Jakarta (ANTARA) - Hasil riset Neurosensum Indonesia Consumers Trend 2021: Social Media Impact on Kids menunjukkan bahwa 87 persen anak-anak di Indonesia sudah dikenalkan media sosial sebelum menginjak usia 13 tahun.
Bahkan sebanyak 92 persen anak-anak dari rumah tangga berpenghasilan rendah mengenal media sosial lebih dini.
Secara rata-rata, anak Indonesia mengenal media sosial di usia 7 tahun. Dari 92 persen anak yang datang dari keluarga berpenghasilan rendah, 54 persen diantaranya diperkenalkan ke media sosial sebelum mereka berusia 6 tahun.
“Penggunaan media sosial di rumah tangga berpenghasilan rendah dimulai saat anak berusia sekitar 7 tahun, lebih awal dibandingkan dengan rumah tangga berpenghasilan menengah ke atas, yaitu 9 tahun," kata CEO NeuroSensum & SurveySensum Rajiv Lamba melalui keterangannya yang diterima di Jakarta pada Jumat.
Angka ini merupakan angka yang signifikan jika dibandingkan dengan rumah tangga berpenghasilan tinggi di mana hanya 34 persen yang menggunakan media sosial sebelum mereka mencapai usia tersebut. Sebagai informasi, raksasa media sosial seperti YouTube, Instagram, dan Facebook, menerapkan batas minimum usia pengguna 13 tahun.
"Meski belum memenuhi batas bawah usia akun media sosial, para orangtua pada akhirnya memberikan akses media sosial agar anak sibuk dan orangtua dapat fokus mengerjakan pekerjaan mereka," kata Rajiv.
Untuk melihat kesadaran dan kepedulian orang tua terhadap penggunaan media sosial oleh anak-anak mereka di Indonesia, NeuroSensum meluncurkan survei pada bulan Februari untuk memahami kesadaran penggunaan media sosial anak-anak di antara orang tua dan kekhawatiran mereka terhadap penggunaan media daring oleh anak-anak.
NeuroSensum melakukan survei kepada 269 responden (52 persen pria dan 48 persen wanita) di 4 kota besar di Indonesia (Jakarta, Medan, Bandung, dan Surabaya) dan menemukan beberapa informasi yang menarik. Tidak hanya usia, hasil riset NeuroSensum juga mengungkapkan adanya perbedaan durasi saat mengonsumsi konten media sosial diantara anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah dan tinggi.
"Meskipun dimulai pada usia yang sangat muda, anak-anak di rumah tangga berpenghasilan rendah menghabiskan lebih sedikit waktu di media sosial (2,4 jam sehari) dibandingkan teman seusia mereka di rumah tangga berpenghasilan tinggi yaitu 3,3 jam sehari," papar Rajiv.
Dari survey tersebut terlihat bahwa sejumlah platform media sosial seperti YouTube (78 persen), WhatsApp (61 persen), Instagram (54 persen), Facebook (54 persen), dan Twitter (12 persen) adalah platform daring yang paling banyak digunakan oleh anak-anak baik dari kalangan berpenghasilan rendah maupun tinggi.
Dari platform tersebut, anak-anak dari rumah tangga berpenghasilan tinggi dan rendah cenderung lebih memilih hiburan di internet sebagai alternatif mengisi waktu luang, dibandingkan dengan anak-anak dari rumah tangga berpenghasilan menengah, yang lebih fokus pada kegiatan komunikasi dan pembelajaran daring.
Anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan daring seperti bermain gim dan komunikasi daring (masing-masing 65 persen), belajar secara daring dan mempelajari keterampilan baru (masing-masing 48 persen), pembaharuan status di media sosial dan menonton film atau serial di platform daring (masing-masing 42 persen), membuat video di platform video pendek (37 persen), serta membaca buku atau komik di internet (30 persen).
“Salah satu sisi positif dari anak-anak yang bermedia sosial adalah kemampuan mereka memproduksi suatu karya di usia dini. Terlebih lagi semasa pandemi, anak-anak tidak hanya mengonsumsi konten digital tetapi juga semakin mahir memanfaatkan media sosial untuk membuat konten," jelas Rajiv.
Kendati demikian, aktivitas memproduksi konten ini lebih banyak dilakukan oleh anak dari kalangan atas yang kemudian memunculkan kekhawatiran lain di kalangan orang tua.
Survei NeuroSensum Indonesia Consumers Trend 2021: Social Media Impact on Kids juga melakukan riset pada perasaan orangtua mengenai keeratan anak dengan media sosial. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa konten yang bersifat kekerasan dan seksual menjadi kekhawatiran terbesar para orangtua yang telah mengenalkan media sosial ke anak-anaknya. Hal ini menjadi perhatian besar bagi 81 persen orang tua.
Perundungan (bullying) di dunia maya turut menjadi kekhawatiran 56 persen orang tua di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa dampak negatif media sosial secara psikologis lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan efek terhadap kesehatan fisik.
