Jakarta (ANTARA) - Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Prof Junaedi Khotib mengatakan paparan Bisphenol-A (BPA) dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang pada anak.
"Adanya BPA akan menimbulkan kerusakan yang kompleks dengan melibatkan jalur hormonal dan epigenetik," ujar Junaedi dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat.
Hal itu berdasarkan penelitiannya yang dituangkan dalam kajian sains "Dampak Paparan Bishpenol-A pada Brain Development dan Gangguan Perkembangan Mental”.
Junaedi mengemukakan bahwa paparan BPA dapat menyebabkan perkembangan dan fisiologi hipotalamus neuroendokrin dan pengendalian keseimbangan energi mengalami gangguan, dan proses learning memori pada hipokampus pun mengalami penurunan.
"Meskipun sampai saat ini kuantitas gangguan pada model tikus secara invivo belum dapat ditranslasikan ke dalam model dosis-response yang sangat jelas pada manusia," katanya.
Namun, kata dia, hal ini harus menjadi pemikiran dan peringatan akan adanya gangguan kesehatan yang akan terjadi ketika terdapat pemaparan BPA dan berdampak serius pada kesehatan manusia baik secara fisik maupun mental.
Dia menambahkan bahwa potensi dampak merugikan BPA pada diferensiasi dan fungsi otak sangat besar dan kompleks, karena perubahan yang dihasilkan kemudian dapat menyebabkan perubahan organik maupun perilaku organisme.
Fokus penelitian tersebut untuk mengevaluasi dampak BPA terhadap gangguan pembentukan dan maturasi sel syaraf pada otak berdasarkan data invitro, invivo, dan epidemiologi.
“Upaya ini berhubungan erat dalam mencegah timbulnya berbagai gangguan syaraf, mental, perilaku, dan kualitas generasi Indonesia pada masa depan," kata dia.
Dia menambahkan bahwa paparan BPA berhubungan erat dengan kandungan BPA dalam urine dan marker kerusakan DNA.
"Hal tersebut berpeluang menimbulkan gangguan tumbuh kembang terutama pada ADHD (Attention Deficit/Hyperactivity Disorder), ASD (Autism Spectrum Disorder), dan gangguan kesehatan mental pada anak-anak,” ujar dia.
Oleh karena itu, dia mendorong edukasi dan peningkatan kesadaran masyarakat terkait dengan kemampuan secara bijak dalam memilih produk makanan atau minuman yang menggunakan kemasan primer yang bebas BPA.
Selain itu, pendampingan pada produsen dalam meningkatkan "costumer awareness" melalui upaya menjaga keamanan produk dari paparan senyawa berbahaya bagi kesehatan seperti BPA, sehingga pengendalian dan monitoring penggunaan kemasan dapat dilakukan dengan baik.
Selanjutnya, komitmen dan tanggung jawab produsen dalam menjamin keamanan produk melalui studi pharmacovigilance yang intensif terkait dengan migrasi/pelepasan BPA dari kemasan dan dampak bagi kesehatan.
"Kemudian, upaya Lembaga Autorisasi dalam perizinan produk makanan dan minuman dengan tidak melakukan pembiaran peluang pemaparan bahan berbahaya BPA melalui pemberian label pada kemasan primer pada makanan dan minuman,” kata dia.
BPA merupakan bahan kimia yang digunakan dalam kemasan plastik polikarbonat. Dengan BPA ini plastik diharapkan tidak mudah hancur, sehingga bisa digunakan dengan baik sebagai wadah.
Galon air mineral adalah salah satu yang menggunakan bahan kimia ini. Selain kemasan air berbahan plastik, BPA sebetulnya juga dijumpai pada kemasan berbagai makanan kalengan, perlengkapan rumah seperti pipa air, yang berupa lapisan plastik tipis.
BPA dapat mengalami migrasi dan mengontaminasi produk dalam kemasannya. Jika seseorang terpapar BPA yang merupakan senyawa endocrine disruptor (gangguan sistem endokrin) dalam jangka panjang atau terus menerus itu harus diwaspadai karena bisa berisiko pada kesehatannya.
