Jakarta (ANTARA) - Berusia muda dengan gejala-gejala yang ringan tidak menjamin bagi para penyintas COVID-19 terbebas dari post-COVID syndrome atau sindrom pasca-COVID.
Dengan meningkatnya kasus aktif COVID-19 di Indonesia beberapa hari terakhir ini, masyarakat diingatkan kembali akan potensi bahaya yang dibawa oleh COVID-19. Tak hanya menyerang saluran pernapasan, COVID-19 juga berpotensi mengakibatkan sindrom pasca-COVID pada penderitanya.
Sindrom pasca-COVID merupakan sejumlah masalah kesehatan atau gejala yang baru, kembali muncul, atau terus terjadi selama 4 minggu atau lebih sejak pertama kali seseorang terinfeksi virus penyebab COVID-19.
Baca juga: Kapan bisa terima 'booster' vaksin setelah positif COVID-19?
Walaupun mayoritas penderita COVID-19 akan membaik dalam beberapa minggu setelah sakit, sebagian penderita mengalami sindrom pasca-COVID yang gejalanya menetap selama beberapa waktu setelah sembuh. Kondisi ini sangat bervariasi dan memiliki jangka waktu yang berbeda antar penyintas COVID-19.
"Penderita COVID-19 usia berapa pun dapat mengalami sindrom pasca-COVID, meski lebih sering ditemukan pada usia dewasa dibandingkan grup usia anak atau remaja, tetapi kelompok anak dan remaja tetap berisiko mengalaminya," ujar dr. Desilia Atikawati, Sp.P, FAPSR, Dokter Spesialis Paru dan Pernapasan, RS Pondok Indah - Puri Indah dikutip pada Kamis.
Penelitian menunjukkan gejala jangka panjang pada anak, baik yang memiliki gejala ringan atau berat (termasuk multisystem inflammatory syndrome, MIS), antara lain kelelahan/fatigue, pusing, gangguan tidur, gangguan konsentrasi, nyeri otot dan sendi, serta batuk.
Walau jarang, beberapa orang, terutama anak-anak, dapat mengalami MIS sesaat atau segera setelah mengalami infeksi COVID-19.
MIS adalah kondisi di mana berbagai organ tubuh mengalami inflamasi, termasuk jantung, paru, ginjal, otak, kulit, mata, atau sistem pencernaan. Hingga saat ini, belum diketahui apa yang menjadi penyebabnya.
"Ini merupakan kondisi serius dan dapat menyebabkan kematian. Gejala yang perlu diwaspadai sebagai MIS adalah adanya demam disertai minimal satu dari gejala seperti nyeri perut, kemerahan pada mata, diare, pusing atau lightheadedness, ruam kulit, dan muntah," kata dr. Desilia.
Sindrom pasca-COVID sendiri tidak hanya terjadi pada penyintas COVID-19 yang bergejala berat saja. Penyintas COVID-19 dengan gejala ringan, bahkan tidak bergejala, juga dapat mengalaminya.
Gejala-gejala yang sering dilaporkan antara lain sesak napas/sulit bernapas lega, fatigue/rasa lelah, gejala yang dirasa memburuk setelah aktivitas/post-exertion malaise, kesulitan berpikir/berkonsentrasi/brain fog, batuk, nyeri dada/perut, pusing, rasa berdebar, nyeri otot/sendi, rasa kesemutan, diare, gangguan tidur, demam, pusing ketika berdiri/lightheadedness, ruam kulit, perubahan suasana hati, perubahan kemampuan indra penciuman/perasa, perubahan siklus menstruasi, dan rambut rontok.
Penelitian Lancet yang dipimpin oleh ilmuwan dari University College London (UCL), merupakan penelitian peer-reviewed terbesar tentang sindrom pasca-COVID yang melibatkan 3.765 partisipan dari 56 negara.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari 91 persen partisipan membutuhkan waktu lebih dari 35 minggu untuk pulih sepenuhnya.
Selama sakit, partisipan mengalami rata-rata 55,9 gejala yang melibatkan 9,1 sistem organ. Gejala yang paling sering ditemukan setelah bulan keenam adalah kelelahan, post-exertion malaise, dan gangguan kognitif.
Sebanyak 85,9 partisipan mengalami kekambuhan gejala yang terutama dicetuskan oleh olahraga, aktivitas fisik atau mental, serta stres. Sedangkan sebanyak 1.700 partisipan membutuhkan pengurangan waktu kerja. Gangguan kognitif atau ingatan ditemukan di seluruh grup usia.
Sebagian penderita COVID-19 yang bergejala berat mengalami dampak multiorgan atau kondisi autoimun dalam waktu yang lebih panjang dengan gejala yang menetap hingga beberapa bulan setelahnya.
Dampak multiorgan dapat melibatkan banyak sistem tubuh, seperti jantung, paru, ginjal, kulit, dan fungsi otak. Sedangkan kondisi autoimun terjadi ketika sistem imun mengalami kesalahan dan menyerang sel-sel sehat dalam tubuh, yang menyebabkan inflamasi (peradangan) atau kerusakan jaringan di berbagai bagian tubuh.
Cara paling baik untuk mencegah sindrom pasca-COVID adalah dengan mencegah terjadinya infeksi COVID-19. Bagi yang sudah mendapatkan vaksinasi 1 dan 2, segera lakukan booster vaksinasi COVID-19 sehingga dapat mengurangi risiko terkena COVID-19 serta melindungi orang di sekitar.
