Jakarta (ANTARA) - Para sutradara film bisa menghasilkan karya mereka dari berbagai media termasuk ide cerita film di luar negeri dengan beragam alasan.
Di Indonesia, Riri Riza, Awi Suryadi dan Ody C. Harahap misalnya yang tercatat pernah sukses membuat film adaptasi dari Korea Selatan.
Berikut tiga film Indonesia hasil karya mereka:
Poster film "Sunyi" dan "Whispering Corridors" (imdb.com)
"Sunyi" (2019) - "Whispering Corridors" (1998)
"Sunyi" yang bergenre horor ini disutradarai Awi Suryadi dan dibintangi Angga Yunanda, Amanda Rawles, Arya Vasco, Naomi Paulinda dan Teuku Rizki.
Film ini mengadaptasi film asal Korea Selatan "Whispering Corridors" yang disutradarai Park Ki-hyung dan dibintangi Lee Mi-yeon, Kim Gyu-ri, Choi Gang-hee, Park Jin-hee dan Yoon Ji-hye.
Kisah yang dihadirkan mengenai persekusi di sekolah, budaya senioritas yang berujung malapetaka karena ada upaya pemanggilan arwah lewat sebuah ritual.
Bedanya, Awi menggunakan unsur Indonesia dalam "Sunyi". Jika dalam "Whispering Corridors" latar sekolah yang diambil sekolah asrama perempuan, di "Sunyi" Awi menggunakan sekolah umum.
Baca juga: "Kesempatan Keduda" cerita ringan para duda mencari kebahagiaan
Baca juga: Tissa Biani belum kapok main film horor
Baca juga: Stres syuting film horor, Asri Welas makin penasaran
Poster film "Bebas" dan "Sunny" (imdb.com)
"Bebas" (2019) - "Sunny" (2011)
"Bebas" yang disutradarai Riri Riza ini diadaptasi dari film "Sunny" karya sutradara Kang Hyeong-cheol yang tayang pada tahun 2011.
Sederet aktris dan aktor yang terlibat dalam film ini antara lain: Marsha Timothy, Susan Bachtiar, Indy Barends, Baim Wong, Widi Mulia serta Salvita Decorte, lalu bintang muda antara lain Maizura, Sheryl Sheinafia, Agatha Priscilla, Zulfa Maharani, Lutesha serta Baskara Mahendra.
Baca juga: "Bebas" temukan jati diri yang terlupakan
Baca juga: Pengalaman Tika Panggabean disutradarai Riri Riza
Sementara pada "Sunny", aktris yang berpartisipasi yakni:
Shim Eun-kyung, Kang So-ra, Min Hyo-rin, Kim Min-young, Park Jin-joo, Nam Bo-ra, Kim Bo-mi.
Ada juga Yoo Ho-jeong, Jin Hee-kyung, Ko Su-hee, Hong Jin-hee, Lee Yeon-kyung, Kim Sun-kyung dan Yoon Jung.
Kedua film ini sama-sama berkisah tentang pertemanan sekelompok siswa semasa sekolah menengah yang berlanjut hingga dewasa. Mereka sempat terpisahkan selama 23 tahun namun kembali bersatu karena suatu alasan.
Bedanya, untuk "Bebas", Riri menyesuaikan latar waktu film sesuai yang terjadi di Indonesia, yakni Jakarta di erat tahun 1990-an dan 2019 serta menambahkan tokoh pria di dalam geng "Bebas", yang berbeda dari "Sunny" yang mengambil latar di kota Seoul era 1980-an dan 2011.
Produser Mira Lesmana menuturkan pemilihan latar waktu tahun 1990-an karena saat itu budaya pop berkembang walau ada kekhawatiran terkait gejala politik dan ekonomi.
Baca juga: Drama Korea populer di Indonesia, apa pendapat Kang Sora?
Baca juga: Komentar Kang Sora soal film "Bebas", Indonesia dan rendang
Baca juga: Kang Sora rindukan arti persahabatan film "Sunny"
Poster film "Sweet 20" dan "Miss Granny" (imdb.com)
"Sweet 20" (2017) - "Miss Granny" (2014)
Sutradara Ody C. Harahap secara umum tak mengubah cerita dalam "Sweet 20" yang merupakan adaptasi dari film "Miss Granny" karya Hwang Dong-hyuk.
Kisah utama masih berpusat pada kisah seorang perempuan paruh baya (diperankan Niniek L. Karim) yang sedih karena harus masuk panti wreda atas permintaan keluarganya. Di tengah kesedihannya itu, secara ajaib dia kembali ke usia 20 tahunan (diperankan Tatjana Saphira).
Seperti film adaptasi pada umumnya, ada unsur lokal yang dihadirkan dalam "Sweet 20" yang juga dibintangi Kevin Julio, Morgan Oey, Slamet Rahardjo, Lukman Sardi, Widyawati dan Cut Mini itu yakni dangdutan, sungkem saat Lebaran dan membuat kuliner khas Indonesia.