Beberapa penelitian telah menunjukkan intensitas dan durasi paparan sangat berkorelasi dengan kadar BPA dalam tubuh.
"Adanya BPA akan menimbulkan kerusakan yang kompleks dengan melibatkan jalur hormonal dan epigenetik," ujar Junaedi dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat.
Hal itu berdasarkan penelitiannya yang dituangkan dalam kajian sains "Dampak Paparan Bishpenol-A pada Brain Development dan Gangguan Perkembangan Mental”.
Junaedi mengemukakan bahwa paparan BPA dapat menyebabkan perkembangan dan fisiologi hipotalamus neuroendokrin dan pengendalian keseimbangan energi mengalami gangguan, dan proses learning memori pada hipokampus pun mengalami penurunan.
"Meskipun sampai saat ini kuantitas gangguan pada model tikus secara invivo belum dapat ditranslasikan ke dalam model dosis-response yang sangat jelas pada manusia," katanya.
Namun, kata dia, hal ini harus menjadi pemikiran dan peringatan akan adanya gangguan kesehatan yang akan terjadi ketika terdapat pemaparan BPA dan berdampak serius pada kesehatan manusia baik secara fisik maupun mental.
Dia menambahkan bahwa potensi dampak merugikan BPA pada diferensiasi dan fungsi otak sangat besar dan kompleks, karena perubahan yang dihasilkan kemudian dapat menyebabkan perubahan organik maupun perilaku organisme.
Fokus penelitian tersebut untuk mengevaluasi dampak BPA terhadap gangguan pembentukan dan maturasi sel syaraf pada otak berdasarkan data invitro, invivo, dan epidemiologi.
“Upaya ini berhubungan erat dalam mencegah timbulnya berbagai gangguan syaraf, mental, perilaku, dan kualitas generasi Indonesia pada masa depan," kata dia.
Dia menambahkan bahwa paparan BPA berhubungan erat dengan kandungan BPA dalam urine dan marker kerusakan DNA.
"Hal tersebut berpeluang menimbulkan gangguan tumbuh kembang terutama pada ADHD (Attention Deficit/Hyperactivity Disorder), ASD (Autism Spectrum Disorder), dan gangguan kesehatan mental pada anak-anak,” ujar dia.
Oleh karena itu, dia mendorong edukasi dan peningkatan kesadaran masyarakat terkait dengan kemampuan secara bijak dalam memilih produk makanan atau minuman yang menggunakan kemasan primer yang bebas BPA.
Selain itu, pendampingan pada produsen dalam meningkatkan "costumer awareness" melalui upaya menjaga keamanan produk dari paparan senyawa berbahaya bagi kesehatan seperti BPA, sehingga pengendalian dan monitoring penggunaan kemasan dapat dilakukan dengan baik.
Selanjutnya, komitmen dan tanggung jawab produsen dalam menjamin keamanan produk melalui studi pharmacovigilance yang intensif terkait dengan migrasi/pelepasan BPA dari kemasan dan dampak bagi kesehatan.
"Kemudian, upaya Lembaga Autorisasi dalam perizinan produk makanan dan minuman dengan tidak melakukan pembiaran peluang pemaparan bahan berbahaya BPA melalui pemberian label pada kemasan primer pada makanan dan minuman,” kata dia.
BPA merupakan bahan kimia yang digunakan dalam kemasan plastik polikarbonat. Dengan BPA ini plastik diharapkan tidak mudah hancur, sehingga bisa digunakan dengan baik sebagai wadah.
Galon air mineral adalah salah satu yang menggunakan bahan kimia ini. Selain kemasan air berbahan plastik, BPA sebetulnya juga dijumpai pada kemasan berbagai makanan kalengan, perlengkapan rumah seperti pipa air, yang berupa lapisan plastik tipis.
BPA dapat mengalami migrasi dan mengontaminasi produk dalam kemasannya. Jika seseorang terpapar BPA yang merupakan senyawa endocrine disruptor (gangguan sistem endokrin) dalam jangka panjang atau terus menerus itu harus diwaspadai karena bisa berisiko pada kesehatannya.
Beberapa penelitian telah menunjukkan intensitas dan durasi paparan sangat berkorelasi dengan kadar BPA dalam tubuh.