Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo mengaku tidak setuju dengan empat usulan DPR dalam revisi UU no 30 tahun 2002.
"Saya tidak setuju terhadap beberapa substansi RUU inisiatif DPR ini yang berpotensi mengurangi efektivitas tugas KPK," kata Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta, Kamis.
Presiden menyampaikan hal itu didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Kepala Staf Presiden Muldoko.
"Saya tidak setuju jika KPK harus memperoleh izin dari pihak eksternal untuk melakukan penyadapan. Misalnya harus izin ke pengadilan, tidak. KPK cukup memperoleh izin internal dari Dewan Pengawasan untuk menjaga kerahasiaan," tambah Presiden.
Baca juga: Jokowi terima DIM revisi UU KPK
Kedua, Presiden juga tidak setuju penyidik dan penyelidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan saja.
"Penyelidik dan penyidik KPK bisa juga berasal dari unsur ASN, Aparatur Sipil Negara, yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lain. Tentu saja harus melalui prosedur rekrutmen yang benar," ungkap Presiden.
Ketiga, Presiden tidak setuju KPK wajib berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam penuntutan karena sistem penuntutan yang berjalan saat ini sudah baik, sehingga tidak perlu diubah lagi.
"Keempat, saya juga tidak setuju perihal pengelolaan LHKPN yang dikeluarkan dari KPK, diberikan kepada kementerian/lembaga lain. Tidak. Saya tidak setuju. Saya minta LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) tetap diurus oleh KPK sebagaimana yang telah berjalan selama ini," ungkap Presiden.
Rapat paripurna DPR pada 3 September 2019 menyetujui usulan revisi UU yang diusulkan Badan Legislatif (Baleg) DPR yaitu usulan Perubahan atas UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Presiden lalu menandatangani surat presiden (surpres) revisi UU tersebut pada 11 September 2019 meski ia punya waktu 60 hari untuk mempertimbangkannya.
DPR dan pemerintah lalu mempercepat pembahasan revisi UU KPK no 30/2002 agar dapat selesai pada 23 September 2019. Badan Legislatif (Baleg) DPR menegaskan tidak memerlukan masukan masyarakat maupun KPK dalam pembahasan RUU KPK tersebut.
Badan Legislasi (Baleg) DPR sudah rapat dengan Menkumham Yasonna H Laoly pada Kamis (12/9) malam dan selanjutnya pembahasan akan dilanjutkan di panitia kerja (panja).
Baca juga: JIB: Saat ini masih belum 'urgensi' merevisi UU KPK
Baca juga: 1.195 dosen dari 27 universitas di Indonesia tolak revisi UU KPK
Baca juga: Presiden Jokowi diminta melawan upaya pelemahan KPK
"Saya tidak setuju terhadap beberapa substansi RUU inisiatif DPR ini yang berpotensi mengurangi efektivitas tugas KPK," kata Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta, Kamis.
Presiden menyampaikan hal itu didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Kepala Staf Presiden Muldoko.
"Saya tidak setuju jika KPK harus memperoleh izin dari pihak eksternal untuk melakukan penyadapan. Misalnya harus izin ke pengadilan, tidak. KPK cukup memperoleh izin internal dari Dewan Pengawasan untuk menjaga kerahasiaan," tambah Presiden.
Baca juga: Jokowi terima DIM revisi UU KPK
Kedua, Presiden juga tidak setuju penyidik dan penyelidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan saja.
"Penyelidik dan penyidik KPK bisa juga berasal dari unsur ASN, Aparatur Sipil Negara, yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lain. Tentu saja harus melalui prosedur rekrutmen yang benar," ungkap Presiden.
Ketiga, Presiden tidak setuju KPK wajib berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam penuntutan karena sistem penuntutan yang berjalan saat ini sudah baik, sehingga tidak perlu diubah lagi.
"Keempat, saya juga tidak setuju perihal pengelolaan LHKPN yang dikeluarkan dari KPK, diberikan kepada kementerian/lembaga lain. Tidak. Saya tidak setuju. Saya minta LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) tetap diurus oleh KPK sebagaimana yang telah berjalan selama ini," ungkap Presiden.
Rapat paripurna DPR pada 3 September 2019 menyetujui usulan revisi UU yang diusulkan Badan Legislatif (Baleg) DPR yaitu usulan Perubahan atas UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Presiden lalu menandatangani surat presiden (surpres) revisi UU tersebut pada 11 September 2019 meski ia punya waktu 60 hari untuk mempertimbangkannya.
DPR dan pemerintah lalu mempercepat pembahasan revisi UU KPK no 30/2002 agar dapat selesai pada 23 September 2019. Badan Legislatif (Baleg) DPR menegaskan tidak memerlukan masukan masyarakat maupun KPK dalam pembahasan RUU KPK tersebut.
Badan Legislasi (Baleg) DPR sudah rapat dengan Menkumham Yasonna H Laoly pada Kamis (12/9) malam dan selanjutnya pembahasan akan dilanjutkan di panitia kerja (panja).
Baca juga: JIB: Saat ini masih belum 'urgensi' merevisi UU KPK
Baca juga: 1.195 dosen dari 27 universitas di Indonesia tolak revisi UU KPK
Baca juga: Presiden Jokowi diminta melawan upaya pelemahan KPK