Kendari (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara menyetor uang Rp59.547.507.553 kepada negara sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hasil penindakan tambang ilegal yang ada di daerah tersebut.
Kepala Kejati Sultra Patris Yusrian Jaya di Kendari, Senin mengatakan uang tersebut disita dari dua kasus berbeda terkait pertambangan ilegal yang beroperasi di daerah tersebut.
"Yang pertama itu Rp7 miliar dari perkara atas nama korporasi yaitu PT Bososi Pratama yang telah diputus bersalah melakukan tindak pidana yang diatur pada Pasal 98 Ayat 3 juncto Pasal 19 huruf b UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Unaaha Nomor 8/fit.d/LH/2021/PNUNH tanggal 17 Maret 2021," katanya.
Dia menyampaikan di dalam Putusan Pengadilan Negeri Unaaha, salah satunya menghukum korporasi PT Bososi Pratama untuk membayar denda Rp7 miliar.
"Dan pada hari ini denda Rp7 miliar itu telah kami lakukan eksekusi dan akan kami setor ke kas negara," katanya saat menggelar konferensi pers.
Sementara kasus kedua, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara juga menyelamatkan keuangan negara dalam bentuk pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari PT Anugerah Tambang Raya.
Patris menyebut, PT Anugerah Tambang Raya tidak memiliki izin pemanfaatan kawasan hutan, namun melakukan penambangan sehingga dilakukan penindakan.
Dia menyampaikan penindakan dilakukan berdasarkan Undang-undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 pada pasal 110b dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dia menegaskan bahwa pada prinsipnya UU tersebut mengatur kegiatan pertambangan di kawasan hutan dan belum mempunyai perizinan dikenakan denda administratif.
"Setelah ditutup oleh tim penyidik didapat hitungan Rp52.547.507.553 hasil yang telah diambil oleh perusahaan ini dari kawasan hutan sehingga semuanya kita sita dalam arti kita minta dibayarkan sebagai PNBP," jelasnya.
Lebih lanjut Patris menjelaskan, dalam kasus Rp52 miliar lebih tersebut, PT Anugerah Tambang Raya bekerja sama dengan PT Kaci Purnama Indah dan PT Astima Konstruksi telah melakukan kegiatan pertambangan secara melawan hukum dengan tindak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan atau IPPKH.
Kata dia, dari hasil pertambangan yang tidak memiliki izin pemakaian kawasan hutan tersebut telah menghasilkan beberapa bahan tambang dan telah dihitung oleh pihaknya, dimana nilai yang telah di keruk atau ditambang itu adalah Rp52 miliar lebih.
"Untuk itu Kejaksaan telah melakukan penindakan hukum dan uang ini sebagai pendapatan negara bukan pajak atau PNBP yang nantinya akan disetor ke kas negara," pungkas Patris.
Kepala Kejati Sultra Patris Yusrian Jaya di Kendari, Senin mengatakan uang tersebut disita dari dua kasus berbeda terkait pertambangan ilegal yang beroperasi di daerah tersebut.
"Yang pertama itu Rp7 miliar dari perkara atas nama korporasi yaitu PT Bososi Pratama yang telah diputus bersalah melakukan tindak pidana yang diatur pada Pasal 98 Ayat 3 juncto Pasal 19 huruf b UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Unaaha Nomor 8/fit.d/LH/2021/PNUNH tanggal 17 Maret 2021," katanya.
Dia menyampaikan di dalam Putusan Pengadilan Negeri Unaaha, salah satunya menghukum korporasi PT Bososi Pratama untuk membayar denda Rp7 miliar.
"Dan pada hari ini denda Rp7 miliar itu telah kami lakukan eksekusi dan akan kami setor ke kas negara," katanya saat menggelar konferensi pers.
Sementara kasus kedua, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara juga menyelamatkan keuangan negara dalam bentuk pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari PT Anugerah Tambang Raya.
Patris menyebut, PT Anugerah Tambang Raya tidak memiliki izin pemanfaatan kawasan hutan, namun melakukan penambangan sehingga dilakukan penindakan.
Dia menyampaikan penindakan dilakukan berdasarkan Undang-undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 pada pasal 110b dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dia menegaskan bahwa pada prinsipnya UU tersebut mengatur kegiatan pertambangan di kawasan hutan dan belum mempunyai perizinan dikenakan denda administratif.
"Setelah ditutup oleh tim penyidik didapat hitungan Rp52.547.507.553 hasil yang telah diambil oleh perusahaan ini dari kawasan hutan sehingga semuanya kita sita dalam arti kita minta dibayarkan sebagai PNBP," jelasnya.
Lebih lanjut Patris menjelaskan, dalam kasus Rp52 miliar lebih tersebut, PT Anugerah Tambang Raya bekerja sama dengan PT Kaci Purnama Indah dan PT Astima Konstruksi telah melakukan kegiatan pertambangan secara melawan hukum dengan tindak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan atau IPPKH.
Kata dia, dari hasil pertambangan yang tidak memiliki izin pemakaian kawasan hutan tersebut telah menghasilkan beberapa bahan tambang dan telah dihitung oleh pihaknya, dimana nilai yang telah di keruk atau ditambang itu adalah Rp52 miliar lebih.
"Untuk itu Kejaksaan telah melakukan penindakan hukum dan uang ini sebagai pendapatan negara bukan pajak atau PNBP yang nantinya akan disetor ke kas negara," pungkas Patris.