Banjarmasin (ANTARA) -
Selama ini masyarakat yang termasuk dalam kelompok ekonomi rentan dan miskin acapkali kesulitan dalam mengakses berbagai produk dari lembaga jasa keuangan terutama perbankan.
 
Hal ini dikarenakan minimnya aset yang dapat ditawarkan kepada bank ketika bertransaksi, sebagai garansi terhadap kepercayaan dalam pemberian produk layanan keuangan.
 
Kondisi ini pun tampaknya yang membuat masyarakat dari kelompok ekonomi rentan dan miskin kian asing dengan berbagai produk layanan jasa keuangan.
 
Apalagi diketahui bersama, bank merupakan salah satu perusahaan yang memiliki risiko tinggi dalam menjalankan bisnisnya, sehingga sudah seharusnya memiliki manajemen risiko yang baik.
 
Termasuk dalam memberikan akses kepada masyarakat terhadap produk layanan yang dimiliki, tentu bank sangat selektif dengan sederet ketentuan, sehingga kerap membuat masyarakat ekonomi rentan dan miskin tak berdaya.
 
Namun seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi informasi, berbagai sektor terus bertumbuh hingga menjadi semakin beragam.
 
Tak terkecuali pada layanan jasa keuangan yang dalam beberapa waktu terakhir masyarakat dikenalkan dengan Fintech Peer to Peer (P2P) Lending.
 
Berdasarkan Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016, Fintech P2P Lending merupakan layanan pinjam meminjam uang dalam mata uang rupiah secara langsung antara pemberi pinjaman dan borrower yang berbasis teknologi informasi. Fintech P2P Lending juga disebut sebagai Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI).
 
Secara umum, Fintech P2P Lending dapat dipahami sebagai platform daring atau online yang menyediakan fasilitas bagi pemilik dana (lender) untuk memberi pinjaman secara langsung kepada debitur (borrower) dengan return atau nilai pengembalian lebih tinggi.
 
Seakan menjadi sebuah jawaban, Fintech P2P Lending pun dirasa lebih bersahabat kepada masyarakat dari kalangan ekonomi rentan dan miskin.
 
Lantaran dalam proses transaksi pada Fintech P2P Lending, masyarakat yang bertindak sebagai borrower dapat mengajukan kredit secara langsung kepada pemilik dana dengan syarat lebih mudah, serta tentunya lebih cepat.
 
Berbeda dengan produk jasa keuangan dari bank, untuk bisa mengakses layanan pada Fintech P2P Lending masyarakat tak diharuskan melengkapi persyaratan seperti menyertakan aset yang bernilai.
 
Sebagai borrower, masyarakat hanya perlu menyertakan identitas diri dan sejumlah persyaratan lain yang cukup mudah dipenuhi. Prosesnya pun terhitung cepat, karena keputusan pemberian pendanaan tidak dilakukan secara manual oleh orang, tetapi memanfaatkan artificial intelligence sehingga dapat dilakukan secara cepat.
 
Beragam kemudahan ini seakan memberi asa ataupun kesempatan bagi masyarakat kelompok ekonomi rentan dan miskin, untuk dapat memanfaatkannya sebagai daya dukung dalam usaha maupun aktivitas lainnya yang berjangka pendek.
 
Hanya saja memang, bunga yang dibebankan kepada borrower pada Fintech P2P Lending umumnya jauh lebih tinggi, jika dibandingkan bunga yang ada pada produk-produk milik bank.
 
Oleh karenanya sebelum mengakses produk yang ada pada Fintech P2P Lending ini, masyarakat diharap dapat benar-benar mengenal serta memahami terlebih dahulu karakteristiknya sehingga tak mengalami kendala di kemudian hari, seperti halnya kredit macet atau kesulitan dalam membayar kewajiban.
 
Fintech P2P Lending pacu perekonomian
 
Fintech P2P Lending kini mulai banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di Indonesia, terutama bagi mereka yang memerlukan dukungan dana untuk jangka waktu pendek serta cepat.
 
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Desember 2023 mencatat sudah ada sebanyak 101 platform atau penyelenggara berizin, terbagi menjadi 94 penyelenggara konvensional dan 7 penyelenggara syariah.
 
