Sampit (ANTARA) - Sekelompok warga di Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah bergotong royong memasak dan membagikan sebanyak 1.000 porsi bubur baayak atau yang disebut juga bubur tik-tik untuk merayakan berakhirnya bulan Safar.
“Kegiatan ini kami lakukan sebagai bentuk pelestarian tradisi, dimana pada hari Rabu terakhir Blbulan Safar ada tradisi memasak bubur baayak yang kemudian dibagikan ke masyarakat sekitar,” kata Muhammad Junus, salah seorang warga yang ikut menggelar kegiatan tersebut di Sampit, Rabu.
Tradisi memasak bubur baayak ini konsisten dilaksanakan kelompok warga di Jalan Ir Juanda, Kecamatan Mentawa Baru Ketapang. Pada awalnya hanya satu atau dua keluarga yang melaksanakan tradisi ini, namun dari tahun ke tahun jumlah warga yang terlibat semakin banyak.
Ada yang memberikan sumbangan berupa uang, ada pula yang membawa bahan-bahan untuk membuat bubur hingga peralatan. Seperti, tepung beras, gula merah, santan, kompor, wajan besar dan lainnya.
Untuk pengerjaannya dilakukan secara gotong royong yang dipusatkan di rumah salah seorang warga yang biasa dipanggil Mama Upik. Semua ini mereka lakukan untuk mempertahankan tradisi yang belakangan mulai dilupakan.
“Ini merupakan salah satu tradisi yang melekat pada bulan Safar, di samping mandi Safar. Namun, sayangnya tradisi ini mulai langka di masyarakat,” ucapnya.
Tradisi membagikan bubur baayak ini biasanya dilaksanakan pada hari Rabu terakhir bulan Safar dalam kalender Hijriah. Bulan yang kerap dikaitkan dengan hal-hal yang harus diwaspadai seperti datangnya musibah dan lainnya.
Filosofi bubur baayak ini mirip dengan mandi Safar yang juga menjadi tradisi sebagian masyarakat yang dilaksanakan pada Rabu terakhir bulan Safar. Mandi Safar digambarkan untuk membuang kesialan atau membersihkan diri dari hal-hal negatif dengan harapan terhindar dari bencana atau malapetaka.
Begitu pula dengan bubur baayak, dengan membagikan makanan atau bersedekah dengan sertai doa-doa diharapkan dapat terhindar dari malapetaka. Selain itu, rasa manis dari bubur baayak mengandung harapan agar hari kedepannya dipenuhi hal-hal yang manis dan baik.
Namun, Junus menegaskan pembagian bubur baayak ini murni tradisi, bukan ajaran agama manapun. Khususnya dalam Islam tidak ada yang namanya bulan sial dan semacamnya.
Warga di Sampit bergotong royong memasak bubur baayak menyambut Rabu terakhir Bulan Safar, Rabu (4/9/2024). ANTARA/Devita Maulina.
“Perlu dicatat ini adalah tradisi, bukan agama. Kegiatan ini sebagai bentuk pengharapan masyarakat, dengan membagikan bubur yang telah di doakan mudah-mudahan terlepas dari segala marabahaya,” jelasnya.
Ia melanjutkan, tahun ini mereka memasak kurang lebih 40 kilogram tepung beras ditambah bahan pelengkap lainnya yang menghasilkan kurang lebih 1.000 porsi bubur baayak. Selain itu, pihaknya menyalurkan santunan uang tunai kepada anak-anak yatim piatu dengan dana yang diamanatkan oleh donatur.
Junus berharap, dengan semakin banyak warga yang terlibat tujuan mereka untuk melestarikan tradisi ini bisa tercapai dan diteruskan oleh generasi ke generasi.
Sekilas tentang bubur baayak, yakni suatu kuliner dengan bahan utama tepung beras yang dimasak bersama gula merah, gula pasir dan air kemudian ditambahkan santan dan sedikit garam.
Proses pembuatannya melalui tahapan pengayakan atau penyaringan. Tepung beras dan garam dibuat menjadi adonan kental, lalu diayak di atas wajan berisi rebusan air, gula merah dan gula pasir.
Setelah adonan dan rebusan gula tercampur, kemudian diaduk terus dan tak lupa menambahkan santan. Pengadukan terus dilakukan sampai bubur matang, proses ini biasanya memakan waktu kurang lebih dua jam tergantung jumlah bubur yang dimasak.
Meski terkesan sederhana namun proses pembuatan bubur baayak ini membutuhkan ketelatenan dan kesabaran. Makanya, tak heran bubur ini hanya bisa ditemukan pada momentum tertentu, karena jarang orang yang mau meluangkan waktu untuk memasak bubur ini di hari biasa.
Hal itu pula yang membuat masyarakat di sekitar Jalan Ir Juanda antusias menanti pembagian bubur baayak yang terbilang langka. Dalam kurun waktu kurang dari 10 menit ratusan porsi bubur baayak habis diburu warga, untungnya panitia telah menyisihkan sebagian untuk dibagikan ke pondok pesantren.
Salah seorang warga, Diana mengaku rela antre satu jam sebelum jadwal pembagian bubur baayak yang diumumkan.
“Jarang-jarang ada yang membagikan bubur baayak, dicari di pasar pun susah. Makanya, saya rela antre supaya kebagian. Kami juga berharap ikut mendapat keberkahan dengan ikut merayakan Rabu terakhir Bulan Safar,” demikian Diana.