Film serupa juga diadaptasi negara lain yakni China ("20 Once Again", Jepang ("Ayashii Kanojo") dan Vietnam ("Sweet 20".
Baca juga: Carissa Perusset tersanjung dibilang mirip Tatjana Saphira
Baca juga: Ninik: FFI Hanya Berikan Penghargaan Terbaik
Baca juga: Serahkan Peran Diplomasi Budaya ke Generasi Muda
Tentang film adaptasi
Para sineas memiliki alasan tersendiri memproduksi kembali film dari luar negeri. Mereka juga tidak serta merta menduplikasi cerita, tetapi menambahkan unsur-unsur yang sesuai dengan budaya di negeri sang sutradara berasal.
Upaya ini salah satunya bertujuan mendekatkan cerita film dengan para penontonnya.
Riri Riza dalam sebuah wawancara mengatakan, tertarik memproduksi ulang film asal Korea Selatan karena kesamaan periode penting yang ingin dia ceritakan.
Riri diberi kebebasan untuk menerjemahkan ulang film "Sunny" ke dalam "Bebas".
Setali tiga uang dengan Riri, Awi Suryadi juga tak keberatan mengadaptasi film salah satunya karena kebebasan mengembangkan ide kreatif dalam karyanya.
Dalam "Sunyi", dia melakukan upgrade penampakan hantu karena menilai hantu dalam film aslinnya (tahun 1998) relatif tidak akan membuat penonton masa kini takut.
Berbeda dari kedua sutradara ini, Fajar Bustomi justru tak tertarik menggarap film adaptasi dari film luar negeri.
"Adaptasi film dari luar saya enggak pernah tertarik, karena dari cerita kita sendiri saja banyak. Kalau alasannya hanya untuk mendapatkan sukses dari cerita luar, buat apa," kata dia kepada ANTARA di Jakarta beberapa waktu lalu.
Fajar mengatakan pernah ditawari me-remake salah satu film dari Korea Selatan (tidak menyebutkan judul) namun dia menolaknya karena alasan tidak ada rasa.
"Film itu harus ada sesuatu yang kita menangkan. Kadang-kadang, kenapa di film ini kita mau. Jadi bukan hanya uang. Saya maunya buat film yang bagus lalu orang luar remake," tutur dia.
Terlepas dari pro dan kontranya, film-film adaptasi ini punya tempat di hati penonton Indonesia. "Sweet 20" misalnya, bisa menggaet 1.044.045 orang penonton versi laman Film Indonesia. Sementara itu, "Sunyi" pada April 2019 ditonton 365.800 orang penonton.
Film "Sweet 20" bahkan memenangkan penghargaan di Festival Film Indonesia (FFI) 2017 dan prestasi dicapai film "Bebas" dua tahun kemudian.
Di Indonesia, Riri Riza, Awi Suryadi dan Ody C. Harahap misalnya yang tercatat pernah sukses membuat film adaptasi dari Korea Selatan.
Berikut tiga film Indonesia hasil karya mereka:
"Sunyi" (2019) - "Whispering Corridors" (1998)
"Sunyi" yang bergenre horor ini disutradarai Awi Suryadi dan dibintangi Angga Yunanda, Amanda Rawles, Arya Vasco, Naomi Paulinda dan Teuku Rizki.
Film ini mengadaptasi film asal Korea Selatan "Whispering Corridors" yang disutradarai Park Ki-hyung dan dibintangi Lee Mi-yeon, Kim Gyu-ri, Choi Gang-hee, Park Jin-hee dan Yoon Ji-hye.
Kisah yang dihadirkan mengenai persekusi di sekolah, budaya senioritas yang berujung malapetaka karena ada upaya pemanggilan arwah lewat sebuah ritual.
Bedanya, Awi menggunakan unsur Indonesia dalam "Sunyi". Jika dalam "Whispering Corridors" latar sekolah yang diambil sekolah asrama perempuan, di "Sunyi" Awi menggunakan sekolah umum.
Baca juga: "Kesempatan Keduda" cerita ringan para duda mencari kebahagiaan
Baca juga: Tissa Biani belum kapok main film horor
Baca juga: Stres syuting film horor, Asri Welas makin penasaran
"Bebas" (2019) - "Sunny" (2011)
"Bebas" yang disutradarai Riri Riza ini diadaptasi dari film "Sunny" karya sutradara Kang Hyeong-cheol yang tayang pada tahun 2011.
Sederet aktris dan aktor yang terlibat dalam film ini antara lain: Marsha Timothy, Susan Bachtiar, Indy Barends, Baim Wong, Widi Mulia serta Salvita Decorte, lalu bintang muda antara lain Maizura, Sheryl Sheinafia, Agatha Priscilla, Zulfa Maharani, Lutesha serta Baskara Mahendra.
Baca juga: "Bebas" temukan jati diri yang terlupakan
Baca juga: Pengalaman Tika Panggabean disutradarai Riri Riza
Sementara pada "Sunny", aktris yang berpartisipasi yakni:
Shim Eun-kyung, Kang So-ra, Min Hyo-rin, Kim Min-young, Park Jin-joo, Nam Bo-ra, Kim Bo-mi.
