Pontianak (ANTARA) - Konsulat Jenderal RI di Kuching, Sarawak, Malaysia, berhasil membebaskan dan memulangkan seorang warga negara Indonesia asal Bima, Nusa Tenggara Barat, yang sebelumnya terancam hukuman mati di negeri jiran tersebut.
"Sukardin bin Said, warga Bima, NTB, yang dipulangkan ini sebelumnya adalah terpidana hukuman mati dalam kasus pembunuhan pada tahun 2010," kata Konjen RI di Kuching Yonny Tri Prayitno dihubungi dari Pontianak saat penyerahan Sukardin dari KJRI di Kuching ke BP2MI Entikong di Entikong, Kabupaten Sanggau, Senin.
Yonny Tri Prayitno menjelaskan bahwa Sukardin ini mengalami gangguan jiwa.
Dampak dari gangguan jiwa itu, Sukardin melakukan penganiayaan terhadap empat warga Indonesia lainnya, dua laki dan dua perempuan, di perkebunan kelapa sawit Mukah, Sarawak, 9 September 2010.
Satu dari tiga korban penganiayaan Supardin, meninggal dunia.
Dia ditangkap pada tanggal 14 September 2010, kemudian oleh Mahkamah Tinggi Sibu, Sarawak, dijatuhi vonis hukuman mati karena menyebabkan orang lain meninggal dunia.
Namun, pada tanggal 6 Juli 2012, vonis terhadap Sukardin diturunkan menjadi ditahan di Rumah Sakit Jiwa Sentosa sampai mendapat pengampunan untuk dibebaskan.
Oleh Mahkamah Persekutuan setempat pada tanggal 20 September 2016, vonis tersebut diperkuat.
Supardin masuk rumah sakit jiwa di RSJ Sentosa mulai 28 September 2010 sampai 19 Oktober 2020 dan didiagnosa mengidap Schizopherenia.
Penyakit ini, kata Yonny Tri Prayitno, adalah gangguan jiwa yang serius, atau orang menafsirkan kenyataan secara tidak normal. Selain itu, dapat menimbulkan beberapa kombinasi halusinasi, delusi, dan pemikiran serta perilaku yang sangat tidak teratur dan mengganggu fungsi sehari-hari. Selain itu, juga dapat melumpuhkan.
KJIR Kuching terakhir kali mengajukan permohonan pengampunan pada tanggal 15 Oktober 2019, kemudian pada tanggal 8 September 2020 disetujui. Supardin dibebaskan dan dipulangkan.
Yonny menambahkan bahwa pendampingan hukum dan permohonan kepada pemerintah Malaysia terkait dengan ancaman hukum mati itu relatif cukup panjang.
Menurut dia, kasus berat baik itu pembunuhan dan narkoba kerap melibatkan WNI di Sarawak.
Ia mengungkapkan hingga kini masih ada 12 kasus persidangan yang sedang berjalan, dan lima yang sudah tetap divonis hukuman mati serta menunggu pengampunan.
Sebanyak 23 orang berhasil dibebaskan dari hukuman mati di Sarawak dengan berbagai kasus berat.
Kepala UPT BP2MI Pontianak Erwin Rachmat membenarkan ada penyerahan warga Bima yang bebas dari ancaman hukuman mati di Sarawak karena terkait dengan kasus pembunuhan.
"Tadi ada penyerahan lima WNI repatriasi, dan satu WNI asal Bima yang dibebaskan dari ancaman hukuman mati. Pemulangan akan dilakukan BP2MI bersama Dinsos, sekarang masih dilakukan pemeriksaan dokumen kesehatannya oleh KKP Entikong," jelas Erwin.
Selama ini, kata dia, ada beberapa WNI yang terlibat berbagai kasus tindak pidana di Sarawak. Namun, pihak KJRI di Kuching berperan aktif memberikan perlindungan serta pendampingan hukum selama proses persidangan berlangsung.
