Palangka Raya (ANTARA) - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kalimantan Tengah siap untuk menjalankan regulasi kemitraan yang dikeluarkan oleh pemerintah, salah satunya termasuk kewajiban memfasilitasi perkebunan 20 persen.
Ketua Pengurus Gapki Cabang Kalteng Dwi Dharmawan melalui Sekretaris Executive, Halind saat menggelar jumpa pers di Palangka Raya, Rabu, mengatakan bahwa saat ini masih banyak multitafsir terkait program kemitraan atau pembangunan kebun rakyat (plasma) oleh masyarakat di sekitar perusahaan besar sawit (PBS).
"Sehingga regulasi terkait kewajiban plasma juga masih menimbulkan perdebatan dan berpotensi konflik, dengan beberapa regulasi yang telah dikeluarkan pemerintah," katanya didampingi pengurus Gapki lainnya.
Dia menuturkan, kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar 20 persen tersebut tentunya tidak hanya berupa pemberian kebun.
"Melainkan juga dapat dilakukan melalui berbagai pola kemitraan dengan masyarakat," ucapnya
Halind mengungkapkan, dengan dimulai Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Jo Nomor 39 Tahun 2014.
Pada pasal 11, perusahaan perkebunan yang memiliki IUP/IUP-B wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar perusahaan, paling rendah seluas 20 persen dari total luas kebun yang diusahakan oleh perusahaan.
"Terkait hal tersebut sudah dijelaskan dengan surat Dirjenbun bahwa 20 persen tersebut, tidak di dalam HGU atau Izin Lokasi/IUP yang dimiliki perusahaan," bebernya.
Sesuai dengan perkembangan Permentan RI Nomor 26 Tahun 2007, direvisi lagi dengan Permentan RI Nomor 98 Tahun 2013 tentang perizinan usaha perkebunan.
Pasal 15 ayat 1 menyebutkan perusahaan perkebunan yang mengajukan IUP-B atau IUP dengan luas 250 Hektare atau lebih berkewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar dengan luasan paling kurang 20 persen dari luas areal IUP/IUP-B.
"Khusus ayat 5 masyarakat sekitar yang layak sebagai peserta sebagaimana dimaksud pada ayat 4 ditetapkan oleh bupati/wali kota berdasarkan usulan dari camat setempat," tegas Halind.
Dilanjutkannya, dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja mengakibatkan perlunya tindak regulasi terhadap ketentuan dalam undang-undang, peraturan pemerintah maupun peraturan menteri yang dianggap banyak menimbulkan masalah dan multitafsir.
Terutama terhadap pasal dan ayat tertentu yang ditetapkan sebelumnya khususnya bidang perkebunan seperti undang-undang Nomor 39 Tahun 2014. Khususnya untuk bidang pertanian termasuk di dalam perkebunan regulasi yang diterbitkan atas dasar undang-undang cipta kerja.
Perusahaan perkebunan yang mendapatkan perizinan berusaha untuk budidaya yang seluruh atau sebagian lahan berasal dari, area penggunaan lain yang berada di luar HGU atau area yang berasal dari pelepasan kawasan hutan.
"Wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat seluas 20 persen dari luas lahan tersebut. Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan paling lambat tiga tahun sejak lahan untuk usaha perkebunan diberikan HGU," tambahnya.
Kemudian untuk Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 2021 dalam Pasal 14 menyatakan, fasilitasi pembangunan kebun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 diberikan kepada masyarakat sekitar yang tergabung dalam kelembagaan pekebun berbasis komoditas perkebunan.
"Kelembagaan sebagaimana dimaksud, kelompok tani, gabungan kelompok tani, lembaga ekonomi petani atau koperasi," katanya.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 2021 dalam Pasal 16 menyatakan fasilitasi pembangunan kebun sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat 1 dapat dilakukan melalui, pola kredit, pola bagi hasil, bentuk pendanaan lain yang disepakati para pihak atau bentuk kemitraan lainnya.
Selanjutnya Pada Pasal 21 angka tiga Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 2021 menyatakan, kegiatan usaha produktif perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diberikan pembiayaan minimal setara dengan nilai optimum produksi kebun di lahan seluas 20 persen dari total areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan.
