Sampit (ANTARA) - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah mengungkapkan kekecewaannya lantaran salah satu perusahaan besar swasta (PBS) tidak menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) lintas komisi terkait yang telah dijadwalkan membahas masalah pembukaan hutan.
“Berkaitan dengan PBS yang tidak hadir itu memang kami dari DPRD Kotim kecewa, karena kegiatan ini sudah dipersiapkan sedemikian rupa, PBS yang bersangkutan juga sudah kami undang dan undangan itu sudah dipastikan sampai,” kata Wakil Ketua Komisi I DPRD Kotim Eddy Mashamy di Sampit, Senin.
Hal ini ia sampaikan setelah memimpin RDP Komisi I dan II dalam rangka menindaklanjuti maraknya pembukaan hutan yang utuh dan bernilai ekologis tinggi oleh salah satu PBS untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit di wilayah Kecamatan Antang Kalang.
RDP ini melibatkan banyak pihak, antara lain jajaran Komisi I dan II DPRD Kotim, perwakilan masyarakat Kecamatan Antang Kalang, Dinas Kehutanan Kalteng, Dinas Lingkungan Hidup Kotim, Bidang Sumber Daya Alam Setda Kotim, Borneo Orangutan Survival Foundation dan lainnya.
Eddy menjelaskan, RDP ini digelar untuk menindaklanjuti isu yang menjadi sorotan banyak pihak belakangan ini, yakni mengenai isu deforestasi, aktivitas PBS yang membabat lahan hingga masuk ke kawasan hutan, sehingga terkait kerusakan lingkungan.
“Berdasarkan isu yang berkembang di masyarakat, sehingga kami sangat konsen mengangkat hal tersebut, supaya Bumi Habaring Hurung jangan sampai menjadi Sumatera kedua,” ucapnya.
Seperti diketahui, baru-baru ini Sumatera Utara dilanda banjir yang sangat parah hingga menyebabkan banyak kerugian materil hingga menelan korban jiwa. RDP ini pun, menurutnya sebagai langkah antisipatif dari pihak legislatif dan eksekutif guna mencegah hal serupa terjadi Kotim.
Namun, sayangnya RDP tidak berjalan sesuai harapan lantaran pihak inti yang seharusnya hadir justru tak tampak, bahkan tidak mengirimkan perwakilan sama sekali. Kendati begitu, Eddy menyatakan bahwa pihaknya tidak serta merta menghakimi pihak perusahaan tersebut.
“Kami berusaha menyikapi situasi ini dengan bijak dan tak langsung menghukum, karena tadi ternyata ada beberapa alasan dari PBS tidak bisa hadir, jadi walaupun peserta RDP lainnya juga kecewa, tetapi alhamdulillah mereka masih menerima alasan tersebut,” ujarnya.
Alasan ketidakhadiran yang disampaikan PBS di antaranya karena perusahaan sedang mempersiapkan evaluasi akhir tahun 2025 dan perencanaan untuk 2026, serta persiapan menyambut Natal 2025.
Ketidakhadiran pihak PBS ini pun mendorong DPRD Kotim untuk menjadwalkan RDP kedua. DPRD Kotim, khususnya Komisi I akan segera berkoordinasi dengan perusahaan untuk menentukan waktu yang tepat.
Eddy Mashamy menekankan agar pada RDP berikutnya, perusahaan harus mengirimkan perwakilan yang memiliki kompetensi untuk memberikan jawaban dan keputusan.
"Kami berharap untuk jadwal RDP berikutnya harus yang mempunyai kompetensi sehingga bisa memberikan jawaban atau keputusan, jadi bukan hanya staf biasa atau pada akhirnya sekadar menjawab 'kami akan sampaikan ke pimpinan', kami tidak mau yang seperti itu," tegasnya.
Baca juga: DLH Kotim turunkan tim telusuri dugaan pencemaran udara
RDP yang tetap berjalan tanpa kehadiran PBS menghasilkan dua poin kesimpulan. Pertama, DPRD akan memperhatikan dan menjadikan data yang disampaikan oleh instansi terkait, seperti Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng dan Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), sebagai bahan untuk RDP berikutnya.
Kedua, DPRD Kotim meminta eksekutif dan instansi terkait untuk turun ke lapangan selama jeda waktu untuk memantau perubahan lingkungan akibat pembukaan lahan tersebut.
“Kami berharap sebelum rusak parah terjadi kita bisa bertindak lebih cepat untuk menangani kerusakan lingkungan, sekali lagi kalau memang terjadi kerusakan lingkungan,” ujarnya.
Eddy menambahkan, kesempatan menjadwalkan ulang RDP ini hanya berlaku maksimal tiga kali, apabila kesempatan itu habis dan pihak PBS masih tidak kooperatif, maka DPRD akan menggunakan kekuatan eksekutif agar dilakukan tindakan sesuai aturan yang berlaku, seperti pencabutan izin.
“Kalau DPRD Kotim saja yang mengambil keputusan itu tidak boleh tetapi harus melibatkan pihak eksekutif,” pungkasnya.
Sementara itu, perwakilan warga Antang Kalang, Hardi P Hady mengaku sudah menduga ketidakhadiran pihak perusahaan.
“Kami sebenarnya sudah menduga dan ini sangat mengecewakan kami. Saya yakin yang selanjutnya pun tidak akan mungkin mereka hadir orang-orang yang bisa memberi keputusan seperti direktur dan lainnya,” kata Hardi.
Ia pun mengutarakan kekecewaan masyarakat terhadap PBS yang dimaksud. Tidak hanya PBS tersebut hampir tidak pernah memenuhi tanggung jawabnya kepada masyarakat, seperti plasma.
Selain itu, pihaknya menilai dampak terhadap lingkungan semakin terasa akibat aktivitas PBS tersebut.
“Sekarang saja musim hujan langsung kelihatan meluap air, kalau dulu banjir itu paling-paling terjadi 10 tahun sekali, sekarang malah dalam satu tahun saja bisa beberapa kali terjadi banjir,” keluhnya.
Mewakili masyarakat, Hardi pun meminta agar izin PBS tersebut segera dicabut. Ia menyebut bahwa izin konsesi perusahaan induk PBS ini sempat dicabut oleh Kementerian Kehutanan pada tahun 2022, namun belakangan muncul lagi.
Ia juga menyoroti pemanfaatan celah perizinan oleh perusahaan terkait program Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) yang seharusnya diprioritaskan untuk masyarakat.
“Intinya kalau kami masyarakat untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan kedepannya. PBS ini harus dicabut, karena perusahaan induknya pun tidak pernah menunaikan kewajibannya, seperti plasma dan lainnya,” demikian Hardi.
Baca juga: Disdukcapil Kotim kejar capaian IKD lewat layanan mobil keliling
Baca juga: Banjir rob turut rendam ruas jalan Sampit-Kuala Pembuang
Baca juga: Bupati Kotim sebut DPPI ujung tombak pembinaan ideologi Pancasila