Jakarta (ANTARA) - Pakar epidemiologi lulusan Universitas Indonesia dr Siti Nadia Tarmizi, M.Epid menyarankan masyarakat tak mengunjungi negara terjangkit penyakit Marburg sebagai upaya melindungi dari penyakit dengan gejala mirip malaria itu.
Nadia yang menjabat sebagai Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan melalui pesan elektroniknya kepada ANTARA, Senin juga menyarankan masyarakat tak mengunjungi orang sakit di daerah terjangkit.
Menurut dia, hingga saat ini Indonesia belum melaporkan kasus penyakit Marburg yang berasal dari Guinea Ekuatorial itu. Namun, pemerintah tetap meminta masyarakat untuk waspada. Selain tidak mengunjungi negara terjangkit, Nadia mengingatkan pentingnya membiasakan mencuci tangan dan tidak makan makanan setengah matang.
"Setelah pulang (dari luar negeri) kalau ada gejala segera ke fasilitas kesehatan," kata Nadia yang pernah menjabat sebagai Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan itu.
Penyakit akibat virus Marburg (filovirus) yang masih satu family dengan Virus Ebola itu ditularkan melalui kontak langsung dengan orang ataupun hewan yang terinfeksi atau melalui benda yang terkontaminasi oleh Virus Marburg.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 13 Maret lalu menerima laporan kasus penyakit Marburg dari Guinea Ekuatorial. Mereka mencatat terdapat sembilan kematian dan 16 kasus suspek yang dilaporkan di Provinsi Kie Ntem. Gejala yang dialami pasien berupa demam, kelelahan, muntah berdarah dan diare. Kementerian Kesehatan menyatakan gejala ini mirip dengan penyakit lain seperti malaria, tifus dan demam berdarah sehingga menyebabkan penyakit Marburg sulit diidentifikasi.
Gejala penyakit virus Marburg dapat muncul secara tiba-tiba, dengan demam tinggi, sakit kepala parah, malaise parah, dan nyeri otot. Pada hari ketiga, seseorang dapat mengalami diare berair yang parah, nyeri perut, kram, mual dan muntah dengan diare yang dapat bertahan selama seminggu.
Selain itu, pada fase ini seseorang dapat terlihat memiliki mata cekung. Pada dua hingga tujuh hari setelah awal gejala, ruam yang tidak gatal dapat timbul.
Gejala berat berupa perdarahan dapat terjadi pada hari kelima hingga ketujuh, dan pada kasus fatal perdarahan terjadi di beberapa area. Perdarahan dapat terjadi di hidung, gusi, dan vagina serta dapat keluar melalui muntah dan pada feses.
Selama fase penyakit yang berat, pasien mengalami demam tinggi, dan gangguan pada sistem saraf pusat sehingga dapat mengalami kebingungan dan mudah marah. Orkitis (radang testis) telah dilaporkan kadang-kadang pada fase akhir penyakit (15 hari).
Dalam kasus yang fatal, kematian paling sering terjadi antara delapan dan sembilan hari setelah timbulnya gejala, biasanya didahului oleh kehilangan darah yang parah dan syok.
Saat ini belum ada vaksin yang tersedia untuk virus Marburg. Pengobatan yang bisa dilakukan bersifat simtomatik dan suportif yakni mengobati komplikasi dan menjaga keseimbangan cairan serta elektrolit.
Nadia yang menjabat sebagai Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan melalui pesan elektroniknya kepada ANTARA, Senin juga menyarankan masyarakat tak mengunjungi orang sakit di daerah terjangkit.
Menurut dia, hingga saat ini Indonesia belum melaporkan kasus penyakit Marburg yang berasal dari Guinea Ekuatorial itu. Namun, pemerintah tetap meminta masyarakat untuk waspada. Selain tidak mengunjungi negara terjangkit, Nadia mengingatkan pentingnya membiasakan mencuci tangan dan tidak makan makanan setengah matang.
"Setelah pulang (dari luar negeri) kalau ada gejala segera ke fasilitas kesehatan," kata Nadia yang pernah menjabat sebagai Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan itu.
Penyakit akibat virus Marburg (filovirus) yang masih satu family dengan Virus Ebola itu ditularkan melalui kontak langsung dengan orang ataupun hewan yang terinfeksi atau melalui benda yang terkontaminasi oleh Virus Marburg.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 13 Maret lalu menerima laporan kasus penyakit Marburg dari Guinea Ekuatorial. Mereka mencatat terdapat sembilan kematian dan 16 kasus suspek yang dilaporkan di Provinsi Kie Ntem. Gejala yang dialami pasien berupa demam, kelelahan, muntah berdarah dan diare. Kementerian Kesehatan menyatakan gejala ini mirip dengan penyakit lain seperti malaria, tifus dan demam berdarah sehingga menyebabkan penyakit Marburg sulit diidentifikasi.
Gejala penyakit virus Marburg dapat muncul secara tiba-tiba, dengan demam tinggi, sakit kepala parah, malaise parah, dan nyeri otot. Pada hari ketiga, seseorang dapat mengalami diare berair yang parah, nyeri perut, kram, mual dan muntah dengan diare yang dapat bertahan selama seminggu.
Selain itu, pada fase ini seseorang dapat terlihat memiliki mata cekung. Pada dua hingga tujuh hari setelah awal gejala, ruam yang tidak gatal dapat timbul.
Gejala berat berupa perdarahan dapat terjadi pada hari kelima hingga ketujuh, dan pada kasus fatal perdarahan terjadi di beberapa area. Perdarahan dapat terjadi di hidung, gusi, dan vagina serta dapat keluar melalui muntah dan pada feses.
Selama fase penyakit yang berat, pasien mengalami demam tinggi, dan gangguan pada sistem saraf pusat sehingga dapat mengalami kebingungan dan mudah marah. Orkitis (radang testis) telah dilaporkan kadang-kadang pada fase akhir penyakit (15 hari).
Dalam kasus yang fatal, kematian paling sering terjadi antara delapan dan sembilan hari setelah timbulnya gejala, biasanya didahului oleh kehilangan darah yang parah dan syok.
Saat ini belum ada vaksin yang tersedia untuk virus Marburg. Pengobatan yang bisa dilakukan bersifat simtomatik dan suportif yakni mengobati komplikasi dan menjaga keseimbangan cairan serta elektrolit.