Yogyakarta (ANTARA) - Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta menangkap dua tersangka tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berinisial NA (32) dan JN (59) yang akan memberangkatkan dua perempuan sebagai pekerja migran ke Qatar secara nonprosedural.
"Tersangka akan mendapatkan 'fee' (upah) setiap berhasil memberangkatkan pekerja migran Indonesia ke luar negeri setelah sampai ke negara tujuan," kata Wadirreskrimum Polda DIY AKBP Tri Panungko saat konferensi pers di Mapolda DIY, Sleman, Selasa.
Panungko menuturkan perbuatan NA, warga Jatinegara, Jakarta Timur dan JN, warga Purwakarta, Jawa Barat (Jabar) terungkap setelah proses pemberangkatan dua korban melalui Bandara Yogyakarta International Airport (YIA), Kulon Progo pada 21 Oktober 2023 berhasil digagalkan.
Dua korban yang merupakan ibu rumah tangga yakni NS (41), warga Purwakarta, Jabar dan RN (37), warga Bekasi, Jabar mulanya dijanjikan oleh tersangka bakal disalurkan sebagai asisten rumah tangga di Qatar melalui proses yang cepat.
Berdasar kronologi pengungkapannya, dia menerangkan, pada 21 Oktober 2023 Tim Opsnal Jatanras Ditreskrimum Polda DIY menerima informasi dari Kantor Imigrasi dan BP3MI Bandara YIA terkait penundaan keberangkatan tiga orang dewasa berinisial NS, RN, NA, serta satu anak dari NA berusia enam tahun.
Mereka adalah calon penumpang pesawat salah satu maskapai penerbangan dengan tujuan Singapura sebagai pekerja migran Indonesia (PMI) tanpa disertai dokumen yang sah.
Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, polisi mengidentifikasi NS dan RN sebagai korban TPPO dan menetapkan NA sebagai tersangka, sedangkan anak NA telah dikembalikan kepada keluarganya.
Berikutnya, polisi melakukan pengembangan kasus dan meringkus tersangka lain berinisial JN (59) pada 2 November 2023.
Berdasarkan hasil penyidikan, kata Panungko, NA diketahui berperan sebagai penampung calon PMI, memberangkatkan, dan mencarikan agen yang akan mempekerjakan korban di Qatar.
Sedangkan JN bertugas mencari calon PMI, mensponsori, dan juga mencarikan paspor calon PMI.
Dua tersangka berupaya memberangkatkan NS dan RN ke Qatar tanpa melalui Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) DIY serta tidak didukung dengan dokumen persyaratan yang sah.
Para tersangka berusaha meyakinkan korbannya bahwa mereka bisa memberangkatkan calon PMI ke luar negeri dengan proses yang cepat tanpa melalui prosedur resmi.
Selain itu, tersangka juga menyerahkan "uang sponsor" Rp10 juta yang kemudian digunakan korban untuk membantu orang tua dan sebagian untuk persiapan mengurus paspor dan perlengkapan lain.
"Tentunya PMI ilegal tidak terdaftar di dalam sistem yang kadang kala mereka akan dipekerjakan tidak sesuai dengan janji atau tidak layak dalam bekerja di luar negeri," kata dia.
Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Yogyakarta Najarudin Safaat menambahkan petugas imigrasi di YIA mencurigai rencana keberangkatan para calon PMI ilegal itu karena menemukan ketidaksesuaian antara dokumen dan keterangan saat diwawancara sehingga diputuskan menunda perjalanan mereka.
"Visanya bekerja tapi mengakunya untuk wisata," kata Najarudin.
Atas perbuatannya, NA dan JN dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 10 UU RI No 21 tahun 2007 tentang TPPO dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda maksimal Rp600 juta.
Berikutnya, Pasal 81 Jo pasal 69 UU RI Nomor 18 tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp15 miliar.
Tri Panungko menambahkan Polda DIY masih akan menelusuri kemungkinan keterlibatan dari sindikat lain terkait kasus TPPO itu.