Baca juga: Ini gelaja MIS-C pada anak pasca-positif COVID-19
Baca juga: Ini penjelasan dokter soal munculnya reumatik autoimun usai kena COVID-19
Baca juga: Tips atasi gejala kelelahan pada penyintas COVID-19
Dengan meningkatnya kasus aktif COVID-19 di Indonesia beberapa hari terakhir ini, masyarakat diingatkan kembali akan potensi bahaya yang dibawa oleh COVID-19. Tak hanya menyerang saluran pernapasan, COVID-19 juga berpotensi mengakibatkan sindrom pasca-COVID pada penderitanya.
Sindrom pasca-COVID merupakan sejumlah masalah kesehatan atau gejala yang baru, kembali muncul, atau terus terjadi selama 4 minggu atau lebih sejak pertama kali seseorang terinfeksi virus penyebab COVID-19.
Baca juga: Kapan bisa terima 'booster' vaksin setelah positif COVID-19?
Walaupun mayoritas penderita COVID-19 akan membaik dalam beberapa minggu setelah sakit, sebagian penderita mengalami sindrom pasca-COVID yang gejalanya menetap selama beberapa waktu setelah sembuh. Kondisi ini sangat bervariasi dan memiliki jangka waktu yang berbeda antar penyintas COVID-19.
"Penderita COVID-19 usia berapa pun dapat mengalami sindrom pasca-COVID, meski lebih sering ditemukan pada usia dewasa dibandingkan grup usia anak atau remaja, tetapi kelompok anak dan remaja tetap berisiko mengalaminya," ujar dr. Desilia Atikawati, Sp.P, FAPSR, Dokter Spesialis Paru dan Pernapasan, RS Pondok Indah - Puri Indah dikutip pada Kamis.
Penelitian menunjukkan gejala jangka panjang pada anak, baik yang memiliki gejala ringan atau berat (termasuk multisystem inflammatory syndrome, MIS), antara lain kelelahan/fatigue, pusing, gangguan tidur, gangguan konsentrasi, nyeri otot dan sendi, serta batuk.
Walau jarang, beberapa orang, terutama anak-anak, dapat mengalami MIS sesaat atau segera setelah mengalami infeksi COVID-19.
MIS adalah kondisi di mana berbagai organ tubuh mengalami inflamasi, termasuk jantung, paru, ginjal, otak, kulit, mata, atau sistem pencernaan. Hingga saat ini, belum diketahui apa yang menjadi penyebabnya.
"Ini merupakan kondisi serius dan dapat menyebabkan kematian. Gejala yang perlu diwaspadai sebagai MIS adalah adanya demam disertai minimal satu dari gejala seperti nyeri perut, kemerahan pada mata, diare, pusing atau lightheadedness, ruam kulit, dan muntah," kata dr. Desilia.
Sindrom pasca-COVID sendiri tidak hanya terjadi pada penyintas COVID-19 yang bergejala berat saja. Penyintas COVID-19 dengan gejala ringan, bahkan tidak bergejala, juga dapat mengalaminya.
Gejala-gejala yang sering dilaporkan antara lain sesak napas/sulit bernapas lega, fatigue/rasa lelah, gejala yang dirasa memburuk setelah aktivitas/post-exertion malaise, kesulitan berpikir/berkonsentrasi/brain fog, batuk, nyeri dada/perut, pusing, rasa berdebar, nyeri otot/sendi, rasa kesemutan, diare, gangguan tidur, demam, pusing ketika berdiri/lightheadedness, ruam kulit, perubahan suasana hati, perubahan kemampuan indra penciuman/perasa, perubahan siklus menstruasi, dan rambut rontok.
Penelitian Lancet yang dipimpin oleh ilmuwan dari University College London (UCL), merupakan penelitian peer-reviewed terbesar tentang sindrom pasca-COVID yang melibatkan 3.765 partisipan dari 56 negara.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari 91 persen partisipan membutuhkan waktu lebih dari 35 minggu untuk pulih sepenuhnya.
Selama sakit, partisipan mengalami rata-rata 55,9 gejala yang melibatkan 9,1 sistem organ. Gejala yang paling sering ditemukan setelah bulan keenam adalah kelelahan, post-exertion malaise, dan gangguan kognitif.
Sebanyak 85,9 partisipan mengalami kekambuhan gejala yang terutama dicetuskan oleh olahraga, aktivitas fisik atau mental, serta stres. Sedangkan sebanyak 1.700 partisipan membutuhkan pengurangan waktu kerja. Gangguan kognitif atau ingatan ditemukan di seluruh grup usia.
Sebagian penderita COVID-19 yang bergejala berat mengalami dampak multiorgan atau kondisi autoimun dalam waktu yang lebih panjang dengan gejala yang menetap hingga beberapa bulan setelahnya.
Dampak multiorgan dapat melibatkan banyak sistem tubuh, seperti jantung, paru, ginjal, kulit, dan fungsi otak. Sedangkan kondisi autoimun terjadi ketika sistem imun mengalami kesalahan dan menyerang sel-sel sehat dalam tubuh, yang menyebabkan inflamasi (peradangan) atau kerusakan jaringan di berbagai bagian tubuh.
Cara paling baik untuk mencegah sindrom pasca-COVID adalah dengan mencegah terjadinya infeksi COVID-19. Bagi yang sudah mendapatkan vaksinasi 1 dan 2, segera lakukan booster vaksinasi COVID-19 sehingga dapat mengurangi risiko terkena COVID-19 serta melindungi orang di sekitar.
Baca juga: Ini gelaja MIS-C pada anak pasca-positif COVID-19
Baca juga: Ini penjelasan dokter soal munculnya reumatik autoimun usai kena COVID-19
Baca juga: Tips atasi gejala kelelahan pada penyintas COVID-19