Sampit (ANTARA) - Demonstrasi sekitar 1000 orang yang tergabung dalam Tariu Borneo Bengkulu Rajakng (TBBR) menuntut Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah bersikap lebih tegas dalam memperjuangkan nasib masyarakat lokal.
"Aksi unjuk rasa ini adalah bentuk kekecewaan masyarakat karena aspirasi yang disampaikan selama ini tidak dipenuhi. Masyarakat hanya menuntut hak agar bisa hidup dengan layak," kata Ketua TBBR Kalimantan Tengah, Kimang Damai di Sampit, Kamis.
Aksi unjuk rasa digelar sejak pagi hingga siang di depan kantor bupati dan kantor DPRD Kotawaringin Timur yang lokasinya berdampingan. Para pengunjuk rasa datang dari berbagai kecamatan di Kotawaringin Timur.
Dengan pakaian khas Pasukan Merah, mereka bergantian berorasi. Sesekali dari mereka melakukan pertunjukan seni dan ritual khas Suku Dayak.
Sejumlah isu menjadi poin penting yang disampaikan para pengunjuk rasa yaitu terkait tuntutan kebun plasma seluas 20 persen untuk masyarakat. Tuntutan ini menjadi prioritas karena saat ini masih banyak perusahaan yang belum memenuhi kewajiban tersebut kepada masyarakat, padahal sudah jelas ada aturannya.
Masalah lain yang diangkat yaitu adanya perusahaan perkebunan kelapa sawit yang menanam hingga ke pinggir sungai, danau dan jalan. Hal itu dinilai melanggar aturan terkait jarak sempadan yang harus dipatuhi.
Selain itu ada pula perusahaan yang dituding menanam sawit di luar Hak Guna Usaha (HGU) dan menanam di kawasan hutan produksi. Hal itu jelas-jelas merupakan pelanggaran hukum.
Warga juga mengeluhkan dampak kerusakan lingkungan yang kini semakin terasa. Hasil tangkapan ikan semakin berkurang akibat kualitas air sungai semakin menurun.
Baca juga: Bapenda Kotim luncurkan E-Layanan PBB upaya dongkrak PAD
Jalan di desa dan kecamatan juga banyak yang rusak parah akibat dilalui truk bermuatan hasil perkebunan kelapa sawit, namun ironisnya perusahaan seakan tidak peduli untuk membantu memperbaikinya.
Realisasi program tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR (corporate social responsibility) juga dinilai minim. Padahal ini merupakan upaya pemerintah mendorong perusahaan membantu meningkatkan pembangunan desa dan kesejahteraan masyarakat.
"Dalam hal tenaga kerja juga belum sepenuhnya warga lokal terakomodir. Mana perhatian perusahaan dan upaya pemerintah daerah memperjuangkannya? Selama ini warga lokal hanya jadi penonton," ujar Agus, salah seorang orator.
Perwakilan para pendemo kemudian diterima oleh pemerintah daerah didampingi Forum Koordinasi Pimpinan Daerah. Namun mereka tidak bertemu Bupati Halikinnor karena sedang dinas di luar daerah.
Pertemuan dipimpin Asisten I Bidang Pemerintah dan Kesejahteraan Rakyat, Rihel dan Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan, Alang Arianto. Setelah melalui diskusi cukup panjang, akhirnya dibuat kesepakatan.
Menjadwalkan pertemuan berikutnya dengan bupati, Forkopimda dan manajemen perusahaan yang bisa mengambil keputusan pada Rabu (14/6) pukul 13.30 WIB.
Tuntutan yang disampaikan hari ini yaitu plasma 20 persen, tanaman di luar HGU, sempadan sungai dan sempadan jalan, pencemaran limbah, penanaman dalam kawasan hutan tanpa izin, CSR dan menanam dengan sistem pembakaran.
"Kami juga melaporkan hal ini kepada Pak Bupati. Pemerintah daerah tentu memperjuangkan aspirasi masyarakat. Kita ingin semuanya berjalan dengan baik," demikian Rihel.