Akumulasi penyaluran pendanaan telah mencapai hingga Rp763,14 triliun dengan nilai outstanding Rp59,64 triliun dan TKB90 sebesar 97,07 persen. TKB90 yakni ukuran tingkat keberhasilan perusahaan fintech pendanaan bersama dalam memfasilitasi penyelesaian kewajiban pendanaan dalam jangka waktu sampai dengan 90 hari terhitung sejak jatuh tempo.
 
Adapun total aset dalam Fintech P2P Lending ini tercatat sebesar Rp6,90 triliun untuk konvensional dan syariah sebesar Rp138,69 miliar, atau total keduanya mencapai Rp7,04 triliun.
 
Diketahui jumlah rekening pengguna dalam Fintech P2P Lending ini telah mencapai 121,47 juta, yakni akumulasi rekening borrower mencapai 120,26 juta dengan rekening aktif sebesar 18,09 juta.
 
Sedangkan akumulasi rekening lender sebesar 1,21 juta dengan rekening aktif sebesar 141.826. Borrower didominasi oleh Gen Z dan Gen Y sebanyak 10,47 juta atau 57,94 dari total borrower aktif.
 
OJK pun menilai pertumbuhan industri P2P Lending tergolong sangat tinggi dan memiliki ketahanan yang cukup baik, di antaranya industri P2P Lending masih terus bertumbuh termasuk tetap tumbuh positif pada periode pandemi di saat beberapa industri lainnya terdampak pandemi COVID-19.
 
Terlepas dari dampak pandemi COVID-19 pada April 2020, industri P2P Lending pulih relatif sangat cepat sejak kuartal lll 2020 dan terus bertumbuh hingga saat ini. Outstanding pendanaan P2P Lending per Des 2023 sebesar Rp59,6 triliun dengan TWP90 sebesar 2,93 persen.
 
Adapun sejak diterbitkan POJK 10/2022, OJK lebih menekankan pada penguatan kualitas industri P2P Lending. Pasca UU P2SK, OJK terus melakukan penguatan pengaturan ke depan sehingga layanan P2P Lending semakin aman, nyaman, tumbuh secara berkelanjutan, dan stabil.
 
Di sisi lain OJK bersama Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal atau Satgas Pasti telah menutup sebanyak 6.680 penyelenggara pinjaman online ilegal terhitung sejak 2018-2023.
 
Peran dan tugas OJK
 
Agar pelaksanaan kegiatan termasuk pada Fintech P2P Lending berjalan baik, OJK sebagai pengawas lembaga jasa keuangan juga menjalankan perannya, baik dalam pengaturan, perizinan, maupun pengawasan. 
 
Adapun amanat UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) tentang penyelenggaraan P2P Lending, di antaranya memberi penguatan landasan hukum yakni UU bagi penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI).
 
UU P2SK memberi landasan hukum bagi penyelenggara LPBBTI yang selama ini belum memiliki payung hukum setingkat undang-undang, dikategorikan sebagai Lembaga Jasa Keuangan lainnya (Pasal 8 angka 1) dan merupakan lingkup Usaha Jasa Pembiayaan (Pasal 106 ayat (1) huruf d).
 
UU P2SK juga memberi kewenangan bagi OJK untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit ataupun penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap salah satunya ke pada penyelenggara LPBBTI (Pasal 8 angka 5).
 
Kemudian memberi dasar hukum bagi penyelenggara P2P Lending ilegal agar dapat dipidanakan (Pasal 298 ayat (1) dan (8)) yang berlaku tiga tahun setelah ditertibkan.
 
Selain itu, UU P2SK mengamanatkan lebih lanjut penyusunan ke dalam POJK atas penyelenggaraan usaha, penilaian kemampuan dan kepatutan, sumber dana penyertaan, izin usaha, pembukaan dan pelaporan kantor cabang, konversi konvensional menjadi syariah, pendirian UUS, spin off UUS, perjanjian dengan nasabah, tata kelola, manajemen risiko, tingkat kesehatan, aksi korporasi, pencabutan izin usaha, pelaporan dan pengawasan, serta pengenaan sanksi administratif.
 
OJK pun telah menyiapkan roadmap pengembangan serta penguatan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi 2023-2028 untuk mewujudkan industri yang sehat, berintegritas maupun berorientasi pada inklusi keuangan dan perlindungan konsumen, hingga berkontribusi kepada pertumbuhan ekonomi secara nasional.

Pewarta : Muhammad Arif Hidayat
Uploader : Admin 2
Copyright © ANTARA 2024