Sampit (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah sedang mendata usulan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan hutan adat, yang hingga saat ini sudah ada 10 usulan yang disampaikan masyarakat.
"Ini adalah kehadiran pemerintah dengan mengakui hukum adat untuk melindungi hak-hak masyarakat adat tradisional. Saya minta seluruh kecamatan segera menindaklanjuti ini karena memang Masyarakat Hukum Adat harus dilindungi," kata Wakil Bupati Irawati di Sampit, Selasa.
Harapan itu disampaikan Irawati saat membuka sosialisasi tahapan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat dan hutan adat Kabupaten Kotawaringin Timur yang digelar oleh Dinas Lingkungan Hidup.
Irawati menyayangkan kegiatan ini hanya dihadiri langsung dua camat yaitu Camat Tualan Hulu dan Antang Kalang. Dia sebenarnya berharap 17 camat di kabupaten ini yang hadir langsung karena ini sangat penting bagi masyarakat, khususnya masyarakat adat.
Melalui sosialisasi ini pemerintah kecamatan bisa menginventarisasi dan memfasilitasi pengusulan MHA dan hukum adat. Untuk itu sangat penting bagi semua pihak memahami alur pengusulan tersebut agar sesuai aturan dan bisa disetujui pemerintah.
"Dilihat di aturan, nanti yang menjadi Perda atau Perbup berdasarkan laporan masyarakat kepada Mantir, Damang, kepala desa, kemudian ke camat, lalu dilanjutkan ke bupati," ujar Irawati.
Baca juga: Rapat gabungan DPRD Kotim sepakati Raperda Pertanggungjawaban APBD 2021
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kotawaringin Timur Machmoer mengatakan, sosialisasi dilaksanakan agar masyarakat memahami tahapan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat dan hutan adat sehingga menghasilkan keputusan bupati ataupun peraturan daerah yang mengakui dan melindungi hak-hak kelompok masyarakat adat di Kotawaringin Timur.
"Kegiatan ini juga merupakan upaya untuk melindungi komunitas masyarakat adat, wilayah adat, hukum adat, flora dan fauna situs-situs adat dan budaya serta kearifan lokal yang termasuk di dalamnya," kata Machmoer.
Dia menambahkan, kegiatan ini juga Menindaklanjuti hasil rapat koordinasi Panitia Masyarakat Hukum Adat pada 7 Desember 2021 lalu. Hingga saat ini dinas lingkungan hidup telah menerima 10 usulan Masyarakat Hukum Adat dari tiga Kecamatan.
Usulan tersebut yaitu dari Kecamatan Telawang yang meliputi Desa Sebabi, Kenyala, Tanah Putih, Biru Maju dan Penyang. Kecamatan Parenggean meliputi Desa Kabuau dan Tehang serta Kecamatan Antang Kalang yang meliputi Desa Tumbang Sepayang dan Tumbang Gagu.
Menurut Machmoer, saat ini Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah, Kotawaringin Timur termasuk yang paling banyak memiliki cagar budaya. Kebudayaan daerah ini cukup beragam seperti di pesisir seperti simah laut, di hulu ada tiwah juga bangunan sandung, betang dan lainnya.
Terkait hutan adat, menurutnya kendala selama ini adalah status kawasan. Banyak hak masyarakat adat, seperti tanah adat itu sebagian berada di kawasan hutan. Ini yang diperjuangkan pemerintah daerah melalui pinjam pakai atau pengukuhan kawasan dengan persetujuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Yang diharapkan adalah pengakuan bahwa tanah itu pemiliknya adalah masyarakat adat, termasuk kecamatan. Masyarakat juga akan menjadi aman dan nyaman berusaha karena ada kepastian hukum. Kalau mau dikembangkan, tinggal kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat adat, apakah akan dijadikan ekowisata, cagar budaya dan lainnya," demikian Machmoer.