"Hal itu termasuk mengajukan permohonan seperti yang dilakukan kepada Sukardin yang terancam hukuman mati di Sarawak," katanya.
"Sukardin bin Said, warga Bima, NTB, yang dipulangkan ini sebelumnya adalah terpidana hukuman mati dalam kasus pembunuhan pada tahun 2010," kata Konjen RI di Kuching Yonny Tri Prayitno dihubungi dari Pontianak saat penyerahan Sukardin dari KJRI di Kuching ke BP2MI Entikong di Entikong, Kabupaten Sanggau, Senin.
Yonny Tri Prayitno menjelaskan bahwa Sukardin ini mengalami gangguan jiwa.
Dampak dari gangguan jiwa itu, Sukardin melakukan penganiayaan terhadap empat warga Indonesia lainnya, dua laki dan dua perempuan, di perkebunan kelapa sawit Mukah, Sarawak, 9 September 2010.
Satu dari tiga korban penganiayaan Supardin, meninggal dunia.
Dia ditangkap pada tanggal 14 September 2010, kemudian oleh Mahkamah Tinggi Sibu, Sarawak, dijatuhi vonis hukuman mati karena menyebabkan orang lain meninggal dunia.
Namun, pada tanggal 6 Juli 2012, vonis terhadap Sukardin diturunkan menjadi ditahan di Rumah Sakit Jiwa Sentosa sampai mendapat pengampunan untuk dibebaskan.
Oleh Mahkamah Persekutuan setempat pada tanggal 20 September 2016, vonis tersebut diperkuat.
Supardin masuk rumah sakit jiwa di RSJ Sentosa mulai 28 September 2010 sampai 19 Oktober 2020 dan didiagnosa mengidap Schizopherenia.
Penyakit ini, kata Yonny Tri Prayitno, adalah gangguan jiwa yang serius, atau orang menafsirkan kenyataan secara tidak normal. Selain itu, dapat menimbulkan beberapa kombinasi halusinasi, delusi, dan pemikiran serta perilaku yang sangat tidak teratur dan mengganggu fungsi sehari-hari. Selain itu, juga dapat melumpuhkan.
KJIR Kuching terakhir kali mengajukan permohonan pengampunan pada tanggal 15 Oktober 2019, kemudian pada tanggal 8 September 2020 disetujui. Supardin dibebaskan dan dipulangkan.
Yonny menambahkan bahwa pendampingan hukum dan permohonan kepada pemerintah Malaysia terkait dengan ancaman hukum mati itu relatif cukup panjang.
Menurut dia, kasus berat baik itu pembunuhan dan narkoba kerap melibatkan WNI di Sarawak.
Ia mengungkapkan hingga kini masih ada 12 kasus persidangan yang sedang berjalan, dan lima yang sudah tetap divonis hukuman mati serta menunggu pengampunan.
Sebanyak 23 orang berhasil dibebaskan dari hukuman mati di Sarawak dengan berbagai kasus berat.
Kepala UPT BP2MI Pontianak Erwin Rachmat membenarkan ada penyerahan warga Bima yang bebas dari ancaman hukuman mati di Sarawak karena terkait dengan kasus pembunuhan.
"Tadi ada penyerahan lima WNI repatriasi, dan satu WNI asal Bima yang dibebaskan dari ancaman hukuman mati. Pemulangan akan dilakukan BP2MI bersama Dinsos, sekarang masih dilakukan pemeriksaan dokumen kesehatannya oleh KKP Entikong," jelas Erwin.
Selama ini, kata dia, ada beberapa WNI yang terlibat berbagai kasus tindak pidana di Sarawak. Namun, pihak KJRI di Kuching berperan aktif memberikan perlindungan serta pendampingan hukum selama proses persidangan berlangsung.
"Hal itu termasuk mengajukan permohonan seperti yang dilakukan kepada Sukardin yang terancam hukuman mati di Sarawak," katanya.