Hal tersebut didukung dengan 98 persen orang tua yang lebih khawatir terhadap tontonan negatif yang berdampak terhadap anak-anak mereka.
Bahkan sebanyak 92 persen anak-anak dari rumah tangga berpenghasilan rendah mengenal media sosial lebih dini.
Secara rata-rata, anak Indonesia mengenal media sosial di usia 7 tahun. Dari 92 persen anak yang datang dari keluarga berpenghasilan rendah, 54 persen diantaranya diperkenalkan ke media sosial sebelum mereka berusia 6 tahun.
“Penggunaan media sosial di rumah tangga berpenghasilan rendah dimulai saat anak berusia sekitar 7 tahun, lebih awal dibandingkan dengan rumah tangga berpenghasilan menengah ke atas, yaitu 9 tahun," kata CEO NeuroSensum & SurveySensum Rajiv Lamba melalui keterangannya yang diterima di Jakarta pada Jumat.
Angka ini merupakan angka yang signifikan jika dibandingkan dengan rumah tangga berpenghasilan tinggi di mana hanya 34 persen yang menggunakan media sosial sebelum mereka mencapai usia tersebut. Sebagai informasi, raksasa media sosial seperti YouTube, Instagram, dan Facebook, menerapkan batas minimum usia pengguna 13 tahun.
"Meski belum memenuhi batas bawah usia akun media sosial, para orangtua pada akhirnya memberikan akses media sosial agar anak sibuk dan orangtua dapat fokus mengerjakan pekerjaan mereka," kata Rajiv.
Untuk melihat kesadaran dan kepedulian orang tua terhadap penggunaan media sosial oleh anak-anak mereka di Indonesia, NeuroSensum meluncurkan survei pada bulan Februari untuk memahami kesadaran penggunaan media sosial anak-anak di antara orang tua dan kekhawatiran mereka terhadap penggunaan media daring oleh anak-anak.
NeuroSensum melakukan survei kepada 269 responden (52 persen pria dan 48 persen wanita) di 4 kota besar di Indonesia (Jakarta, Medan, Bandung, dan Surabaya) dan menemukan beberapa informasi yang menarik. Tidak hanya usia, hasil riset NeuroSensum juga mengungkapkan adanya perbedaan durasi saat mengonsumsi konten media sosial diantara anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah dan tinggi.
"Meskipun dimulai pada usia yang sangat muda, anak-anak di rumah tangga berpenghasilan rendah menghabiskan lebih sedikit waktu di media sosial (2,4 jam sehari) dibandingkan teman seusia mereka di rumah tangga berpenghasilan tinggi yaitu 3,3 jam sehari," papar Rajiv.
Dari survey tersebut terlihat bahwa sejumlah platform media sosial seperti YouTube (78 persen), WhatsApp (61 persen), Instagram (54 persen), Facebook (54 persen), dan Twitter (12 persen) adalah platform daring yang paling banyak digunakan oleh anak-anak baik dari kalangan berpenghasilan rendah maupun tinggi.
Dari platform tersebut, anak-anak dari rumah tangga berpenghasilan tinggi dan rendah cenderung lebih memilih hiburan di internet sebagai alternatif mengisi waktu luang, dibandingkan dengan anak-anak dari rumah tangga berpenghasilan menengah, yang lebih fokus pada kegiatan komunikasi dan pembelajaran daring.
Anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan daring seperti bermain gim dan komunikasi daring (masing-masing 65 persen), belajar secara daring dan mempelajari keterampilan baru (masing-masing 48 persen), pembaharuan status di media sosial dan menonton film atau serial di platform daring (masing-masing 42 persen), membuat video di platform video pendek (37 persen), serta membaca buku atau komik di internet (30 persen).
“Salah satu sisi positif dari anak-anak yang bermedia sosial adalah kemampuan mereka memproduksi suatu karya di usia dini. Terlebih lagi semasa pandemi, anak-anak tidak hanya mengonsumsi konten digital tetapi juga semakin mahir memanfaatkan media sosial untuk membuat konten," jelas Rajiv.
Kendati demikian, aktivitas memproduksi konten ini lebih banyak dilakukan oleh anak dari kalangan atas yang kemudian memunculkan kekhawatiran lain di kalangan orang tua.
Survei NeuroSensum Indonesia Consumers Trend 2021: Social Media Impact on Kids juga melakukan riset pada perasaan orangtua mengenai keeratan anak dengan media sosial. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa konten yang bersifat kekerasan dan seksual menjadi kekhawatiran terbesar para orangtua yang telah mengenalkan media sosial ke anak-anaknya. Hal ini menjadi perhatian besar bagi 81 persen orang tua.
Perundungan (bullying) di dunia maya turut menjadi kekhawatiran 56 persen orang tua di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa dampak negatif media sosial secara psikologis lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan efek terhadap kesehatan fisik.
Hal tersebut didukung dengan 98 persen orang tua yang lebih khawatir terhadap tontonan negatif yang berdampak terhadap anak-anak mereka.