Baca juga: DPRD Kotim tetap soroti laporan keuangan meski mendapat opini WTP
Baca juga: Gaji ke-13 Pemkab Kotim dibayar 4 Juli
Baca juga: Stadion 29 November Sampit dibenahi berstandar nasional
"Ini adalah kehadiran pemerintah dengan mengakui hukum adat untuk melindungi hak-hak masyarakat adat tradisional. Saya minta seluruh kecamatan segera menindaklanjuti ini karena memang Masyarakat Hukum Adat harus dilindungi," kata Wakil Bupati Irawati di Sampit, Selasa.
Harapan itu disampaikan Irawati saat membuka sosialisasi tahapan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat dan hutan adat Kabupaten Kotawaringin Timur yang digelar oleh Dinas Lingkungan Hidup.
Irawati menyayangkan kegiatan ini hanya dihadiri langsung dua camat yaitu Camat Tualan Hulu dan Antang Kalang. Dia sebenarnya berharap 17 camat di kabupaten ini yang hadir langsung karena ini sangat penting bagi masyarakat, khususnya masyarakat adat.
Melalui sosialisasi ini pemerintah kecamatan bisa menginventarisasi dan memfasilitasi pengusulan MHA dan hukum adat. Untuk itu sangat penting bagi semua pihak memahami alur pengusulan tersebut agar sesuai aturan dan bisa disetujui pemerintah.
"Dilihat di aturan, nanti yang menjadi Perda atau Perbup berdasarkan laporan masyarakat kepada Mantir, Damang, kepala desa, kemudian ke camat, lalu dilanjutkan ke bupati," ujar Irawati.
Baca juga: Rapat gabungan DPRD Kotim sepakati Raperda Pertanggungjawaban APBD 2021
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kotawaringin Timur Machmoer mengatakan, sosialisasi dilaksanakan agar masyarakat memahami tahapan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat dan hutan adat sehingga menghasilkan keputusan bupati ataupun peraturan daerah yang mengakui dan melindungi hak-hak kelompok masyarakat adat di Kotawaringin Timur.
"Kegiatan ini juga merupakan upaya untuk melindungi komunitas masyarakat adat, wilayah adat, hukum adat, flora dan fauna situs-situs adat dan budaya serta kearifan lokal yang termasuk di dalamnya," kata Machmoer.
Dia menambahkan, kegiatan ini juga Menindaklanjuti hasil rapat koordinasi Panitia Masyarakat Hukum Adat pada 7 Desember 2021 lalu. Hingga saat ini dinas lingkungan hidup telah menerima 10 usulan Masyarakat Hukum Adat dari tiga Kecamatan.
Usulan tersebut yaitu dari Kecamatan Telawang yang meliputi Desa Sebabi, Kenyala, Tanah Putih, Biru Maju dan Penyang. Kecamatan Parenggean meliputi Desa Kabuau dan Tehang serta Kecamatan Antang Kalang yang meliputi Desa Tumbang Sepayang dan Tumbang Gagu.
Menurut Machmoer, saat ini Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah, Kotawaringin Timur termasuk yang paling banyak memiliki cagar budaya. Kebudayaan daerah ini cukup beragam seperti di pesisir seperti simah laut, di hulu ada tiwah juga bangunan sandung, betang dan lainnya.
Terkait hutan adat, menurutnya kendala selama ini adalah status kawasan. Banyak hak masyarakat adat, seperti tanah adat itu sebagian berada di kawasan hutan. Ini yang diperjuangkan pemerintah daerah melalui pinjam pakai atau pengukuhan kawasan dengan persetujuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Yang diharapkan adalah pengakuan bahwa tanah itu pemiliknya adalah masyarakat adat, termasuk kecamatan. Masyarakat juga akan menjadi aman dan nyaman berusaha karena ada kepastian hukum. Kalau mau dikembangkan, tinggal kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat adat, apakah akan dijadikan ekowisata, cagar budaya dan lainnya," demikian Machmoer.
Baca juga: DPRD Kotim tetap soroti laporan keuangan meski mendapat opini WTP
Baca juga: Gaji ke-13 Pemkab Kotim dibayar 4 Juli
Baca juga: Stadion 29 November Sampit dibenahi berstandar nasional