Deteksi dini pneumonia dengan hitung napas dalam 1 menit
Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis anak subspesialis respirologi lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI) Dr. Wahyuni Indawati, Sp.A(K), mengatakan deteksi dini pneumonia dapat dilakukan lewat menghitung frekuensi nafas anak dalam satu menit.
“Pneumonia adalah radang paru, dan utamanya, karena ada infeksi mikroorganisme dia bisa merusak jaringan paru. Kalau terjadi kerusakan oksigen kurang dan terjadi kematian,” kata Wahyuni dalam temu media di Jakarta, Minggu.Deteksi dini dapat dilakukan dengan menghitung frekuensi napas anak dalam satu menit. Cara ini dapat disesuaikan dengan usia masing-masing anak.
Pada anak-anak yang berusia di bawah dua bulan, batasan frekuensi napas adalah 60 kali per menit. Kemudian pada anak berusia dua sampai 12 bulan, batasan frekuensi napas adalah 50 kali per menit, sedangkan pada anak berusia satu hingga lima tahun batasnya adalah 40 kali per menit.
Setelah menghitung napas, Wahyuni meminta orang tua memastikan apakah ada tarikan dinding dada.
Baca juga: Ini alasan pneumonia bisa sebabkan kematian
Wahyuni menjelaskan pneumonia merupakan penyakit menular penyebab kematian tertinggi pada anak di seluruh dunia. Berdasarkan data UNICEF pada 2019, hampir 2.200 anak usia di bawah lima tahun meninggal akibat pneumonia setiap hari di seluruh dunia.
Gejalanya pun sekilas nampak seperti batuk dan demam biasa sehingga tak jarang orang tua menganggapnya sepele dan penyakit dapat sembuh dengan sendirinya. Namun, yang membedakan adalah apabila batuk anak disertai dengan napas cepat atau napas sesak.
“Hati-hati dengan ‘BBB’ atau bukan batuk biasa, lalu coba lihat saat bernapas sesak tidak, atau ada tarikan dinding dada. Kalau ada, maka hati-hati itu bisa jadi tanda pneumonia,” ujar Wahyuni.
Oang tua harus segera membawa anaknya ke fasilitas kesehatan terdekat tanpa harus menunggu anak makin sesak atau tubuhnya jadi membiru.
Sejumlah faktor risiko dapat membuat anak terkena pneumonia, yakni bayi di bawah usia dua tahun tidak diberi ASI eksklusif, anak tidak mendapat imunisasi PCV, mengalami malnutrisi, lahir prematur atau berat badan lahir rendah (BBLR), terpapar polusi, terpapar asap rokok, tinggal di hunian padat dan terkena penyakit dasar seperti HIV, penyakit jantung atau penyakit kronis.
Baca juga: Tak perlu khawatir, mycroplasma pneumonia tak separah COVID-19
Baca juga: Demam bisa jadi gejala awal Pneumonia
Baca juga: Risiko terserang pneumonia bisa meningkat akibat gaya hidup buruk
“Pneumonia adalah radang paru, dan utamanya, karena ada infeksi mikroorganisme dia bisa merusak jaringan paru. Kalau terjadi kerusakan oksigen kurang dan terjadi kematian,” kata Wahyuni dalam temu media di Jakarta, Minggu.Deteksi dini dapat dilakukan dengan menghitung frekuensi napas anak dalam satu menit. Cara ini dapat disesuaikan dengan usia masing-masing anak.
Pada anak-anak yang berusia di bawah dua bulan, batasan frekuensi napas adalah 60 kali per menit. Kemudian pada anak berusia dua sampai 12 bulan, batasan frekuensi napas adalah 50 kali per menit, sedangkan pada anak berusia satu hingga lima tahun batasnya adalah 40 kali per menit.
Setelah menghitung napas, Wahyuni meminta orang tua memastikan apakah ada tarikan dinding dada.
Baca juga: Ini alasan pneumonia bisa sebabkan kematian
Wahyuni menjelaskan pneumonia merupakan penyakit menular penyebab kematian tertinggi pada anak di seluruh dunia. Berdasarkan data UNICEF pada 2019, hampir 2.200 anak usia di bawah lima tahun meninggal akibat pneumonia setiap hari di seluruh dunia.
Gejalanya pun sekilas nampak seperti batuk dan demam biasa sehingga tak jarang orang tua menganggapnya sepele dan penyakit dapat sembuh dengan sendirinya. Namun, yang membedakan adalah apabila batuk anak disertai dengan napas cepat atau napas sesak.
“Hati-hati dengan ‘BBB’ atau bukan batuk biasa, lalu coba lihat saat bernapas sesak tidak, atau ada tarikan dinding dada. Kalau ada, maka hati-hati itu bisa jadi tanda pneumonia,” ujar Wahyuni.
Oang tua harus segera membawa anaknya ke fasilitas kesehatan terdekat tanpa harus menunggu anak makin sesak atau tubuhnya jadi membiru.
Sejumlah faktor risiko dapat membuat anak terkena pneumonia, yakni bayi di bawah usia dua tahun tidak diberi ASI eksklusif, anak tidak mendapat imunisasi PCV, mengalami malnutrisi, lahir prematur atau berat badan lahir rendah (BBLR), terpapar polusi, terpapar asap rokok, tinggal di hunian padat dan terkena penyakit dasar seperti HIV, penyakit jantung atau penyakit kronis.
Baca juga: Tak perlu khawatir, mycroplasma pneumonia tak separah COVID-19
Baca juga: Demam bisa jadi gejala awal Pneumonia
Baca juga: Risiko terserang pneumonia bisa meningkat akibat gaya hidup buruk