Jakarta (ANTARA) - Masyarakat yang sekian lama sering terpana pada panggung hiburan, tiba-tiba sorot kagum itu berbelok. Bukan lagi hanya kepada selebritas yang hidup dari gemerlap lampu, melainkan kepada para pemegang kuasa yang biasanya hanya lewat sebagai nama dalam berita.
Ketika seorang pejabat benar-benar bekerja, ketika kebijakan terasa sampai ke dapur rakyat, ketika kehadirannya membasuh letih masyarakat, maka publik pun mulai jatuh hati.
Apakah ini pertanda bahwa bangsa ini mulai rindu pada teladan? Atau justru karena terlalu lama kita tidak melihat pejabat yang benar-benar bekerja, hingga satu sosok baik pun terasa seperti cahaya yang tertinggal di ujung waktu?
Dulu, ketika berbicara soal idola, pikiran kita otomatis melayang ke layar kaca atau panggung hiburan. Para penyanyi, pemain film, atlet, hingga bintang drama Korea menjadi wajah yang kita sambut dengan sorak-sorai dan kekaguman.
Belakangan ini, ada pergeseran yang menarik: sebagian masyarakat mulai menaruh pujaan pada sosok yang dalam keseharian justru bergelut dengan rapat, laporan, dan kerja birokrasi. Pejabat publik — yang biasanya hanya mampir di berita politik — kini hadir sebagai figur yang diceritakan, dipuji, dan direspons layaknya selebritas.
Fenomena ini tidak muncul tanpa sebab. Di tengah kejenuhan publik terhadap praktik korupsi dan drama kekuasaan, tiap kemunculan pejabat yang bekerja dengan bersungguh-sungguh terasa seperti menemukan sumur jernih di tengah gurun. Kejujuran, ketegasan, keberanian membongkar praktik curang, serta kesigapan turun ke masyarakat menjadi pesona baru yang justru sulit dijumpai di panggung hiburan.
Nama-nama, seperti Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, misalnya, banyak diperbincangkan karena sepak terjangnya yang garang pada mafia dan praktik korup birokrasi. Gaya koboi dan atensinya pada rakyat melejitkan namanya bak bintang. Di mata publik, keberanian seperti ini otomatis berubah menjadi magnet kekaguman.
Begitu pula Menteri Pertanian Amran Sulaiman, yang kerap menuai sorotan positif berkat langkah-langkahnya menindak para pelaku impor pangan ilegal. Ketika isu pangan berulang kali membuat resah warga, hadirnya pejabat yang berperang langsung melawan permainan harga dan mafia komoditas terasa seperti tokoh utama dalam cerita rakyat modern.
Di Jawa Barat, Gubernur Dedi Mulyadi (Demul) menghadirkan pesona yang berbeda. Kehadirannya di tengah masyarakat, dari desa ke desa, dari rumah warga, hingga pasar tradisional, membuatnya tampak dekat, ringan tangan, dan menyatu dengan kehidupan rakyat. Banyak video kesehariannya yang beredar luas, dan publik pun menyambutnya dengan antusias, sebagaimana menyambut konten para selebritas digital.
Fenomena ini memperlihatkan satu hal: masyarakat merindukan teladan. Ketika pejabat publik bekerja melampaui yang seharusnya, memihak warga tanpa pamrih, dan menunjukkan sikap yang membuat hidup terasa sedikit lebih adil, maka kekaguman itu lahir dengan sendirinya. Bahkan, tanpa panggung, tanpa lagu, tanpa drama — hanya lewat kerja yang nyata dan ketulusan yang menular.
Pesona idola
Yang unik dari pejabat idola adalah: tanpa mereka sadari, rakyat sudah menobatkan mereka sebagai “figur publik baru”—lengkap dengan tingkah fandom yang biasanya kita jumpai di panggung konser, bukan di ruang birokrasi.
Di banyak kesempatan, interaksi warga dengan pejabat idolanya justru melahirkan kisah-kisah yang tak kalah menghibur dibanding tayangan televisi. Lihat saja Menkeu Purbaya, yang hampir selalu disergap permintaan swafoto setiap kali muncul di hadapan publik. Jempol khasnya menjadi semacam ikon baru. Pernah ada wartawan yang saking gemasnya memohon, “Pak, sekali lagi jempolnya, Pak!”, dan Purbaya hanya tertawa sambil menuruti — membuat suasana jumpa pers seketika berubah menjadi fan meeting dadakan
Dari wilayah timur muncul pula lagu reggae “Beta Percaya Purbaya” yang memotret optimisme masyarakat terhadap kinerjanya. Bahkan, ada kreator konten yang cosplay sebagai Purbaya, memeragakan aksi sidak ala sang menteri. Unggahan “Purbaya palsu” itu sempat direspons langsung oleh yang asli: “Bisa aja,” lengkap dengan emoji tersenyum.
Kocak, tapi membuktikan rakyat punya cara manis untuk mengekspresikan rasa percaya.
Di lapangan lain, Mentan Amran tampil layaknya “kakak kebun” bagi para petani. Saat mengecek distribusi pupuk, ia hampir selalu dikerubungi warga yang ingin mengadu langsung. Suasana sering cair: petani berceloteh soal harga pupuk, Amran menimpali dengan kelakar khas Sulawesi, dan percakapan serius itu kerap berubah menjadi tawa kecil di tengah hamparan sawah. Kedekatan semacam ini membuat para petani merasa didengar, tanpa protokol dan jarak.
