Jakarta (ANTARA) - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI menyita barang bukti kejahatan berupa produk kosmetik ilegal bernilai investasi Rp7,7 miliar di kawasan pergudangan Elang Laut, Jakarta Utara.

"Gudang ini adalah fasilitas produksi besar, sampai Rp7,7 miliar. Ada bahan baku, pengemasan, produk perantara, bahan baku, dan produk jadi yang tidak didaftarkan ke BPOM untuk keperluan massal," kata Kepala BPOM RI Penny K Lukito saat memimpin konferensi pers di Tempat Kejadian Perkara (TKP) Jakarta Utara, Kamis.

Gudang yang beralamat di Sentra Industri 1 dan 2 Blok I1/28, RT 02/ RW 03, Jakarta Utara, menyimpan barang bukti berupa bahan baku obat, produk jadi, kemasan kosmetik ilegal, produk perantara, bahan kemas, bahan kimia, alat produksi hingga timbangan.

Gudang berlantai tiga yang berdiri pada luas lahan sekitar 450 meter persegi itu juga dilengkapi fasilitas laboratorium penelitian dan pengembangan produk di lantai teratas. Pada lantai dua tersimpan penyimpanan bahan baku dan alat produksi. Kepala BPOM RI Penny K Lukito saat meninjau barang bukti di gudang di produksi kosmetik ilegal di kawasan pergudangan Elang Laut, Jakarta Utara, Kamis (16/3/2023). (FOTO ANTARA/Andi Firdaus)

Lantai dasar gudang memiliki luas ruangan yang cukup untuk memarkir hingga tiga unit mobil boks untuk keperluan distribusi.

Secara rinci, barang bukti yang disita antara lain, bahan kimia obat seperti Hidroquinon, Asam Retinoat, Deksametason, Mometason Furoat, Asam Salisilat, Fluocinolone, Metronidazol, Ketokonazol, Betametason, dan Asam Traneksamat senilai Rp4,3 miliar.

BPOM juga menyita bahan kemas berupa pot dan botol kosong untuk produk kosmetika senilai Rp164 juta, produk perantara berupa lotion senilai Rp1,2 miliar, produk jadi berupa lotion malam dan berbagai macam krim tanpa merek senilai Rp1,4 miliar.

Selain itu, juga diamankan beberapa alat produksi berupa mesin mixing, mesin filling, mesin coding, mesin packaging, timbangan, dan alat produksi lainnya senilai Rp451 juta. Kendaraan minibus senilai Rp198 juta, serta alat elektronik berupa handphone, laptop, CPU, dan flashdisk senilai Rp31 juta juga turut disita dari lokasi.

BPOM melalui tim penyidik Bareskrim Polri masih melakukan pemeriksaan terhadap sembilan saksi karyawan dan seorang ahli terkait temuan itu. Hasil pemeriksaan, satu orang diduga pelaku berinisial SJT yang merupakan pemilik usaha.

Menurut Penny, praktik produksi itu diduga sudah dilakukan pelaku sejak 2020 di lokasi lain, yaitu di daerah Jakarta Barat. Sedangkan kegiatan produksi di Elang Laut, Jakarta Utara, diduga dilakukan sejak September 2022.

"Peredaran kosmetik ilegal ini cukup luas, mulai di Pulau Jawa, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali di Denpasar, dan sebagian wilayah Sumatra seperti Sumatra Selatan, Sumatra Utara, dan Lampung," katanya.

Ia mengatakan, produk tersebut sangat berbahaya, sebab tidak memenuhi standar persyaratan keamanan, kemanfaatan, dan mutu. Selain itu, BPOM juga memastikan sarana produksi yang digunakan tidak menerapkan Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik (CPKB), terutama aspek higienis sanitasi sarana yang sangat kurang.

Terhadap tersangka, kini dijerat dengan Pasal 197 Jo. Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagaimana diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

"Mereka yang terlibat juga dijerat dengan Pasal 196 Jo. Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) Undang–Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Tindak kejahatan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar," katanya.

Pasal lainnya yang juga diterapkan adalah Pasal 62 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tindak kejahatan itu diancam dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar, demikian Penny K Lukito.
Selain itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengumumkan bahwa obat sirup Praxion aman dikonsumsi berdasarkan serangkaian pengujian yang telah dilakukan menggunakan tujuh sampel dengan hasil memenuhi syarat. 

"Dari hasil pengujian tujuh sampel tersebut, hasilnya adalah memenuhi syarat. Artinya memenuhi ketentuan dan standar di farmakope Indonesia," kata Plt. Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif BPOM Togi Junice Hutadjulu di Jakarta, Rabu.