Ada juga Yoo Ho-jeong, Jin Hee-kyung, Ko Su-hee, Hong Jin-hee, Lee Yeon-kyung, Kim Sun-kyung dan Yoon Jung.
Kedua film ini sama-sama berkisah tentang pertemanan sekelompok siswa semasa sekolah menengah yang berlanjut hingga dewasa. Mereka sempat terpisahkan selama 23 tahun namun kembali bersatu karena suatu alasan.
Bedanya, untuk "Bebas", Riri menyesuaikan latar waktu film sesuai yang terjadi di Indonesia, yakni Jakarta di erat tahun 1990-an dan 2019 serta menambahkan tokoh pria di dalam geng "Bebas", yang berbeda dari "Sunny" yang mengambil latar di kota Seoul era 1980-an dan 2011.
Produser Mira Lesmana menuturkan pemilihan latar waktu tahun 1990-an karena saat itu budaya pop berkembang walau ada kekhawatiran terkait gejala politik dan ekonomi.
Baca juga: Drama Korea populer di Indonesia, apa pendapat Kang Sora?
Baca juga: Komentar Kang Sora soal film "Bebas", Indonesia dan rendang
Baca juga: Kang Sora rindukan arti persahabatan film "Sunny"
"Sweet 20" (2017) - "Miss Granny" (2014)
Sutradara Ody C. Harahap secara umum tak mengubah cerita dalam "Sweet 20" yang merupakan adaptasi dari film "Miss Granny" karya Hwang Dong-hyuk.
Kisah utama masih berpusat pada kisah seorang perempuan paruh baya (diperankan Niniek L. Karim) yang sedih karena harus masuk panti wreda atas permintaan keluarganya. Di tengah kesedihannya itu, secara ajaib dia kembali ke usia 20 tahunan (diperankan Tatjana Saphira).
Seperti film adaptasi pada umumnya, ada unsur lokal yang dihadirkan dalam "Sweet 20" yang juga dibintangi Kevin Julio, Morgan Oey, Slamet Rahardjo, Lukman Sardi, Widyawati dan Cut Mini itu yakni dangdutan, sungkem saat Lebaran dan membuat kuliner khas Indonesia.
Film serupa juga diadaptasi negara lain yakni China ("20 Once Again", Jepang ("Ayashii Kanojo") dan Vietnam ("Sweet 20".
Baca juga: Carissa Perusset tersanjung dibilang mirip Tatjana Saphira
Baca juga: Ninik: FFI Hanya Berikan Penghargaan Terbaik
Baca juga: Serahkan Peran Diplomasi Budaya ke Generasi Muda
Tentang film adaptasi
Para sineas memiliki alasan tersendiri memproduksi kembali film dari luar negeri. Mereka juga tidak serta merta menduplikasi cerita, tetapi menambahkan unsur-unsur yang sesuai dengan budaya di negeri sang sutradara berasal.
Upaya ini salah satunya bertujuan mendekatkan cerita film dengan para penontonnya.
Riri Riza dalam sebuah wawancara mengatakan, tertarik memproduksi ulang film asal Korea Selatan karena kesamaan periode penting yang ingin dia ceritakan.
Riri diberi kebebasan untuk menerjemahkan ulang film "Sunny" ke dalam "Bebas".
Setali tiga uang dengan Riri, Awi Suryadi juga tak keberatan mengadaptasi film salah satunya karena kebebasan mengembangkan ide kreatif dalam karyanya.
Dalam "Sunyi", dia melakukan upgrade penampakan hantu karena menilai hantu dalam film aslinnya (tahun 1998) relatif tidak akan membuat penonton masa kini takut.
Berbeda dari kedua sutradara ini, Fajar Bustomi justru tak tertarik menggarap film adaptasi dari film luar negeri.
"Adaptasi film dari luar saya enggak pernah tertarik, karena dari cerita kita sendiri saja banyak. Kalau alasannya hanya untuk mendapatkan sukses dari cerita luar, buat apa," kata dia kepada ANTARA di Jakarta beberapa waktu lalu.
Fajar mengatakan pernah ditawari me-remake salah satu film dari Korea Selatan (tidak menyebutkan judul) namun dia menolaknya karena alasan tidak ada rasa.
"Film itu harus ada sesuatu yang kita menangkan. Kadang-kadang, kenapa di film ini kita mau. Jadi bukan hanya uang. Saya maunya buat film yang bagus lalu orang luar remake," tutur dia.
Terlepas dari pro dan kontranya, film-film adaptasi ini punya tempat di hati penonton Indonesia. "Sweet 20" misalnya, bisa menggaet 1.044.045 orang penonton versi laman Film Indonesia. Sementara itu, "Sunyi" pada April 2019 ditonton 365.800 orang penonton.
Film "Sweet 20" bahkan memenangkan penghargaan di Festival Film Indonesia (FFI) 2017 dan prestasi dicapai film "Bebas" dua tahun kemudian.