"Saat ini kita masih berproses. Kita akan terus dalami peran-peran atau mungkin keterlibatan sindikat lainnya," ujar Panungko.
"Tersangka akan mendapatkan 'fee' (upah) setiap berhasil memberangkatkan pekerja migran Indonesia ke luar negeri setelah sampai ke negara tujuan," kata Wadirreskrimum Polda DIY AKBP Tri Panungko saat konferensi pers di Mapolda DIY, Sleman, Selasa.
Panungko menuturkan perbuatan NA, warga Jatinegara, Jakarta Timur dan JN, warga Purwakarta, Jawa Barat (Jabar) terungkap setelah proses pemberangkatan dua korban melalui Bandara Yogyakarta International Airport (YIA), Kulon Progo pada 21 Oktober 2023 berhasil digagalkan.
Dua korban yang merupakan ibu rumah tangga yakni NS (41), warga Purwakarta, Jabar dan RN (37), warga Bekasi, Jabar mulanya dijanjikan oleh tersangka bakal disalurkan sebagai asisten rumah tangga di Qatar melalui proses yang cepat.
Berdasar kronologi pengungkapannya, dia menerangkan, pada 21 Oktober 2023 Tim Opsnal Jatanras Ditreskrimum Polda DIY menerima informasi dari Kantor Imigrasi dan BP3MI Bandara YIA terkait penundaan keberangkatan tiga orang dewasa berinisial NS, RN, NA, serta satu anak dari NA berusia enam tahun.
Mereka adalah calon penumpang pesawat salah satu maskapai penerbangan dengan tujuan Singapura sebagai pekerja migran Indonesia (PMI) tanpa disertai dokumen yang sah.
Setelah melalui serangkaian pemeriksaan, polisi mengidentifikasi NS dan RN sebagai korban TPPO dan menetapkan NA sebagai tersangka, sedangkan anak NA telah dikembalikan kepada keluarganya.
Berikutnya, polisi melakukan pengembangan kasus dan meringkus tersangka lain berinisial JN (59) pada 2 November 2023.
Berdasarkan hasil penyidikan, kata Panungko, NA diketahui berperan sebagai penampung calon PMI, memberangkatkan, dan mencarikan agen yang akan mempekerjakan korban di Qatar.
Sedangkan JN bertugas mencari calon PMI, mensponsori, dan juga mencarikan paspor calon PMI.
Dua tersangka berupaya memberangkatkan NS dan RN ke Qatar tanpa melalui Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) DIY serta tidak didukung dengan dokumen persyaratan yang sah.
Para tersangka berusaha meyakinkan korbannya bahwa mereka bisa memberangkatkan calon PMI ke luar negeri dengan proses yang cepat tanpa melalui prosedur resmi.
Selain itu, tersangka juga menyerahkan "uang sponsor" Rp10 juta yang kemudian digunakan korban untuk membantu orang tua dan sebagian untuk persiapan mengurus paspor dan perlengkapan lain.
"Tentunya PMI ilegal tidak terdaftar di dalam sistem yang kadang kala mereka akan dipekerjakan tidak sesuai dengan janji atau tidak layak dalam bekerja di luar negeri," kata dia.
Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Yogyakarta Najarudin Safaat menambahkan petugas imigrasi di YIA mencurigai rencana keberangkatan para calon PMI ilegal itu karena menemukan ketidaksesuaian antara dokumen dan keterangan saat diwawancara sehingga diputuskan menunda perjalanan mereka.
"Visanya bekerja tapi mengakunya untuk wisata," kata Najarudin.
Atas perbuatannya, NA dan JN dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 10 UU RI No 21 tahun 2007 tentang TPPO dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda maksimal Rp600 juta.
Berikutnya, Pasal 81 Jo pasal 69 UU RI Nomor 18 tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp15 miliar.
Tri Panungko menambahkan Polda DIY masih akan menelusuri kemungkinan keterlibatan dari sindikat lain terkait kasus TPPO itu.
"Saat ini kita masih berproses. Kita akan terus dalami peran-peran atau mungkin keterlibatan sindikat lainnya," ujar Panungko.