaris Polisi James William, dan perwakilan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Jawa Tengah.
"Saya selaku pendana aksi bom bunuh diri di Markas Polresta Surakarta yang dilakukan Nur Rohman, pada 2016, yang pada akhirnya menjadi sebuah tragedi dalam kehidupan masyarakat Solo," kata Kartono.
Selama masa hukuman, dia menyadari apa yang dilakukan pada saat itu merupakan kesalahan dan setelah menerima pembinaan yang dilakukan dari berbagai pihak baik Densus 88 Antiteror, BNPT maupun berbagai pihak lainnya meminta dirinya untuk menyadari apa yang dilakukan itu adalah kesalahan besar.
Ia dibantu dari berbagai pihak untuk datang ke Pemerintah Kota Surakarta memenuhi apa yang sudah dia janjikan sendiri, yaitu meminta maaf kepada seluruh masyarakat Surakarta.
Sementara itu Cahyono yang menjadi korban bom bunuh itu menyatakan sudah memberikan maaf secara ikhlas apa yang dilakukan pelaku.
Adapun Willian mengatakan kasus bom bunuh diri yang melibatkan Kartono berawal usai kejadian di Markas Polresta Surakarta pada 2016. Ia ditangkap dan ditahan kemudian menjalani proses hukum.
Pada proses hukum tersebut, kata dia, Densus 88 ada paradigma baru, tidak hanya upaya keras yang dilakukan dalam penegakan hukum, tetapi ada upaya penanggulangan yang sifatnya sebaliknya.
Densus 88 sebagai pelaksana awal dari wakil negara hadir untuk upaya yang halus, untuk menyentuh orangnya, bagaimana menyadarkan yang bersangkutan bahwa perbuatannya itu salah walau memerlukan waksu penanganan yang panjang.
Setelah yang bersangkutan selesai pembinaan dengan status terdakwa dipindahkan ke LP sebagai narapidana. Kemudian yang bersangkutan keluar dari LP dan ada sentuhan negara yang hadir, maka timbul keinginan dia menyadari kesalahannya kemudian meminta maaf yang difasilitasi Pemerintah Kota Surakarta.
"Hal ini suatu momentum hala yang besar bukan hanya untuk Surakarta, tetapi untuk dunia bahwa model penanggulangan wujudnya tidak hanya cara keras dalam penegakan hukum tetapi juga cara-cara halus," katanya.