Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengklaim belum dilibatkan secara resmi dalam perumusan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Kemendag juga menekankan pentingnya penelitian yang solid dalam mengimplementasikan aturan tersebut di Indonesia.
Negosiator Perdagangan Ahli Madya Kemendag Angga Handian Putra melalui keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat, mengatakan Kemendag tengah memberikan perhatian khusus terhadap aturan tersebut, utamanya mengenai kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek.
Angga berpandangan kemasan rokok polos tanpa merek tidak hanya mengatur tampilan produk, tetapi juga dapat berdampak pada hak-hak pengusaha, pedagang dan perdagangan internasional.
"Kemasan rokok polos tanpa merek ini dapat menyinggung perdagangan dan mengganggu hak-hak pedagang," katanya.
Ia turut memandang masih dibutuhkan studi ilmiah lebih jauh terhadap upaya menurunkan prevalensi perokok melalui kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dengan mengacu pada Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), dengan Indonesia sendiri belum meratifikasi aturan global tersebut.
Kendati Australia menerapkan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek, kata Angga, hal tersebut tidak bisa langsung diadopsi oleh Indonesia tanpa kajian mendalam. Oleh karena itu, ia mengharapkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dapat membuktikan regulasi melalui penelitian yang solid.
"Kami membutuhkan studi ilmiah untuk mendukung efektivitas kebijakan ini. Struktur perdagangan Indonesia berbeda dengan negara lain," ujar Angga.
Pada sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (Aparsi) Suhendro mengungkapkan keprihatinannya terhadap dampak ekonomi dari PP 28/2024.
Ia menilai larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak akan membebani pedagang, terutama di pasar tradisional yang sudah tertekan oleh perdagangan online.
"Kami mengikuti standar yang ada, tetapi jika larangan itu diterapkan, keberlangsungan hidup pedagang akan terancam," ujarnya.
Dia juga menyoroti kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang akan menyulitkan konsumen dalam membedakan rokok legal dan ilegal. Ia berpendapat perubahan tersebut dapat merugikan merek-merek tertentu yang memiliki konsumen loyal.
Efektivitas kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dan zonasi larangan penjualan produk tembakau itu perlu dipertanyakan. Menurut Suhendro, untuk mencapai tujuan pemerintah soal kesehatan masyarakat perlu kajian mendalam dan peran semua pihak.
"Perlu kajian yang mendalam dan partisipasi aktif dari semua pemangku kepentingan," ujar dia pula.
Menurutnya, masyarakat perlu diberikan edukasi lebih mengenai perbedaan antara produk legal dan ilegal, bukan hanya sekadar menerapkan kebijakan yang membingungkan.
Baik Suhendro dan Angga sepakat bahwa edukasi kepada masyarakat harus menjadi prioritas. Suhendro menekankan pentingnya kolaborasi dengan pemerintah untuk meningkatkan kesadaran akan risiko merokok. Sedangkan, Angga mengharapkan agar peraturan yang diterapkan bisa berbasis data dan penelitian yang valid.
Kemendag juga menekankan pentingnya penelitian yang solid dalam mengimplementasikan aturan tersebut di Indonesia.
Negosiator Perdagangan Ahli Madya Kemendag Angga Handian Putra melalui keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat, mengatakan Kemendag tengah memberikan perhatian khusus terhadap aturan tersebut, utamanya mengenai kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek.
Angga berpandangan kemasan rokok polos tanpa merek tidak hanya mengatur tampilan produk, tetapi juga dapat berdampak pada hak-hak pengusaha, pedagang dan perdagangan internasional.
"Kemasan rokok polos tanpa merek ini dapat menyinggung perdagangan dan mengganggu hak-hak pedagang," katanya.
Ia turut memandang masih dibutuhkan studi ilmiah lebih jauh terhadap upaya menurunkan prevalensi perokok melalui kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dengan mengacu pada Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), dengan Indonesia sendiri belum meratifikasi aturan global tersebut.
Kendati Australia menerapkan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek, kata Angga, hal tersebut tidak bisa langsung diadopsi oleh Indonesia tanpa kajian mendalam. Oleh karena itu, ia mengharapkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dapat membuktikan regulasi melalui penelitian yang solid.
"Kami membutuhkan studi ilmiah untuk mendukung efektivitas kebijakan ini. Struktur perdagangan Indonesia berbeda dengan negara lain," ujar Angga.
Pada sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (Aparsi) Suhendro mengungkapkan keprihatinannya terhadap dampak ekonomi dari PP 28/2024.
Ia menilai larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak akan membebani pedagang, terutama di pasar tradisional yang sudah tertekan oleh perdagangan online.
"Kami mengikuti standar yang ada, tetapi jika larangan itu diterapkan, keberlangsungan hidup pedagang akan terancam," ujarnya.
Dia juga menyoroti kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang akan menyulitkan konsumen dalam membedakan rokok legal dan ilegal. Ia berpendapat perubahan tersebut dapat merugikan merek-merek tertentu yang memiliki konsumen loyal.
Efektivitas kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dan zonasi larangan penjualan produk tembakau itu perlu dipertanyakan. Menurut Suhendro, untuk mencapai tujuan pemerintah soal kesehatan masyarakat perlu kajian mendalam dan peran semua pihak.
"Perlu kajian yang mendalam dan partisipasi aktif dari semua pemangku kepentingan," ujar dia pula.
Menurutnya, masyarakat perlu diberikan edukasi lebih mengenai perbedaan antara produk legal dan ilegal, bukan hanya sekadar menerapkan kebijakan yang membingungkan.
Baik Suhendro dan Angga sepakat bahwa edukasi kepada masyarakat harus menjadi prioritas. Suhendro menekankan pentingnya kolaborasi dengan pemerintah untuk meningkatkan kesadaran akan risiko merokok. Sedangkan, Angga mengharapkan agar peraturan yang diterapkan bisa berbasis data dan penelitian yang valid.