Jakarta (ANTARA) - Psikolog sosial Dr. Juneman Abraham, S.Psi, M.Si menekankan pentingnya menjaga mental kolektif untuk mencegah insiden seperti yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur usai pertandingan sepak bola Liga 1 antara Persebaya Surabaya dengan Arema FC pada Sabtu (1/10).
Menjaga mental kolektif massa tetap positif penting sehingga ketika terjadi sesuatu yang tidak sesuai ekspektasi, masyarakat tetap bisa rasional menghadapi kejadian tersebut.
"Ini bukan perkara pendidikan mental individu, melainkan soal kebutuhan akan 'mental model' yang baik, fair, damai dalam suasana kolektif. Massa bisa mengimitasi atau meniru model yang baik jika ada banyak contoh," kata Juneman yang juga Ketua Kompartemen Riset dan Publikasi, Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) kepada ANTARA, Minggu.
Baca juga: PSSI akui tak prediksi bakal terjadi kerusuhan di Stadion Kanjuruhan
Adapun kumpulan orang banyak atau bisa disebut juga massa dalam teori bernama "Psikoanalisis Sosial" digambarkan memiliki karakter yang bersifat cair.
Bersifat cair dalam artian, meski terdiri dari kumpulan orang yang rasional, selalu ada peluang massa itu bersikap impulsif atau berbuat sesuatu tanpa berpikir panjang, reaktif, mudah tersinggung, dan mudah meniru perbuatan pihak lain yang tergabung dalam massa itu.
Kondisi itu juga menggambarkan mental kolektif yang sebenarnya bisa menghasilkan hasil positif apabila gaung dan pesan positif ditonjolkan.
Kondisi ini tidak hanya terbatas pada penonton sepak bola saja, tapi juga kumpulan massa lainnya di berbagai lini kehidupan seperti penonton konser bahkan masyarakat yang mendukung pencalonan tokoh politik.
Untuk itu, jika mengambil konteks pertandingan olahraga, ada baiknya ketika suatu klub mengalami kekalahan pendukung justru sebisa mungkin menyikapi kekalahan tersebut dengan lebih dewasa dan tidak meluapkan emosinya ke arah negatif seperti berucap kata tak pantas ataupun melempar barang ke klub lawan.
"Maka kita semua perlu mengusahakan untuk mengumpulkan contoh-contoh perilaku massa yang baik (tidak hanya dalam konteks olah raga) dan saling menularkan kisah-kisah tersebut," kata Juneman.
Baca juga: Data sementara DVI Polri catat korban meninggal 125 orang
Pria yang juga Kepala Kelompok Riset Etika di Universitas Bina Nusantara itu pun mengungkapkan bahwa pelajaran lainnya yang bisa dipetik adalah dari segi psikologi lingkungan.
Komunikasi dan respons petugas yang bertanggung jawab untuk ketertiban dan keamanan sebuah massa perlu mengedepankan komunikasi yang humanis sehingga tujuan menjaga sebuah acara berlangsung kondusif bisa tercapai.
"Respons-respons yang mengatasi kekerasan atau kerusuhan dengan jalan yang 'agak instan' perlu selalu dipinggirkan sebagai jalan utama. Aparat perlu membangun resiliensi atau ketabahan fisik, pikiran, maupun emosi ketika menghadapi massa. Ini sangat penting,"katanya.
Adapun ketika hubungan yang harmonis dibangun oleh para petugas keamanan dalam hal ini seperti polisi dan masyarakat maka nantinya komunikasi seperti imbauan ataupun ajakan yang bersifat positif justru akan lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Terakhir, pembelajaran yang didapatkan ialah pentingnya melatih "mental pemenang" pada masyarakat sejak dini.
Baca juga: Kapolri tiba di Malang tinjau Stadion Kanjuruhan dan rumah sakit
"Mental Pemenang" yang dimaksud ialah bukan saja bisa menaklukkan lawan namun mental yang bisa menerima kelebihan serta kekurangan lawan maupun diri sendiri.
Dengan demikian, ketika suatu pertandingan atau kegiatan berjalan tidak memenuhi ekspektasi maka baik secara individu maupun massa, masyarakat bisa menyikapi dengan bijak tanpa perlu menciptakan peristiwa yang merugikan banyak orang lain.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi melaporkan hingga Minggu sore (2/10) berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kota Malang, insiden kerusuhan itu menewaskan 131 orang.
