Palangka Raya (ANTARA) - Direktur Pusat Studi dan Advokasi Hukum Sumber Daya Alam (Pustaka Alam) Muhamad Zainal Arifin menilai, negara tidak boleh lagi menggunakan penunjukan administratif sebagai dasar klaim kawasan hutan, termasuk dalam kebijakan penertiban dan penguasaan kembali lahan.
Hal itu setelah adanya keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait dasar hukum penetapan kawasan hutan tidak lagi dapat bertumpu pada SK Penunjukan, kata Zainal melalui keterangan tertulis diterima di Palangka Raya, Senin.
"Jadi, kalau negara ingin melakukan penertiban ataupun penguasaan kembali kawasan hutan, maka harus dibuktikan terlebih dahulu areal itu telah ditata batas dan ditetapkan sebagai kawasan hutan. Itu bentuk penegakan rule of law," tambahnya.
Menurut dirinya, dengan adanya renvoi Putusan MK dan putusan MKMK, dasar penguasaan kembali yang dipakai Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yaitu SK penunjukan kawasan hutan, tidak menimbulkan akibat hukum apa pun. Sebab, yang mengikat hanya kawasan hutan yang sudah ditata batas dan ditetapkan.
"Dengan demikian, penyitaan 3,4 juta hektare yang hanya didasarkan penunjukan kawasan hutan cacat hukum karena objeknya belum dibuktikan sebagai kawasan hutan yang sah," tegasnya.
Zainal mengatakan pemerintah wajib melakukan koreksi total terhadap penyitaan lahan. Di mana seluruh Berita Acara penguasaan kembali yang didasarkan hanya pada kawasan hutan ditunjuk, harus ditinjau ulang.
"Selain itu, hak-hak petani dan perusahaan yang telah memiliki hak atas tanah dan berada di areal yang belum ditetapkan sebagai kawasan hutan, pun harus dipulihkan," ucapnya.
Zainal menjelaskan bahwa ada empat tahapan utama pengukuhan kawasan hutan berdasarkan Pasal 15 UU Kehutanan, yakni penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan. Penunjukan hanyalah identifikasi awal dan tidak punya kekuatan hukum. Tata batas wajib melibatkan masyarakat dan menyelesaikan semua klaim hak. Baru setelah itu, Menteri Kehutanan menerbitkan SK Penetapan.
"Nah, hanya pada tahap penetapan itulah sebuah kawasan bisa dianggap sebagai kawasan hutan secara hukum. Satgas PKH seharusnya bekerja hanya pada areal yang sudah melewati tahap penetapan kawasan hutan," jelasnya.
Baca juga: Gapki gelar Soswit di SMKN 1 Pangkalan Banteng
Dia pun berharap kepada Presiden Prabowo Subianto, agar penertiban kawasan hutan dilakukan dengan kembali ke rule of law. Dunia internasional sedang mengawasi langkah Indonesia, terutama tindakan penertiban kawasan hutan yang menyerupai nasionalisasi aset tanpa dasar hukum yang memadai.
"Sinyal yang keluar ke dunia internasional sangat jelas bahwa iklim investasi sektor kelapa sawit di Indonesia sedang tidak baik-baik saja," paparnya.
Perusahaan yang sudah memiliki hak atas tanah yang diterbitkan oleh negara, tiba-tiba bisa dikuasai kembali oleh negara atas dasar peta penunjukan kawasan hutan. Sebab, hal itu sangat berbahaya bagi iklim investasi.
Presiden Prabowo pun diharapkan dapat memerintahkan evaluasi total terhadap langkah Satgas PKH, diikuti menghentikan praktik penyitaan berbasis peta penunjukan kawasan hutan.
"Terpenting lagi, memastikan semua tindakan negara berbasis pada hukum, bukan kekuasaan," demikian Zainal.
Baca juga: Kesalahan nasionalisasi gula jangan terulang lagi pada industri sawit
Baca juga: Pemda se-Kalteng perkuat sinergi wujudkan perkebunan sawit berkelanjutan
Baca juga: Bupati Barut apresiasi Desa Bukit Sawit raih predikat Desa Antikorupsi 2025