"Sehingga dalam melaksanakan ketentuan pemerintah dalam fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar dapat juga dalam berbagai bentuk sebagaimana diatur dalam ketentuan yang ada," demikian Halind.
Ketua Pengurus Gapki Cabang Kalteng Dwi Dharmawan melalui Sekretaris Executive, Halind saat menggelar jumpa pers di Palangka Raya, Rabu, mengatakan bahwa saat ini masih banyak multitafsir terkait program kemitraan atau pembangunan kebun rakyat (plasma) oleh masyarakat di sekitar perusahaan besar sawit (PBS).
"Sehingga regulasi terkait kewajiban plasma juga masih menimbulkan perdebatan dan berpotensi konflik, dengan beberapa regulasi yang telah dikeluarkan pemerintah," katanya didampingi pengurus Gapki lainnya.
Dia menuturkan, kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar 20 persen tersebut tentunya tidak hanya berupa pemberian kebun.
"Melainkan juga dapat dilakukan melalui berbagai pola kemitraan dengan masyarakat," ucapnya
Halind mengungkapkan, dengan dimulai Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Jo Nomor 39 Tahun 2014.
Pada pasal 11, perusahaan perkebunan yang memiliki IUP/IUP-B wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar perusahaan, paling rendah seluas 20 persen dari total luas kebun yang diusahakan oleh perusahaan.
"Terkait hal tersebut sudah dijelaskan dengan surat Dirjenbun bahwa 20 persen tersebut, tidak di dalam HGU atau Izin Lokasi/IUP yang dimiliki perusahaan," bebernya.
Sesuai dengan perkembangan Permentan RI Nomor 26 Tahun 2007, direvisi lagi dengan Permentan RI Nomor 98 Tahun 2013 tentang perizinan usaha perkebunan.
Pasal 15 ayat 1 menyebutkan perusahaan perkebunan yang mengajukan IUP-B atau IUP dengan luas 250 Hektare atau lebih berkewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar dengan luasan paling kurang 20 persen dari luas areal IUP/IUP-B.
"Khusus ayat 5 masyarakat sekitar yang layak sebagai peserta sebagaimana dimaksud pada ayat 4 ditetapkan oleh bupati/wali kota berdasarkan usulan dari camat setempat," tegas Halind.
Dilanjutkannya, dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja mengakibatkan perlunya tindak regulasi terhadap ketentuan dalam undang-undang, peraturan pemerintah maupun peraturan menteri yang dianggap banyak menimbulkan masalah dan multitafsir.
Terutama terhadap pasal dan ayat tertentu yang ditetapkan sebelumnya khususnya bidang perkebunan seperti undang-undang Nomor 39 Tahun 2014. Khususnya untuk bidang pertanian termasuk di dalam perkebunan regulasi yang diterbitkan atas dasar undang-undang cipta kerja.
Perusahaan perkebunan yang mendapatkan perizinan berusaha untuk budidaya yang seluruh atau sebagian lahan berasal dari, area penggunaan lain yang berada di luar HGU atau area yang berasal dari pelepasan kawasan hutan.
"Wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat seluas 20 persen dari luas lahan tersebut. Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan paling lambat tiga tahun sejak lahan untuk usaha perkebunan diberikan HGU," tambahnya.
Kemudian untuk Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 2021 dalam Pasal 14 menyatakan, fasilitasi pembangunan kebun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 diberikan kepada masyarakat sekitar yang tergabung dalam kelembagaan pekebun berbasis komoditas perkebunan.
"Kelembagaan sebagaimana dimaksud, kelompok tani, gabungan kelompok tani, lembaga ekonomi petani atau koperasi," katanya.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 2021 dalam Pasal 16 menyatakan fasilitasi pembangunan kebun sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat 1 dapat dilakukan melalui, pola kredit, pola bagi hasil, bentuk pendanaan lain yang disepakati para pihak atau bentuk kemitraan lainnya.
Selanjutnya Pada Pasal 21 angka tiga Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 2021 menyatakan, kegiatan usaha produktif perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diberikan pembiayaan minimal setara dengan nilai optimum produksi kebun di lahan seluas 20 persen dari total areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan.
"Sehingga dalam melaksanakan ketentuan pemerintah dalam fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar dapat juga dalam berbagai bentuk sebagaimana diatur dalam ketentuan yang ada," demikian Halind.