Sampit (ANTARA) - Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, menggelar sidang adat untuk membantu penyelesaian satu sengketa lahan perkebunan kelapa sawit di Desa Pelantaran Kecamatan Cempaga Hulu.
"Kami berupaya memberikan keputusan yang seadil-adilnya, karena itu kami berikan kesempatan kedua kepada pihak tergugat untuk hadir memberikan sanggahan atau bantahan terhadap gugatan dari pihak penggugat," kata Juru Bicara Kerapatan Mantir Basara Hai atau Majelis Hakim Sidang Adat, Kardinal Tarung di Sampit, Sabtu.
Sidang adat terkait sengketa lahan kebun sawit seluas 620,28 hektare itu diajukan oleh Alpin Laurence, Wahju Daeny, Candra Salim dan Soejatmiko Lieputra selaku penggugat. Sedangkan pihak tergugat adalah Hok Kim alias Acen Suwartono.
Sidang digelar di aula lantai dua kantor DAD Kotawaringin Timur. Turut hadir Ketua Harian DAD Kotawaringin Timur, Untung.
Sidang dipimpin dipimpin tujuh damang yang berasal dari Kabupaten Kotawaringin Timur, Katingan, Serutan dan Kota Palangka Raya. Pokok perkara yang digugat adalah terkait putusan adat Kedamangan Cempaga Hulu pada 8 Desember 2021 yang terkait penguasaan lahan kebun sawit tersebut oleh Acen.
Sidang adat ini tidak dihadiri Acen selalu tergugat. Melalui suratnya yang dibacakan dalam sidang itu, Acen yang beralamat di Jalan Jenderal Sudirman Sampit, tidak bisa menghadiri sidang adat tersebut karena di waktu yang sama sedang menghadiri undangan Mabes Polri terkait aduan yang dibuatnya.
Dia juga meminta kepada majelis hakim Kerapatan Mantir Basara Hai DAD Kotawaringin Timur menjelaskan bahwa dia yang membeli langsung lahan kelompok tani tanggal 17 September 2007 dan didaftarkan di notaris.
Baca juga: Bupati Kotim serahkan bantuan perbaikan darurat dua jembatan
Dia mengaku sejak awal saya yang mengelola lahan itu yang ditanami kelapa sawit, mulai pembersihan lahan, merawat hingga menghasilkan buah.
Dia menegaskan bahwa dirinya bukan manajer kebun dan kebun itu bukan perkebunan keluarga seperti yang disebutkan dalam surat panggilan, melainkan dirinyalah pemilik kebun yang disengketakan dalam sidang adat ini. Juga berdasarkan keputusan sidang adat Cempaga Hulu bahwa dirinya disebutkan sebagai pemilik yang sah.
Sementara itu dalam sidang yang sempat diskors selama dua jam itu, Kerapatan Mantir Basara Hai memutuskan akan melakukan pemanggilan kedua terhadap Acen selaku tergugat.
Majelis Basara Hai juga memutuskan menghentikan sementara aktivitas para pihak, baik penggugat maupun tergugat sementara waktu penyelesaian sengketa adat sedang berlangsung.
Majelis Basara Hai juga memutuskan menggugurkan hasil keputusan sidang adat (Damang Cempaga Hulu) nomor : 03/HKMPAD-KCH/PTS/XII/2021, tanggal 8 Desember 2021. Selanjutnya, majelis menyerahkan pengawasan objek sengketa kepada BATAMAD Kotawaringin Timur.
Majelis Mantir Basara Hai memberikan kesempatan kepada tergugat untuk melakukan sanggahan atau bantahan pada sidang kedua yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada 29 Agustus 2022 mendatang.
Baca juga: DPRD Kotim berharap Kemenhub prioritaskan pengembangan bandara Sampit
"Keputusan adat ini bersifat kolektif kolegial, serta final dan mengikat. Kami menyerahkan kepada pihak Batamad Kotim melalui DAD Kotim, untuk melaksanakan keputusan ini," kata Kardinal.
Sementara itu, pihak penggugat mengaku puas dengan keputusan yang dikeluarkan majelis hakim adat ini. Mereka merasa juga memiliki hak atas lahan kebun sawit yang saat ini disengketakan tersebut.
"Saya atas nama kolega yang menjadi penggugat tentunya berterima kasih dengan pihak majelis hakim yang telah mengeluarkan keputusan ini. Bagi kami ini adalah sebuah keputusan yang adil," ucap Wahyu Deany, mewakili tiga rekannya yang menjadi penggugat.
Menurut Wahyu, lahan tersebut merupakan investasi dirinya dan tiga orang kawannya. Namun kini justru dikuasai sepenuhnya oleh tergugat yang mengelolanya sendiri, tanpa melibatkan mereka, termasuk tidak pernah membagi hasil dari kebun sawit tersebut.
"Saya ini adalah mantan pejabat, mantan Kapolda Sumatera Barat. Masa di hari tua saya yang sudah purna tugas tega berbuat yang tidak baik. Kami hadir disini karena menuntut hak kami," kata Wahyu.
Wahyu dan rekan-rekannya memilih penyelesaian ini melalui jalur adat karena sebelumnya pihak tergugat telah membawa persoalan ini melalui lembaga adat. Pihaknya sangat menghargai adat di daerah ini, sehingga meminta penyelesaian masalah ini juga melalui jalur adat.