Togi menjelaskan, tujuh sampel yang diuji merupakan sampel sirup obat dan bahan baku, yang terdiri atas sampel sirop obat sisa pasien, sirop yang beredar di pasaran, sampel di tempat produksi dengan batch sama, sampel sirop dengan batch yang berdekatan dengan sirop obat pasien. 

Kemudian sampel bahan baku sorbitol, dan dua produk sirop lain yang menggunakan bahan baku dengan nomor batch sama.

Ia menegaskan, pengujian sampel di laboratorium Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPPOMN) BPOM telah memenuhi standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) sehingga dapat dipastikan akurasinya.

Adapun pengujian dilakukan pada 2 dan 3 Februari 2023.

"Hasil pengujian dapat diyakini validitasnya untuk mendukung hasil pengawasan BPOM," ujarnya.

Lebih lanjut ia menyampaikan, BPOM telah memerintahkan untuk penghentian sementara produksi dan distribusi obat yang dikonsumsi pasien yang terkonfirmasi meninggal dunia akibat mengalami Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) pada 4 Februari 2023.

Berdasarkan informasi yang ANTARA terima, satu kasus tersebut merupakan balita yang meninggal usai mengkonsumsi obat sirop merek Praxion di DKI Jakarta.

"Dalam rangka kehati-hatian dan langkah antisipasi, BPOM telah mengeluarkan perintah penghentian sementara produksi dan distribusi terhadap obat yang dikonsumsi pasien," katanya.

Togi menambahkan, BPOM terus berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait seperti Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Laboratorium Kesehatan Daerah DKI Jakarta, Ikatan Dokter Anak Indonesia, ahli epidemiologi dan farmakologi guna melakukan investigasi penyebab kematian balita tersebut.

BPOM juga mengimbau agar masyarakat waspada dan terus berhati-hati untuk membeli serta mengonsumsi obat-obatan.

"Langkah ini diambil untuk memastikan penyebab dan faktor risiko penyebab GGAPA tersebut," ujar Togi Junice mengakhiri penjelasannya. 

BPOM izinkan peredaran obat antibodi monoklonal produksi dalam negeri

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada Senin menerbitkan izin edar produk obat antibodi monoklonal dengan merek dagang Rituxikal yang diproduksi secara dalam negeri oleh PT Kalbio Global Media, anak usaha dari PT Kalbe Farma.

“Ini suatu kebanggaan dan kebahagiaan juga kami bisa menyampaikan izin edar dari obat biologi monoklonal antibodi produksi lokal pertama Rituxikal untuk kanker limfoma,” kata Kepala BPOM Penny K. Lukito saat konferensi pers di pabrik PT Kalbe Farma, Cikarang, Senin.

“Ini suatu hal yang penting karena ini adalah obat monoklonal antibodi produksi dalam negeri yang pertama untuk limfoma,” sambung Penny.

Rituxikal merupakan produk biosimilar dengan kandungan zat aktif rituximab dalam sediaan larutan konsentrat yang diberikan secara intravena. Rituximab merupakan antibodi monoklonal yang mengikat antigen transmembran CD20 pada limfosit sel B yang dihasilkan oleh sel kanker secara spesifik, sehingga menimbulkan reaksi imunologi yang memicu sel kanker lisis (pecah). Obat ini digunakan untuk pengobatan kanker limfoma non-hodgkin (NHL) dan leukemia limfositik kronik.

Lebih lanjut, Penny menjelaskan bahwa izin edar Rituxikal didasarkan pada hasil uji komparabilitas berupa mutu, non-klinik, dan klinik. Uji tersebut membandingkan Rituxikal dengan rituximab inovator dengan nama dagang Mabthera.

Melalui serangkaian uji tersebut, BPOM memastikan produk Rituxikal mengandung rituximab dengan karakteristik yang serupa dengan Mabthera. Penny juga mengatakan pihaknya terlibat dalam pendampingan untuk memastikan obat tersebut memenuhi aspek keamanan, mutu, dan khasiat.

"Ada proses uji klinik yang membandingkan antara produk yang diproduksi di sini obat yang sama rituximab Retuxikal itu sebanding compatibility-nya," kata Penny.

Sebagai informasi, Rituxikal awalnya terdaftar di BPOM atas nama PT Kalbe Farma sebagai obat impor produksi perusahaan biotech asal Argentina, yaitu Sinergium Biotech S.A., yang dirilis oleh mAbxience S.A.U. Selanjutnya, PT Kalbio Global Medika menerima transfer teknologi dari kedua perusahaan biotech tersebut untuk membuat Rituxikal di Indonesia.
 

Pewarta : Andi Firdaus
Uploader : Ronny
Copyright © ANTARA 2024