Palangka Raya (ANTARA) - Ketua Program Studi Magister Hukum (S2) Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya, Kalimantan Tengah, DR Mutia Evi Kristhy SH MHum menyatakan bahwa keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Indonesia, baru sekedar diakui namun belum diikuti kepastian
Pengakuan terhadap MHA itu baru sekedar deklaratif karena tercantum dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 (UUD 45), kata Mutia saat menjadi narasumber dalam Podcast Bara Kalteng di Palangka Raya, Rabu.
"Sedangkan dari segi Undang-undang, sampai sekarang belum ada. Memang sudah ada Rancangan UU terkait MHA. Tim (di DPR RI) membahas RUU MHA itu juga sudah ada. Tapi terkait subjek, belum ada," ucapnya.
Menurut akademisi UPR itu, subjek MHA akan sulit bergerak apabila aturan yang menjadi landasannya belum ada. Untuk itulah, sekarang ini yang perlu dilakukan adalah mendorong segera dibuat landasan hukum MHA berupa UU.
Mutia mengatakan, sekalipun pemerintah daerah memiliki perhatian dan keseriusan terhadap MHA, bahkan sampai membuat peraturan daerah (perda), tetap kurang kuat jika tidak ada aturan lebih tinggi atau di atasnya yang menjadi landasannya.
"Kami dari akademisi, terkhusus Prodi Magister Hukum FH UPR, turut memberikan perhatian terhadap keterlibatan MHA dalam berbagai program pemerintah, termasuk food estate yang sedang dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Kalteng," kata Mutia.
Baca juga: Palangka Raya lindungi hak Masyarakat Adat melalui pengakuan MHA
Dalam Podcast Bara Kalteng itu, turut hadir Direktur Eksekutif Jangkar Solidaritas Hukum Kairos Fidelis Harefa sebagai narasumber. Dirinya menyampaikan bahwa pihaknya bersama Prodi Magister Hukum FH UPR ada melakukan penelitian terhadap keberadaan MHA dan perannya dalam program food estate.
Dia mengatakan, dari hasil penelitian yang telah dilakukan, sekalipun secara fakta ada komunitas MHA, namun sebenarnya belum diakui sebagai subjek atau pelaku hukum. Sebab, di Indonesia ini subjek hukum hanya ada dua, yakni perorangan dan badan usaha.
"Alhasil, keberadaan komunitas MHA sebenarnya tidak diakui sebagai subjek hukum. Jadi, kami setuju dengan pernyataan ibu Mutia, bagaimana agar RUU MHA dapat segera disahkan menjadi UU. Itu menjadi dasarnya," kata Fidelis.
Pernyataan lengkap Kaprodi Magister Hukum FH UPR dan Direktur Eksekutif Jangkar Solidaritas Hukum Kairos, akan ditayangkan dalam podcast Bara Kalteng.
Baca juga: Bupati Gumas jelaskan tujuan Raperda Pengakuan dan Perlindungan MHA
Baca juga: Bupati Kapuas terbitkan SK Pengakuan MHA Timpah Suku Dayak Ngaju
Baca juga: Gumas targetkan Raperda Pengakuan dan Perlindungan MHA rampung di Desember 2021
Pengakuan terhadap MHA itu baru sekedar deklaratif karena tercantum dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 (UUD 45), kata Mutia saat menjadi narasumber dalam Podcast Bara Kalteng di Palangka Raya, Rabu.
"Sedangkan dari segi Undang-undang, sampai sekarang belum ada. Memang sudah ada Rancangan UU terkait MHA. Tim (di DPR RI) membahas RUU MHA itu juga sudah ada. Tapi terkait subjek, belum ada," ucapnya.
Menurut akademisi UPR itu, subjek MHA akan sulit bergerak apabila aturan yang menjadi landasannya belum ada. Untuk itulah, sekarang ini yang perlu dilakukan adalah mendorong segera dibuat landasan hukum MHA berupa UU.
Mutia mengatakan, sekalipun pemerintah daerah memiliki perhatian dan keseriusan terhadap MHA, bahkan sampai membuat peraturan daerah (perda), tetap kurang kuat jika tidak ada aturan lebih tinggi atau di atasnya yang menjadi landasannya.
"Kami dari akademisi, terkhusus Prodi Magister Hukum FH UPR, turut memberikan perhatian terhadap keterlibatan MHA dalam berbagai program pemerintah, termasuk food estate yang sedang dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Kalteng," kata Mutia.
Baca juga: Palangka Raya lindungi hak Masyarakat Adat melalui pengakuan MHA
Dalam Podcast Bara Kalteng itu, turut hadir Direktur Eksekutif Jangkar Solidaritas Hukum Kairos Fidelis Harefa sebagai narasumber. Dirinya menyampaikan bahwa pihaknya bersama Prodi Magister Hukum FH UPR ada melakukan penelitian terhadap keberadaan MHA dan perannya dalam program food estate.
Dia mengatakan, dari hasil penelitian yang telah dilakukan, sekalipun secara fakta ada komunitas MHA, namun sebenarnya belum diakui sebagai subjek atau pelaku hukum. Sebab, di Indonesia ini subjek hukum hanya ada dua, yakni perorangan dan badan usaha.
"Alhasil, keberadaan komunitas MHA sebenarnya tidak diakui sebagai subjek hukum. Jadi, kami setuju dengan pernyataan ibu Mutia, bagaimana agar RUU MHA dapat segera disahkan menjadi UU. Itu menjadi dasarnya," kata Fidelis.
Pernyataan lengkap Kaprodi Magister Hukum FH UPR dan Direktur Eksekutif Jangkar Solidaritas Hukum Kairos, akan ditayangkan dalam podcast Bara Kalteng.
Baca juga: Bupati Gumas jelaskan tujuan Raperda Pengakuan dan Perlindungan MHA
Baca juga: Bupati Kapuas terbitkan SK Pengakuan MHA Timpah Suku Dayak Ngaju
Baca juga: Gumas targetkan Raperda Pengakuan dan Perlindungan MHA rampung di Desember 2021