Baca juga: Legislator Kotim minta perusakan aset daerah diusut tuntas
Baca juga: Pemkab Kotim tingkatkan koordinasi tekan inflasi
Baca juga: Minta subsidi solar dicabut, ALFI Kalteng siap kerahkan ratusan truk
"Kami berupaya memberikan keputusan yang seadil-adilnya, karena itu kami berikan kesempatan kedua kepada pihak tergugat untuk hadir memberikan sanggahan atau bantahan terhadap gugatan dari pihak penggugat," kata Juru Bicara Kerapatan Mantir Basara Hai atau Majelis Hakim Sidang Adat, Kardinal Tarung di Sampit, Sabtu.
Sidang adat terkait sengketa lahan kebun sawit seluas 620,28 hektare itu diajukan oleh Alpin Laurence, Wahju Daeny, Candra Salim dan Soejatmiko Lieputra selaku penggugat. Sedangkan pihak tergugat adalah Hok Kim alias Acen Suwartono.
Sidang digelar di aula lantai dua kantor DAD Kotawaringin Timur. Turut hadir Ketua Harian DAD Kotawaringin Timur, Untung.
Sidang dipimpin dipimpin tujuh damang yang berasal dari Kabupaten Kotawaringin Timur, Katingan, Serutan dan Kota Palangka Raya. Pokok perkara yang digugat adalah terkait putusan adat Kedamangan Cempaga Hulu pada 8 Desember 2021 yang terkait penguasaan lahan kebun sawit tersebut oleh Acen.
Sidang adat ini tidak dihadiri Acen selalu tergugat. Melalui suratnya yang dibacakan dalam sidang itu, Acen yang beralamat di Jalan Jenderal Sudirman Sampit, tidak bisa menghadiri sidang adat tersebut karena di waktu yang sama sedang menghadiri undangan Mabes Polri terkait aduan yang dibuatnya.
Dia juga meminta kepada majelis hakim Kerapatan Mantir Basara Hai DAD Kotawaringin Timur menjelaskan bahwa dia yang membeli langsung lahan kelompok tani tanggal 17 September 2007 dan didaftarkan di notaris.
Baca juga: Bupati Kotim serahkan bantuan perbaikan darurat dua jembatan
Dia mengaku sejak awal saya yang mengelola lahan itu yang ditanami kelapa sawit, mulai pembersihan lahan, merawat hingga menghasilkan buah.
Dia menegaskan bahwa dirinya bukan manajer kebun dan kebun itu bukan perkebunan keluarga seperti yang disebutkan dalam surat panggilan, melainkan dirinyalah pemilik kebun yang disengketakan dalam sidang adat ini. Juga berdasarkan keputusan sidang adat Cempaga Hulu bahwa dirinya disebutkan sebagai pemilik yang sah.
Sementara itu dalam sidang yang sempat diskors selama dua jam itu, Kerapatan Mantir Basara Hai memutuskan akan melakukan pemanggilan kedua terhadap Acen selaku tergugat.
Majelis Basara Hai juga memutuskan menghentikan sementara aktivitas para pihak, baik penggugat maupun tergugat sementara waktu penyelesaian sengketa adat sedang berlangsung.
Majelis Basara Hai juga memutuskan menggugurkan hasil keputusan sidang adat (Damang Cempaga Hulu) nomor : 03/HKMPAD-KCH/PTS/XII/2021, tanggal 8 Desember 2021. Selanjutnya, majelis menyerahkan pengawasan objek sengketa kepada BATAMAD Kotawaringin Timur.
Majelis Mantir Basara Hai memberikan kesempatan kepada tergugat untuk melakukan sanggahan atau bantahan pada sidang kedua yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada 29 Agustus 2022 mendatang.
Baca juga: DPRD Kotim berharap Kemenhub prioritaskan pengembangan bandara Sampit
"Keputusan adat ini bersifat kolektif kolegial, serta final dan mengikat. Kami menyerahkan kepada pihak Batamad Kotim melalui DAD Kotim, untuk melaksanakan keputusan ini," kata Kardinal.
Sementara itu, pihak penggugat mengaku puas dengan keputusan yang dikeluarkan majelis hakim adat ini. Mereka merasa juga memiliki hak atas lahan kebun sawit yang saat ini disengketakan tersebut.
"Saya atas nama kolega yang menjadi penggugat tentunya berterima kasih dengan pihak majelis hakim yang telah mengeluarkan keputusan ini. Bagi kami ini adalah sebuah keputusan yang adil," ucap Wahyu Deany, mewakili tiga rekannya yang menjadi penggugat.
Menurut Wahyu, lahan tersebut merupakan investasi dirinya dan tiga orang kawannya. Namun kini justru dikuasai sepenuhnya oleh tergugat yang mengelolanya sendiri, tanpa melibatkan mereka, termasuk tidak pernah membagi hasil dari kebun sawit tersebut.
"Saya ini adalah mantan pejabat, mantan Kapolda Sumatera Barat. Masa di hari tua saya yang sudah purna tugas tega berbuat yang tidak baik. Kami hadir disini karena menuntut hak kami," kata Wahyu.
Wahyu dan rekan-rekannya memilih penyelesaian ini melalui jalur adat karena sebelumnya pihak tergugat telah membawa persoalan ini melalui lembaga adat. Pihaknya sangat menghargai adat di daerah ini, sehingga meminta penyelesaian masalah ini juga melalui jalur adat.
Baca juga: Legislator Kotim minta perusakan aset daerah diusut tuntas
Baca juga: Pemkab Kotim tingkatkan koordinasi tekan inflasi
Baca juga: Minta subsidi solar dicabut, ALFI Kalteng siap kerahkan ratusan truk