Baru saja, Amran memimpin gerakan donasi nasional untuk korban bencana di Sumatra. Hanya dalam satu jam, ia berhasil menghimpun sekitar Rp75,85 miliar dari pegawai kementerian, mitra, dan pelaku industri pertanian. Capaian ini menjadi indikator kuat tentang besarnya kepercayaan publik kepadanya. Bantuan tersebut dikabarkan disalurkan melalui 207 truk logistik berisi paket sembako dan kebutuhan mendesak lainnya.
Sementara itu, Gubernur Demul selalu pulang dari blusukan dengan membawa cerita baru. Gaya lapangannya terkenal spontan: pernah mendapati seorang nenek yang tali kutangnya melorot, ia tanpa sungkan membetulkannya. Tak pelak Demul digaplok si nenek, gubernur serasa cucu sendiri.
Di momen lain, ia harus mendengarkan curhatan warga yang panjangnya mengalahkan monolog sinetron, atau bahkan bersitegang dengan warga yang memprotes pembongkaran bangunan liar.
Drama-drama dadakan seperti inilah yang membuat videonya kerap viral — riuh, lucu, tetapi juga menunjukkan betapa kehadirannya di tengah masyarakat memicu respons emosional yang kuat.
Kisah-kisah semacam ini mungkin bukan capaian monumental, tetapi justru potongan-potongan kecil itulah yang membentuk citra “idola rakyat”: pejabat yang dekat, spontan, kadang digoda warga, kadang menjadi sasaran curhat, dan kadang menjadi objek humor yang membuat publik merasa punya hubungan personal dengannya.
Semesta bekerja
Mungkin ada yang keliru dalam perjalanan panjang kita sebagai bangsa, hingga hari ini—di tahun-tahun yang penuh hiruk pikuk digital—kita justru merayakan pejabat publik sebagai idola. Bukan karena mereka melakukan hal luar biasa, melainkan karena mereka tidak melakukan hal-hal buruk yang selama ini dianggap lumrah di lingkar kekuasaan.
Betapa rendahnya standar harapan kita, sampai-sampai seorang pejabat yang menjalankan tugas dengan jujur, tegas, dan setia pada rakyat saja sudah terasa seperti anomali yang patut dipuja.
Fenomena ini menyentil nurani: barangkali yang sebenarnya langka bukanlah bakat memimpin, melainkan kehendak untuk memimpin dengan benar. Karena itu, ketika ada pejabat yang bekerja tanpa menodai tangan, otomatis publik jatuh hati—bukan oleh pencitraannya, melainkan oleh ketulusannya yang terasa jujur di mata rakyat.
Presiden Prabowo pernah mengingatkan para pejabat dengan kalimat yang menukik ke tulang: apa tega memberi makan keluarga dengan harta kotor? Pertanyaan itu bukan sekadar nasihat, melainkan pengingat bahwa jabatan adalah amanah, bukan hadiah keberuntungan. Pejabat boleh pandai bicara, boleh hebat berstrategi, tapi kalau hatinya tergelincir, semua kehormatan itu hanya selubung tipis yang mudah ditembus waktu. Dan waktu tak pernah bisa disogok. Saat bersamaan, karma bekerja dalam diam.
Pembalasan selalu datang pada jadwal yang tidak kita ketahui.
Kita sedang hidup pada era ketika integritas menjadi barang mahal. Kalau rakyat mudah jatuh cinta pada pejabat yang sekadar bekerja dengan benar, itu bukan pujian—itu alarm keras untuk semua orang yang memegang kuasa bahwa kekaguman publik bukan hadiah, melainkan tuntutan agar mereka tetap waras, tetap bersih, dan tetap ingat: di atas segala hiruk pikuk panggung kekuasaan, ada hari pembalasan yang mustahil bisa dihindari.
Yang membuat rakyat jatuh hati bukanlah citra, melainkan ketulusan yang memancar dari kerja yang nyata. Kita hidup di zaman ketika kejujuran terasa langka, sehingga pejabat yang sekadar menjalankan amanah pun langsung dianggap pahlawan. Mungkin itu bukan pujian berlebihan, melainkan sinyal betapa kita rindu dipimpin oleh mereka yang jernih hati dan lurus langkahnya.
Di tengah riuh dunia yang serba pamer, orang-orang yang bekerja tanpa pamrih justru paling bersinar. Mereka menjadi oase kecil di negeri yang letih berharap. Kita tahu, kekuasaan adalah ujian paling sunyi: tidak berteriak, tidak memaksa, hanya menunggu untuk melihat siapa yang tetap tegak dan siapa yang tergelincir.
Dan bagi siapapun yang mengemban amanah negara, sebuah pengingat halus mengalir dari ruang batin rakyat: bahwa jabatan bukan warisan, melainkan titipan. Kekayaan yang diraih dari cara-cara kotor hanya tampak megah dari luar, tapi sesungguhnya membawa kesuraman yang diam-diam memakan hidup. Setiap tindakan akan kembali pada pelakunya, begitulah bekerjanya semesta, begitulah berjalannya keadilan Tuhan.
Maka, bila ada segelintir pejabat yang memilih jujur di tengah arus godaan, wajar jika rakyat memeluk mereka sebagai idola baru. Mungkin di sana kita melihat secercah harapan bahwa negeri ini belum kehilangan arah. Bahwa yang baik masih mungkin tumbuh. Bahwa keteladanan, betapa pun langkanya, masih bisa muncul dari tempat yang jarang kita sangka.Dan selama itu ada, rakyat tidak akan lelah berharap. Tidak akan berhenti mencintai mereka yang memilih jalan lurus, meski sunyi, meski berat, demi martabat bangsa ini.
