Jakarta (ANTARA) - Multisystem inflammatory syndrom in children (MIS-C) merupakan kondisi medis ketika bagian organ-organ tubuh pada anak mengalami peradangan atau inflamasi termasuk jantung, paru-paru, ginjal, otak, kulit, mata, atau organ pencernaan.
Hingga saat ini, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) belum mengetahui secara pasti penyebab MIS-C dan masih mempelajarinya melalui studi. Namun, beberapa anak yang mengalami MIS-C sebelumnya pernah terinfeksi COVID-19.
Baca juga: Olahraga bisa bantu anak untuk betah belajar
Dokter spesialis anak dr. Lucia Nauli Simbolon M.Sc, Sp.A mengatakan kasus MIS-C termasuk jarang dijumpai. Menurut data yang ia himpun, MIS-C terjadi pada 0,14 persen anak yang terkena COVID-19.
Meski sedikit, ia mengimbau agar orang tua tetap waspada dan terus memperhatikan kondisi kesehatan anak setelah terinfeksi COVID-19 setidaknya dua hingga empat minggu. Kondisi MIS-C tidak boleh dianggap remeh sebab dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kondisi kritis hingga kematian.
“Memang sedikit, ya, tapi jangan sampai kalau itu terjadi di keluarga kita atau siapapun yang terkena di 0,14 persen. Itu akan sedih sekali karena kondisi anak ini bisa sampai kritis dan meninggal dunia,” kata dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada itu dalam diskusi virtual, ditulis Jumat.
Meski demikian, menurut CDC kebanyakan anak yang mendapat diagnosis MIS-C kondisinya bisa menjadi lebih baik dengan menjalani perawatan medis.
Lucia menjelaskan gejala MIS-C biasanya ditandai dengan kontraksi jantung yang melemah, kulit menjadi kemerahan, sesak nafas pada paru-paru, biasanya otak sulit dibangunkan, saluran pencernaan mengalami efek seperti diare dan muntah, produksi urin pada ginjal berkurang, dan mata tampak kemerahan.
Baca juga: Cara pilih popok yang tepat untuk anak
“Keluhan umumnya demam, tapi ingat kalau ada keluhan yang gawat jangan sampai terlambat dibawa ke UGD,” ujarnya.
Gejala yang dikategorikan gawat tersebut antara lain kesulitan bernafas; rasa nyeri atau tertekan pada dada; merasa kebingungan; tidak bisa terjaga atau cenderung mengantuk terus-menerus; muncul kebiruan atau pucat pada kulit, kuku, atau bibir; dan rasa nyeri perut yang berat.
Anak yang mengalami MIS-C harus menjalani perawatan di rumah sakit. Dokter yang menangani akan melakukan tes laboratorium untuk memastikan tanda-tanda penyakit lainnya, termasuk tes untuk mengetahui gambaran disfungsi miokardium (EKG), bukti adanya koagulupati, hingga bukti terinfeksi COVID-19.
Menurut CDC, cara terbaik untuk mencegah MIS-C saat ini adalah dengan melakukan upaya pencegahan infeksi virus COVID-19, termasuk penerapan protokol kesehatan sesuai standar.
“Mencegah MIS-C ini sama dengan mencegah COVID-19, caranya tetap vaksinasi anak-anak, cegah anak dan keluarga dari COVID-19. Dan ternyata efektivitas vaksin ini sampai dengan 91 persen untuk mencegah terjadinya MIS-C akibat COVID-19,” kata Lucia.
Baca juga: Benarkah Cocomelon dapat memicu anak terlalu aktif?
Baca juga: Tips beri sanjungan pada anak agar tak berdampak negatif
Baca juga: Ini alasan di balik gejolak emosi pada remaja menurut psikolog
Hingga saat ini, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) belum mengetahui secara pasti penyebab MIS-C dan masih mempelajarinya melalui studi. Namun, beberapa anak yang mengalami MIS-C sebelumnya pernah terinfeksi COVID-19.
Baca juga: Olahraga bisa bantu anak untuk betah belajar
Dokter spesialis anak dr. Lucia Nauli Simbolon M.Sc, Sp.A mengatakan kasus MIS-C termasuk jarang dijumpai. Menurut data yang ia himpun, MIS-C terjadi pada 0,14 persen anak yang terkena COVID-19.
Meski sedikit, ia mengimbau agar orang tua tetap waspada dan terus memperhatikan kondisi kesehatan anak setelah terinfeksi COVID-19 setidaknya dua hingga empat minggu. Kondisi MIS-C tidak boleh dianggap remeh sebab dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kondisi kritis hingga kematian.
“Memang sedikit, ya, tapi jangan sampai kalau itu terjadi di keluarga kita atau siapapun yang terkena di 0,14 persen. Itu akan sedih sekali karena kondisi anak ini bisa sampai kritis dan meninggal dunia,” kata dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada itu dalam diskusi virtual, ditulis Jumat.
Meski demikian, menurut CDC kebanyakan anak yang mendapat diagnosis MIS-C kondisinya bisa menjadi lebih baik dengan menjalani perawatan medis.
Lucia menjelaskan gejala MIS-C biasanya ditandai dengan kontraksi jantung yang melemah, kulit menjadi kemerahan, sesak nafas pada paru-paru, biasanya otak sulit dibangunkan, saluran pencernaan mengalami efek seperti diare dan muntah, produksi urin pada ginjal berkurang, dan mata tampak kemerahan.
Baca juga: Cara pilih popok yang tepat untuk anak
“Keluhan umumnya demam, tapi ingat kalau ada keluhan yang gawat jangan sampai terlambat dibawa ke UGD,” ujarnya.
Gejala yang dikategorikan gawat tersebut antara lain kesulitan bernafas; rasa nyeri atau tertekan pada dada; merasa kebingungan; tidak bisa terjaga atau cenderung mengantuk terus-menerus; muncul kebiruan atau pucat pada kulit, kuku, atau bibir; dan rasa nyeri perut yang berat.
Anak yang mengalami MIS-C harus menjalani perawatan di rumah sakit. Dokter yang menangani akan melakukan tes laboratorium untuk memastikan tanda-tanda penyakit lainnya, termasuk tes untuk mengetahui gambaran disfungsi miokardium (EKG), bukti adanya koagulupati, hingga bukti terinfeksi COVID-19.
Menurut CDC, cara terbaik untuk mencegah MIS-C saat ini adalah dengan melakukan upaya pencegahan infeksi virus COVID-19, termasuk penerapan protokol kesehatan sesuai standar.
“Mencegah MIS-C ini sama dengan mencegah COVID-19, caranya tetap vaksinasi anak-anak, cegah anak dan keluarga dari COVID-19. Dan ternyata efektivitas vaksin ini sampai dengan 91 persen untuk mencegah terjadinya MIS-C akibat COVID-19,” kata Lucia.
Baca juga: Benarkah Cocomelon dapat memicu anak terlalu aktif?
Baca juga: Tips beri sanjungan pada anak agar tak berdampak negatif
Baca juga: Ini alasan di balik gejolak emosi pada remaja menurut psikolog