Baca juga: KASN ingatkan ASN Kotim jaga netralitas hadapi pemilu
Baca juga: Sekolah di Kotim kampanyekan PPDB gratis dan bebas calo
Baca juga: Pengumuman kelulusan tanpa kehadiran peserta didik
"Aksi unjuk rasa ini adalah bentuk kekecewaan masyarakat karena aspirasi yang disampaikan selama ini tidak dipenuhi. Masyarakat hanya menuntut hak agar bisa hidup dengan layak," kata Ketua TBBR Kalimantan Tengah, Kimang Damai di Sampit, Kamis.
Aksi unjuk rasa digelar sejak pagi hingga siang di depan kantor bupati dan kantor DPRD Kotawaringin Timur yang lokasinya berdampingan. Para pengunjuk rasa datang dari berbagai kecamatan di Kotawaringin Timur.
Dengan pakaian khas Pasukan Merah, mereka bergantian berorasi. Sesekali dari mereka melakukan pertunjukan seni dan ritual khas Suku Dayak.
Sejumlah isu menjadi poin penting yang disampaikan para pengunjuk rasa yaitu terkait tuntutan kebun plasma seluas 20 persen untuk masyarakat. Tuntutan ini menjadi prioritas karena saat ini masih banyak perusahaan yang belum memenuhi kewajiban tersebut kepada masyarakat, padahal sudah jelas ada aturannya.
Masalah lain yang diangkat yaitu adanya perusahaan perkebunan kelapa sawit yang menanam hingga ke pinggir sungai, danau dan jalan. Hal itu dinilai melanggar aturan terkait jarak sempadan yang harus dipatuhi.
Selain itu ada pula perusahaan yang dituding menanam sawit di luar Hak Guna Usaha (HGU) dan menanam di kawasan hutan produksi. Hal itu jelas-jelas merupakan pelanggaran hukum.
Warga juga mengeluhkan dampak kerusakan lingkungan yang kini semakin terasa. Hasil tangkapan ikan semakin berkurang akibat kualitas air sungai semakin menurun.
Baca juga: Bapenda Kotim luncurkan E-Layanan PBB upaya dongkrak PAD
Jalan di desa dan kecamatan juga banyak yang rusak parah akibat dilalui truk bermuatan hasil perkebunan kelapa sawit, namun ironisnya perusahaan seakan tidak peduli untuk membantu memperbaikinya.
Realisasi program tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR (corporate social responsibility) juga dinilai minim. Padahal ini merupakan upaya pemerintah mendorong perusahaan membantu meningkatkan pembangunan desa dan kesejahteraan masyarakat.
"Dalam hal tenaga kerja juga belum sepenuhnya warga lokal terakomodir. Mana perhatian perusahaan dan upaya pemerintah daerah memperjuangkannya? Selama ini warga lokal hanya jadi penonton," ujar Agus, salah seorang orator.
Perwakilan para pendemo kemudian diterima oleh pemerintah daerah didampingi Forum Koordinasi Pimpinan Daerah. Namun mereka tidak bertemu Bupati Halikinnor karena sedang dinas di luar daerah.
Pertemuan dipimpin Asisten I Bidang Pemerintah dan Kesejahteraan Rakyat, Rihel dan Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan, Alang Arianto. Setelah melalui diskusi cukup panjang, akhirnya dibuat kesepakatan.
Menjadwalkan pertemuan berikutnya dengan bupati, Forkopimda dan manajemen perusahaan yang bisa mengambil keputusan pada Rabu (14/6) pukul 13.30 WIB.
Tuntutan yang disampaikan hari ini yaitu plasma 20 persen, tanaman di luar HGU, sempadan sungai dan sempadan jalan, pencemaran limbah, penanaman dalam kawasan hutan tanpa izin, CSR dan menanam dengan sistem pembakaran.
"Kami juga melaporkan hal ini kepada Pak Bupati. Pemerintah daerah tentu memperjuangkan aspirasi masyarakat. Kita ingin semuanya berjalan dengan baik," demikian Rihel.
Baca juga: KASN ingatkan ASN Kotim jaga netralitas hadapi pemilu
Baca juga: Sekolah di Kotim kampanyekan PPDB gratis dan bebas calo
Baca juga: Pengumuman kelulusan tanpa kehadiran peserta didik