Baca juga: Pemkab Kotim tanam perdana jagung untuk dukung pabrik pakan ternak
Baca juga: Empat mahasiswa Kotim siap bersaing di Pimnas
Baca juga: Tingkat kerawanan bencana tinggi, Pemkab Kotim siapkan rencana kontijensi
“Kegiatan ini kami lakukan sebagai bentuk pelestarian tradisi, dimana pada hari Rabu terakhir Blbulan Safar ada tradisi memasak bubur baayak yang kemudian dibagikan ke masyarakat sekitar,” kata Muhammad Junus, salah seorang warga yang ikut menggelar kegiatan tersebut di Sampit, Rabu.
Tradisi memasak bubur baayak ini konsisten dilaksanakan kelompok warga di Jalan Ir Juanda, Kecamatan Mentawa Baru Ketapang. Pada awalnya hanya satu atau dua keluarga yang melaksanakan tradisi ini, namun dari tahun ke tahun jumlah warga yang terlibat semakin banyak.
Ada yang memberikan sumbangan berupa uang, ada pula yang membawa bahan-bahan untuk membuat bubur hingga peralatan. Seperti, tepung beras, gula merah, santan, kompor, wajan besar dan lainnya.
Untuk pengerjaannya dilakukan secara gotong royong yang dipusatkan di rumah salah seorang warga yang biasa dipanggil Mama Upik. Semua ini mereka lakukan untuk mempertahankan tradisi yang belakangan mulai dilupakan.
“Ini merupakan salah satu tradisi yang melekat pada bulan Safar, di samping mandi Safar. Namun, sayangnya tradisi ini mulai langka di masyarakat,” ucapnya.
Tradisi membagikan bubur baayak ini biasanya dilaksanakan pada hari Rabu terakhir bulan Safar dalam kalender Hijriah. Bulan yang kerap dikaitkan dengan hal-hal yang harus diwaspadai seperti datangnya musibah dan lainnya.
Filosofi bubur baayak ini mirip dengan mandi Safar yang juga menjadi tradisi sebagian masyarakat yang dilaksanakan pada Rabu terakhir bulan Safar. Mandi Safar digambarkan untuk membuang kesialan atau membersihkan diri dari hal-hal negatif dengan harapan terhindar dari bencana atau malapetaka.
Begitu pula dengan bubur baayak, dengan membagikan makanan atau bersedekah dengan sertai doa-doa diharapkan dapat terhindar dari malapetaka. Selain itu, rasa manis dari bubur baayak mengandung harapan agar hari kedepannya dipenuhi hal-hal yang manis dan baik.
Namun, Junus menegaskan pembagian bubur baayak ini murni tradisi, bukan ajaran agama manapun. Khususnya dalam Islam tidak ada yang namanya bulan sial dan semacamnya.
“Perlu dicatat ini adalah tradisi, bukan agama. Kegiatan ini sebagai bentuk pengharapan masyarakat, dengan membagikan bubur yang telah di doakan mudah-mudahan terlepas dari segala marabahaya,” jelasnya.
Ia melanjutkan, tahun ini mereka memasak kurang lebih 40 kilogram tepung beras ditambah bahan pelengkap lainnya yang menghasilkan kurang lebih 1.000 porsi bubur baayak. Selain itu, pihaknya menyalurkan santunan uang tunai kepada anak-anak yatim piatu dengan dana yang diamanatkan oleh donatur.
Junus berharap, dengan semakin banyak warga yang terlibat tujuan mereka untuk melestarikan tradisi ini bisa tercapai dan diteruskan oleh generasi ke generasi.
Sekilas tentang bubur baayak, yakni suatu kuliner dengan bahan utama tepung beras yang dimasak bersama gula merah, gula pasir dan air kemudian ditambahkan santan dan sedikit garam.
Proses pembuatannya melalui tahapan pengayakan atau penyaringan. Tepung beras dan garam dibuat menjadi adonan kental, lalu diayak di atas wajan berisi rebusan air, gula merah dan gula pasir.
Setelah adonan dan rebusan gula tercampur, kemudian diaduk terus dan tak lupa menambahkan santan. Pengadukan terus dilakukan sampai bubur matang, proses ini biasanya memakan waktu kurang lebih dua jam tergantung jumlah bubur yang dimasak.
Meski terkesan sederhana namun proses pembuatan bubur baayak ini membutuhkan ketelatenan dan kesabaran. Makanya, tak heran bubur ini hanya bisa ditemukan pada momentum tertentu, karena jarang orang yang mau meluangkan waktu untuk memasak bubur ini di hari biasa.
Hal itu pula yang membuat masyarakat di sekitar Jalan Ir Juanda antusias menanti pembagian bubur baayak yang terbilang langka. Dalam kurun waktu kurang dari 10 menit ratusan porsi bubur baayak habis diburu warga, untungnya panitia telah menyisihkan sebagian untuk dibagikan ke pondok pesantren.
Salah seorang warga, Diana mengaku rela antre satu jam sebelum jadwal pembagian bubur baayak yang diumumkan.
“Jarang-jarang ada yang membagikan bubur baayak, dicari di pasar pun susah. Makanya, saya rela antre supaya kebagian. Kami juga berharap ikut mendapat keberkahan dengan ikut merayakan Rabu terakhir Bulan Safar,” demikian Diana.
Baca juga: Pemkab Kotim tanam perdana jagung untuk dukung pabrik pakan ternak
Baca juga: Empat mahasiswa Kotim siap bersaing di Pimnas
Baca juga: Tingkat kerawanan bencana tinggi, Pemkab Kotim siapkan rencana kontijensi