Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis saraf di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo dr. Winnugroho Wiratman, Sp.S, Ph.D., menjelaskan kegunaan terapi transcranial magnetic stimulation (TMS) yang dapat membantu untuk mengurangi perilaku kecanduan.
"TMS, ia adalah teknik suatu teknik neurofisiologi yang sifatnya non-invasive (tanpa memasukkan alat yang dapat merusak kulit) yang memberikan stimulasi magnetik ke dalam otak. Tujuannya untuk mempengaruhi aktivitas bagian otak tersebut. Ini dapat digunakan untuk menangani gangguan-gangguan neurologis maupun psikiatri," kata Winnugroho dalam sebuah diskusi daring yang diikuti dari Jakarta, Minggu.
Terapi TMS, kata Winnugroho menerangkan, sudah diterapkan sejak era 1980-an untuk menangani pasien penderita depresi. Seiring perkembangan teknologi dan teknik terapi kesehatan mental, terapi TMS juga dimanfaatkan untuk mendukung terapi adiksi perilaku.
Baca juga: Dokter Jiwa: Kecanduan judi "online" dapat menurun secara genetik
Winnugroho menyebutkan meskipun dapat mengurangi adiksi, terapi TMS bersifat penanganan tambahan sehingga tetap membutuhkan metode terapi lainnya agar mendapatkan hasil yang lebih efektif seperti konseling, terapi perilaku, terapi kelompok, hingga dukungan keluarga dan lingkungan.
"Terdapat perbaikan kritis gejala kecanduan akibat perilaku dengan menggunakan TMS secara berulang dan ditambah juga dengan pengendalian dan terapi-terapi tambahan lainnya. Jadi, sifatnya suatu additional (tambahan) dari terapi," ujar dia.
Terapi itu dilakukan dengan memberikan stimulasi magnetik ke prefrontal cortex atau bagian depan otak yang berfungsi mengendalikan respon dan menghambat perilaku impulsif sehingga dapat bekerja lebih aktifPenderita adiksi memiliki gangguan fungsi pada prefrontal cortexsehingga kecanduan yang dialaminya sulit dihentikan.
Terapi adiksi menggunakan TMS aman bagi pasien dan menunjukkan hasil yang baik ketika dilakukan secara berulang, kata Winnugroho.
"Hasilnya lebih mudah terukur terus bisa lebih individualis dari dosis berapa kekuatan magnetisnya, terukur juga dalam arti jalur otak mana yang bisa kita stimulasi," kata Winnugroho.
Efek samping dari terapi itu ialah pasien akan merasakan panas, pandangan goyang, mual, mengantuk, mabuk, rasa hangat di kulit kepala, pusing hingga nyeri yang bersifat sementara. Winnugroho menjelaskan efek samping itu berlangsung antara 1-30 menit atau bahkan 1 jam dengan intensitas yang rendah.
"TMS, ia adalah teknik suatu teknik neurofisiologi yang sifatnya non-invasive (tanpa memasukkan alat yang dapat merusak kulit) yang memberikan stimulasi magnetik ke dalam otak. Tujuannya untuk mempengaruhi aktivitas bagian otak tersebut. Ini dapat digunakan untuk menangani gangguan-gangguan neurologis maupun psikiatri," kata Winnugroho dalam sebuah diskusi daring yang diikuti dari Jakarta, Minggu.
Terapi TMS, kata Winnugroho menerangkan, sudah diterapkan sejak era 1980-an untuk menangani pasien penderita depresi. Seiring perkembangan teknologi dan teknik terapi kesehatan mental, terapi TMS juga dimanfaatkan untuk mendukung terapi adiksi perilaku.
Baca juga: Dokter Jiwa: Kecanduan judi "online" dapat menurun secara genetik
Winnugroho menyebutkan meskipun dapat mengurangi adiksi, terapi TMS bersifat penanganan tambahan sehingga tetap membutuhkan metode terapi lainnya agar mendapatkan hasil yang lebih efektif seperti konseling, terapi perilaku, terapi kelompok, hingga dukungan keluarga dan lingkungan.
"Terdapat perbaikan kritis gejala kecanduan akibat perilaku dengan menggunakan TMS secara berulang dan ditambah juga dengan pengendalian dan terapi-terapi tambahan lainnya. Jadi, sifatnya suatu additional (tambahan) dari terapi," ujar dia.
Terapi itu dilakukan dengan memberikan stimulasi magnetik ke prefrontal cortex atau bagian depan otak yang berfungsi mengendalikan respon dan menghambat perilaku impulsif sehingga dapat bekerja lebih aktifPenderita adiksi memiliki gangguan fungsi pada prefrontal cortexsehingga kecanduan yang dialaminya sulit dihentikan.
Terapi adiksi menggunakan TMS aman bagi pasien dan menunjukkan hasil yang baik ketika dilakukan secara berulang, kata Winnugroho.
"Hasilnya lebih mudah terukur terus bisa lebih individualis dari dosis berapa kekuatan magnetisnya, terukur juga dalam arti jalur otak mana yang bisa kita stimulasi," kata Winnugroho.
Efek samping dari terapi itu ialah pasien akan merasakan panas, pandangan goyang, mual, mengantuk, mabuk, rasa hangat di kulit kepala, pusing hingga nyeri yang bersifat sementara. Winnugroho menjelaskan efek samping itu berlangsung antara 1-30 menit atau bahkan 1 jam dengan intensitas yang rendah.