Mataram (ANTARA) - Kepala Kepolisian Resor Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat AKBP Hery Indra Cahyono memastikan pengembangan penyidikan kasus dugaan pelecehan seksual terhadap santriwati yang terjadi di dua pondok pesantren (ponpes) di wilayah itu
"Dari dua kasus ini kami sudah menetapkan tersangka dan melakukan penahanan. Jadi, sekarang proses hukum terus berlanjut dan berkembang," kata Hery di Mataram, Rabu.
Pengembangan kasus, jelas dia, mengarah pada penelusuran korban lain. Salah satunya, kasus dugaan pelecehan seksual terhadap santriwati yang terjadi di ponpes wilayah Sikur. Ada dugaan korban dalam kasus tersebut berjumlah 41 orang santriwati.
"Untuk sementara ini dari hasil penyelidikan dan penyidikan memang di Sikur itu ada satu korban dan di Kotaraja, dua korban. Untuk persoalan ada dugaan korban lain, masih kami dalami," ucapnya.
Dia pun berharap apabila ada yang merasa menjadi korban, pihaknya mempersilakan agar melaporkan ke kepolisian. Untuk persoalan perlindungan korban dan saksi, hal tersebut akan menjadi bagian dari koordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Untuk kasus di ponpes wilayah Sikur, tersangka berinisial HSN yang diduga seorang pimpinan pondok pesantren. Demikian juga dengan kasus di ponpes wilayah Kotaraja, tersangka yang diduga pimpinan ponpes berinisial LM.
Hery pun menyampaikan bahwa kedua tersangka diduga menjalankan modus kejahatan seksual dengan bujuk rayu agar korban mau berhubungan intim.
Dengan terungkap modus demikian, kedua tersangka pun kini ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan Pasal 81 ayat (1) dan ayat (3) Juncto Pasal 76D Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 6C Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Terkait dengan penanganan kasus dugaan pelecehan seksual terhadap santriwati di wilayah Sikur, Direktur Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Mataram Joko Jumadi sebelumnya menyampaikan bahwa pihaknya mencatat sedikitnya ada belasan santriwati yang menjadi korban dari tersangka HSN.
Bahkan, dia menunjukkan adanya bukti berupa grup komunikasi dalam media sosial WhatsApp yang sebagian anggotanya adalah korban.
"Di grup WhatsApp itu, yang anggotanya sekitar 30 orang, itu sebagian di antaranya menjadi korban juga, tetapi yang berani bicara dan jadi saksi itu hanya satu. Kenapa begitu, karena ini soal keamanan," ujarnya.
Dengan keterangan demikian, Joko pun meyakinkan bahwa korban dalam kasus ini tidak hanya satu orang. Bahkan, tempus dari perbuatan tersangka ini sudah berjalan cukup lama.
"Karena sebagian korban itu alumni, ada yang sudah jadi pekerja migran, istri orang. Jadi, status itu yang membuat banyak korban tidak mau menjadi saksi," ucap dia.
Meskipun demikian, Joko meyakinkan bahwa pihaknya akan membantu kepolisian untuk menangani kasus ini dengan tepat sasaran.
"Ya, dalam kata lain kami harap tracking juga dilakukan, baik terhadap korban maupun adanya pelaku lain yang mungkin saja belum terungkap," katanya.
"Dari dua kasus ini kami sudah menetapkan tersangka dan melakukan penahanan. Jadi, sekarang proses hukum terus berlanjut dan berkembang," kata Hery di Mataram, Rabu.
Pengembangan kasus, jelas dia, mengarah pada penelusuran korban lain. Salah satunya, kasus dugaan pelecehan seksual terhadap santriwati yang terjadi di ponpes wilayah Sikur. Ada dugaan korban dalam kasus tersebut berjumlah 41 orang santriwati.
"Untuk sementara ini dari hasil penyelidikan dan penyidikan memang di Sikur itu ada satu korban dan di Kotaraja, dua korban. Untuk persoalan ada dugaan korban lain, masih kami dalami," ucapnya.
Dia pun berharap apabila ada yang merasa menjadi korban, pihaknya mempersilakan agar melaporkan ke kepolisian. Untuk persoalan perlindungan korban dan saksi, hal tersebut akan menjadi bagian dari koordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Untuk kasus di ponpes wilayah Sikur, tersangka berinisial HSN yang diduga seorang pimpinan pondok pesantren. Demikian juga dengan kasus di ponpes wilayah Kotaraja, tersangka yang diduga pimpinan ponpes berinisial LM.
Hery pun menyampaikan bahwa kedua tersangka diduga menjalankan modus kejahatan seksual dengan bujuk rayu agar korban mau berhubungan intim.
Dengan terungkap modus demikian, kedua tersangka pun kini ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan Pasal 81 ayat (1) dan ayat (3) Juncto Pasal 76D Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 6C Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Terkait dengan penanganan kasus dugaan pelecehan seksual terhadap santriwati di wilayah Sikur, Direktur Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Mataram Joko Jumadi sebelumnya menyampaikan bahwa pihaknya mencatat sedikitnya ada belasan santriwati yang menjadi korban dari tersangka HSN.
Bahkan, dia menunjukkan adanya bukti berupa grup komunikasi dalam media sosial WhatsApp yang sebagian anggotanya adalah korban.
"Di grup WhatsApp itu, yang anggotanya sekitar 30 orang, itu sebagian di antaranya menjadi korban juga, tetapi yang berani bicara dan jadi saksi itu hanya satu. Kenapa begitu, karena ini soal keamanan," ujarnya.
Dengan keterangan demikian, Joko pun meyakinkan bahwa korban dalam kasus ini tidak hanya satu orang. Bahkan, tempus dari perbuatan tersangka ini sudah berjalan cukup lama.
"Karena sebagian korban itu alumni, ada yang sudah jadi pekerja migran, istri orang. Jadi, status itu yang membuat banyak korban tidak mau menjadi saksi," ucap dia.
Meskipun demikian, Joko meyakinkan bahwa pihaknya akan membantu kepolisian untuk menangani kasus ini dengan tepat sasaran.
"Ya, dalam kata lain kami harap tracking juga dilakukan, baik terhadap korban maupun adanya pelaku lain yang mungkin saja belum terungkap," katanya.