Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengingatkan para petugas keimigrasian agar hati-hati menerbitkan paspor.
"Tindakan pejabat imigrasi ini penuh dengan diskresi. Diskresi ini kalau tidak beriktikad baik, maka kasus paspor palsu bisa terulang lagi," kata Wamenkumham pada seminar bedah buku "Posisi Hukum Keimigrasian Dalam Hukum Indonesia" di Jakarta, Kamis.
Ia menyinggung kasus paspor palsu Adelin Lis alias Hendro Leonardi. Faktanya, paspor tersebut bukan palsu karena diterbitkan Petugas Keimigrasian Jakarta Utara.
"Paspornya asli namun identitasnya yang palsu," ujar dia.
Dari kasus tersebut, ia menilai ada dua kemungkinan. Pertama, jika pejabat imigrasi mengetahui identitas yang disodorkan pemohon adalah palsu dan diterbitkan maka masuk kedalam Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHP.
Namun, jika pejabat imigrasi yang mengeluarkan paspor tersebut tidak mengetahui identitas yang dimohonkan palsu, maka kondisi itu masuk kategori kesesatan fakta, katanya.
"Jadi hanya Tuhan dan pejabat imigrasi yang mengeluarkan paspor apakah dia tahu identitas itu asli atau palsu," ujarnya.
Oleh karena itu, setiap pejabat atau pegawai imigrasi harus memiliki iktikad baik, yakni kejujuran dan kepatutan dalam bertugas.
Selain iktikad baik, katanya, maka setiap pejabat imigrasi harus memiliki asas kepercayaan. Hal ini berkaitan dengan suatu negara harus percaya kepada tindakan pejabat negara asing terhadap warga negaranya.
"Tidak hanya itu, pejabat imigrasi harus memiliki asas timbal balik," kata dia.
Dalam hal ini, ujar dia, jika suatu negara atau petugas imigrasi ingin warga negaranya diperlakukan dengan baik di negara lain, maka harus memperlakukan dengan baik warga negara asing.
Sebab, katanya, objek dari keimigrasian adalah orang asing. Di saat bersamaan aspek ini harus sejalan atau menjunjung tinggi hak asasi manusia.
"Tindakan pejabat imigrasi ini penuh dengan diskresi. Diskresi ini kalau tidak beriktikad baik, maka kasus paspor palsu bisa terulang lagi," kata Wamenkumham pada seminar bedah buku "Posisi Hukum Keimigrasian Dalam Hukum Indonesia" di Jakarta, Kamis.
Ia menyinggung kasus paspor palsu Adelin Lis alias Hendro Leonardi. Faktanya, paspor tersebut bukan palsu karena diterbitkan Petugas Keimigrasian Jakarta Utara.
"Paspornya asli namun identitasnya yang palsu," ujar dia.
Dari kasus tersebut, ia menilai ada dua kemungkinan. Pertama, jika pejabat imigrasi mengetahui identitas yang disodorkan pemohon adalah palsu dan diterbitkan maka masuk kedalam Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHP.
Namun, jika pejabat imigrasi yang mengeluarkan paspor tersebut tidak mengetahui identitas yang dimohonkan palsu, maka kondisi itu masuk kategori kesesatan fakta, katanya.
"Jadi hanya Tuhan dan pejabat imigrasi yang mengeluarkan paspor apakah dia tahu identitas itu asli atau palsu," ujarnya.
Oleh karena itu, setiap pejabat atau pegawai imigrasi harus memiliki iktikad baik, yakni kejujuran dan kepatutan dalam bertugas.
Selain iktikad baik, katanya, maka setiap pejabat imigrasi harus memiliki asas kepercayaan. Hal ini berkaitan dengan suatu negara harus percaya kepada tindakan pejabat negara asing terhadap warga negaranya.
"Tidak hanya itu, pejabat imigrasi harus memiliki asas timbal balik," kata dia.
Dalam hal ini, ujar dia, jika suatu negara atau petugas imigrasi ingin warga negaranya diperlakukan dengan baik di negara lain, maka harus memperlakukan dengan baik warga negara asing.
Sebab, katanya, objek dari keimigrasian adalah orang asing. Di saat bersamaan aspek ini harus sejalan atau menjunjung tinggi hak asasi manusia.