Sementara menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) di antara para korban sedikitnya ada 17 anak yang meninggal dan tujuh anak mengalami luka-luka.
Menjaga mental kolektif massa tetap positif penting sehingga ketika terjadi sesuatu yang tidak sesuai ekspektasi, masyarakat tetap bisa rasional menghadapi kejadian tersebut.
"Ini bukan perkara pendidikan mental individu, melainkan soal kebutuhan akan 'mental model' yang baik, fair, damai dalam suasana kolektif. Massa bisa mengimitasi atau meniru model yang baik jika ada banyak contoh," kata Juneman yang juga Ketua Kompartemen Riset dan Publikasi, Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) kepada ANTARA, Minggu.
Baca juga: PSSI akui tak prediksi bakal terjadi kerusuhan di Stadion Kanjuruhan
Adapun kumpulan orang banyak atau bisa disebut juga massa dalam teori bernama "Psikoanalisis Sosial" digambarkan memiliki karakter yang bersifat cair.
Bersifat cair dalam artian, meski terdiri dari kumpulan orang yang rasional, selalu ada peluang massa itu bersikap impulsif atau berbuat sesuatu tanpa berpikir panjang, reaktif, mudah tersinggung, dan mudah meniru perbuatan pihak lain yang tergabung dalam massa itu.
Kondisi itu juga menggambarkan mental kolektif yang sebenarnya bisa menghasilkan hasil positif apabila gaung dan pesan positif ditonjolkan.
Kondisi ini tidak hanya terbatas pada penonton sepak bola saja, tapi juga kumpulan massa lainnya di berbagai lini kehidupan seperti penonton konser bahkan masyarakat yang mendukung pencalonan tokoh politik.
Untuk itu, jika mengambil konteks pertandingan olahraga, ada baiknya ketika suatu klub mengalami kekalahan pendukung justru sebisa mungkin menyikapi kekalahan tersebut dengan lebih dewasa dan tidak meluapkan emosinya ke arah negatif seperti berucap kata tak pantas ataupun melempar barang ke klub lawan.
"Maka kita semua perlu mengusahakan untuk mengumpulkan contoh-contoh perilaku massa yang baik (tidak hanya dalam konteks olah raga) dan saling menularkan kisah-kisah tersebut," kata Juneman.
Baca juga: Data sementara DVI Polri catat korban meninggal 125 orang
Pria yang juga Kepala Kelompok Riset Etika di Universitas Bina Nusantara itu pun mengungkapkan bahwa pelajaran lainnya yang bisa dipetik adalah dari segi psikologi lingkungan.
Komunikasi dan respons petugas yang bertanggung jawab untuk ketertiban dan keamanan sebuah massa perlu mengedepankan komunikasi yang humanis sehingga tujuan menjaga sebuah acara berlangsung kondusif bisa tercapai.
"Respons-respons yang mengatasi kekerasan atau kerusuhan dengan jalan yang 'agak instan' perlu selalu dipinggirkan sebagai jalan utama. Aparat perlu membangun resiliensi atau ketabahan fisik, pikiran, maupun emosi ketika menghadapi massa. Ini sangat penting,"katanya.
Adapun ketika hubungan yang harmonis dibangun oleh para petugas keamanan dalam hal ini seperti polisi dan masyarakat maka nantinya komunikasi seperti imbauan ataupun ajakan yang bersifat positif justru akan lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Terakhir, pembelajaran yang didapatkan ialah pentingnya melatih "mental pemenang" pada masyarakat sejak dini.
Baca juga: Kapolri tiba di Malang tinjau Stadion Kanjuruhan dan rumah sakit
"Mental Pemenang" yang dimaksud ialah bukan saja bisa menaklukkan lawan namun mental yang bisa menerima kelebihan serta kekurangan lawan maupun diri sendiri.
Dengan demikian, ketika suatu pertandingan atau kegiatan berjalan tidak memenuhi ekspektasi maka baik secara individu maupun massa, masyarakat bisa menyikapi dengan bijak tanpa perlu menciptakan peristiwa yang merugikan banyak orang lain.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi melaporkan hingga Minggu sore (2/10) berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kota Malang, insiden kerusuhan itu menewaskan 131 orang.
Sementara menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) di antara para korban sedikitnya ada 17 anak yang meninggal dan tujuh anak mengalami luka-luka.