Pemulihan bisnis penerbangan akibat COVID-19 diprediksi berakhir 2022
Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra mengatakan prediksi para analis, yang menilai pemulihan bisnis penerbangan akibat COVID-19 baru terjadi pada akhir 2022 menjadi tantangan paling besar bagi maskapai pelat merah tersebut.
"Para analis industri penerbangan tampaknya sepakat bahwa pemulihannya hanya akan kembali pada akhir 2022. Jadi, kita mesti berhadapan dengan dua setengah tahun lagi untuk situasinya membalik seperti sebelum COVID-19. Ini tantangan yang paling besar," ujarnya dalam diskusi daring Indonesia Brand Forum 2020 di Jakarta, Rabu.
Irfan mengatakan terkait hal itu, pihaknya perlu melakukan penyesuaian dan bagaimana Garuda mempercepat proses pemulihannya.
"Bagaimana proses pemulihan kita percepat, karena saya pikir tidak ada satu pun maskapai udara di dunia ini yang mampu melihat dan bertahan dengan kondisi ini dan harus menunggu sampai dua tahun ke depan," katanya.
Menurut dia, begitu banyak maskapai yang menyatakan kebangkrutannya, karena itu merupakan pilihan yang sangat masuk akal pada hari ini.
"Boleh dikatakan dua sampai tiga pekan terakhir ini mulai ada pergerakan cukup positif, tapi masih jauh ke arah kondisi sebelum pandemi COVID-19," kata Irfan.
Sebelumnya, Irfan mengatakan maskapai yang tengah dipimpinnya itu harus tetap terbang meski dalam keadaan "perang" yang berarti perusahaan harus tetap bertahan dan melayani angkutan udara bagaimanapun kondisinya.
Pernyataan tersebut menyusul kondisi sulit yang dialami maskapai pelat merah itu akibat pandemi COVID-19.
Ia menyebutkan pendapatan yang diraih hanya 10 persen artinya selama pandemi ini sudah anjlok 90 persen dan 70 persen pesawat dikandangkan atau tidak terbang.
Namun, pihaknya tidak menjadikan kondisi sulit tersebut sebagai alasan wajar jika perusahaan merugi.
"Para analis industri penerbangan tampaknya sepakat bahwa pemulihannya hanya akan kembali pada akhir 2022. Jadi, kita mesti berhadapan dengan dua setengah tahun lagi untuk situasinya membalik seperti sebelum COVID-19. Ini tantangan yang paling besar," ujarnya dalam diskusi daring Indonesia Brand Forum 2020 di Jakarta, Rabu.
Irfan mengatakan terkait hal itu, pihaknya perlu melakukan penyesuaian dan bagaimana Garuda mempercepat proses pemulihannya.
"Bagaimana proses pemulihan kita percepat, karena saya pikir tidak ada satu pun maskapai udara di dunia ini yang mampu melihat dan bertahan dengan kondisi ini dan harus menunggu sampai dua tahun ke depan," katanya.
Menurut dia, begitu banyak maskapai yang menyatakan kebangkrutannya, karena itu merupakan pilihan yang sangat masuk akal pada hari ini.
"Boleh dikatakan dua sampai tiga pekan terakhir ini mulai ada pergerakan cukup positif, tapi masih jauh ke arah kondisi sebelum pandemi COVID-19," kata Irfan.
Sebelumnya, Irfan mengatakan maskapai yang tengah dipimpinnya itu harus tetap terbang meski dalam keadaan "perang" yang berarti perusahaan harus tetap bertahan dan melayani angkutan udara bagaimanapun kondisinya.
Pernyataan tersebut menyusul kondisi sulit yang dialami maskapai pelat merah itu akibat pandemi COVID-19.
Ia menyebutkan pendapatan yang diraih hanya 10 persen artinya selama pandemi ini sudah anjlok 90 persen dan 70 persen pesawat dikandangkan atau tidak terbang.
Namun, pihaknya tidak menjadikan kondisi sulit tersebut sebagai alasan wajar jika perusahaan merugi.