Palangka Raya (ANTARA) - Para wartawan di Provinsi Kalimantan Tengah dibekali cara menulis yang benar dan sesuai kode etik jurnalistik sesuai Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak.
Ketua PWI Kalteng M Harris Sadikin di Palangka Raya, Selasa, mengatakan, pelatihan penulisan ramah anak diberikan terhadap sejumlah wartawan di provinsi setempat baik secara tatap muka maupun virtual, agar mereka tidak terjebak dalam pemberitaan yang bisa berakibat kepada persoalan hukum pidana.
"Kawan-kawan wartawan harus mengetahui, dalam penulisan ramah anak ada rambu-rambunya yang tidak boleh dilanggar dan harus ditaati. Apabila dilanggar bisa berurusan dengan hukum di kemudian harinya," kata Harris di sela pelatihan penulisan ramah anak.
Ditegaskannya, dalam penulisan berkaitan dengan anak, harus benar-benar selektif dan mengikuti anjuran yang sudah ditetapkan. Dalam menulis persoalan anak ini, juga harus mempertimbangkan dampak psikologis anak.
Maka semua perlu dilakukan dengan hati-hati dan jangan sampai dalam penulisan tidak sesuai anjuran, sehingga membuat persoalan bagi penulis dan pimpinan redaksinya.
"Karena masa kedaluwarsa berita yang diterbitkan terkait ramah anak, selama 12 tahun. Ketika yang bersangkutan merasa dirugikan dalam tulisan dan tidak sesuai kode etik, maka dapat diperkarakan ke ranah hukum," ungkapnya.
Dalam acara tersebut, Anggota Komisi Kompetensi PWI Pusat Refa Riana menuturkan, dalam penulisan pedoman pemberitaan ramah anak (PPRA) adalah panduan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers bagi komunitas pers dalam membuat pemberitaan tentang anak yang terlibat persoalan hukum, baik anak sebagai pelaku, saksi, atau korban.
"Tujuannya menghasilkan berita yang bernuansa positif, berempati, melindungi hak, harkat dan martabat anak," bebernya.
Pria yang juga Penguji Sertifikasi Kompetensi Wartawan Dewan Pers ini menekankan, wajib hukumnya wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
"Ingat wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orang tuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik," tegas dia.
Di lokasi yang sama pula, Kepala Bidang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak pada Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (PPPAPP-KB) Kalteng Mulyo Suharto menambahkan, undang-undang menjamin hak-hak anak, salah satunya non diskriminasi dan tumbuh kembang. Atas hal itu, jika terjadi kasus maka identitas anak harus dan wajib dirahasiakan.
"Ini Undang-Undang yang bicara dan hal itu sangat jela," sebutnya.
Sebelum mengakhiri perbincangannya Mulyo membeberkan, dalam peliputan kasus anak, nama orang tua, inisial, alamat maupun wajah tidak boleh diungkapkan, lantaran sanksinya berat pidana penjara lima tahun dan atau denda lima juta rupiah.
"Sekali lagi ini Undang-Undang yang bicara dan aturannya sangat jelas," demikian Mulyo.
Ketua PWI Kalteng M Harris Sadikin di Palangka Raya, Selasa, mengatakan, pelatihan penulisan ramah anak diberikan terhadap sejumlah wartawan di provinsi setempat baik secara tatap muka maupun virtual, agar mereka tidak terjebak dalam pemberitaan yang bisa berakibat kepada persoalan hukum pidana.
"Kawan-kawan wartawan harus mengetahui, dalam penulisan ramah anak ada rambu-rambunya yang tidak boleh dilanggar dan harus ditaati. Apabila dilanggar bisa berurusan dengan hukum di kemudian harinya," kata Harris di sela pelatihan penulisan ramah anak.
Ditegaskannya, dalam penulisan berkaitan dengan anak, harus benar-benar selektif dan mengikuti anjuran yang sudah ditetapkan. Dalam menulis persoalan anak ini, juga harus mempertimbangkan dampak psikologis anak.
Maka semua perlu dilakukan dengan hati-hati dan jangan sampai dalam penulisan tidak sesuai anjuran, sehingga membuat persoalan bagi penulis dan pimpinan redaksinya.
"Karena masa kedaluwarsa berita yang diterbitkan terkait ramah anak, selama 12 tahun. Ketika yang bersangkutan merasa dirugikan dalam tulisan dan tidak sesuai kode etik, maka dapat diperkarakan ke ranah hukum," ungkapnya.
Dalam acara tersebut, Anggota Komisi Kompetensi PWI Pusat Refa Riana menuturkan, dalam penulisan pedoman pemberitaan ramah anak (PPRA) adalah panduan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers bagi komunitas pers dalam membuat pemberitaan tentang anak yang terlibat persoalan hukum, baik anak sebagai pelaku, saksi, atau korban.
"Tujuannya menghasilkan berita yang bernuansa positif, berempati, melindungi hak, harkat dan martabat anak," bebernya.
Pria yang juga Penguji Sertifikasi Kompetensi Wartawan Dewan Pers ini menekankan, wajib hukumnya wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
"Ingat wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orang tuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik," tegas dia.
Di lokasi yang sama pula, Kepala Bidang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak pada Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (PPPAPP-KB) Kalteng Mulyo Suharto menambahkan, undang-undang menjamin hak-hak anak, salah satunya non diskriminasi dan tumbuh kembang. Atas hal itu, jika terjadi kasus maka identitas anak harus dan wajib dirahasiakan.
"Ini Undang-Undang yang bicara dan hal itu sangat jela," sebutnya.
Sebelum mengakhiri perbincangannya Mulyo membeberkan, dalam peliputan kasus anak, nama orang tua, inisial, alamat maupun wajah tidak boleh diungkapkan, lantaran sanksinya berat pidana penjara lima tahun dan atau denda lima juta rupiah.
"Sekali lagi ini Undang-Undang yang bicara dan aturannya sangat jelas," demikian Mulyo.