Wakil Ketua MPR dukung PP kebiri bagi predator anak

id Nur Wahid,PP kebiri ,Wakil Ketua MPR,predator anak

Wakil Ketua MPR dukung PP kebiri bagi predator anak

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (kanan) menjadi pembicara dalam diskusi Peran Santri Dalam Menjaga Kedaulatan NKRI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/10/2019). Diskusi dengan pimpinan pondok pesantren tersebut dalam rangka memperingati Hari Santri serta mensyukuri lahirnya undang-undang pesantren. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/hp.

Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Hidayat Nur Wahid mengapresiasi dan mendukung terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 yang mengatur tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia untuk pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Nur Wahid mengatakan PP itu harus dikawal dan dilaksanakan secara maksimal agar menguatkan perlindungan terhadap anak.

"Agar kuatkan perlindungan kepada anak, PP pengebirian predator anak harus dilaksanakan maksimal," ujar Nur Wahid dalam pernyataan di Jakarta, Selasa.

Anggota Komisi VIII DPR RI itu menilai PP 70/2020 bisa menjadi wujud keseriusan pemerintah dalam menangani kasus kejahatan seksual terhadap anak, bila dilaksanakan secara baik dan benar.

Termasuk juga ketentuan-ketentuan dalam PP itu pun harus bisa terlaksana seperti apa adanya, seperti ketentuan pada pasal 2 mengenai alat pendeteksi elektronik berupa gelang, yang dipakaikan kepada eks-narapidana pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

"Alat itu harus benar-benar dipastikan dapat memantau gerak gerik para mantan napi predator anak, agar kejahatan terhadap Anak tidak berulang dan berlanjut," kata Nur Wahid.

Dia juga mendorong agar pemerintah membuka data mantan napi predator seksual anak agar bisa diakses publik.

Sehingga publik bisa melakukan tindakan-tindakan preventif untuk melindungi dan menyelamatkan anak-anak mereka dari kejahatan para pelaku kekerasan seksual terhadap anak tersebut.

Nur Wahid mendorong Pemerintah, melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), untuk menciptakan terobosan terkait pelaksanaan PP 70/2020 tersebut.

Misalnya, dengan membuat situs web yang berisi informasi terkait para eks-napi kekerasan seksual terhadap anak beserta tempat tinggalnya, agar membuat masyarakat waspada, agar anak-anak bisa semakin dilindungi, dan potensi terulangnya kejahatan dapat dikurangi.

“Dalam Pasal 21 ayat (1) PP tersebut, ada ketentuan tentang pengumuman identitas pelaku kejahatan seksual, di antaranya, melalui website Kejaksaan, selama satu bulan kalender. Namun, seharusnya pengumuman itu juga dilakukan oleh Kementerian PPPA dengan mencantumkan dimana para eks-napi tersebut tinggal, terutama mereka yang diharuskan menggunakan gelang elektronik,” ujarnya.

HNW, sapaan akrab Nur Wahid, menjelaskan bahwa website khusus terkait informasi identitas dan tempat tinggal para eks napi kejahatan seksual anak itu dibutuhkan untuk membangun kewaspadaan orangtua untuk melindungi anak-anak mereka.

"Praktik pembuatan website seperti itu dapat mencontoh website Dru Sjodin National Sex Offender Public Website, https://www.nsopw.gov/, di Amerika Serikat. Jadi, setiap orang dapat mengetik alamat rumahnya, lalu bisa memperoleh informasi berapa dan siapa saja eks napi kejahatan seksual yang tinggal dalam radius 1 mil di sekitar rumahnya,” ujarnya.

Menurut HNW, program semacam itu sangat perlu dikembangkan oleh Kementerian PPPA untuk mendukung PP terkait eks-napi pelaku kekerasan seksual anak, sehingga upaya melindungi anak sebagai salah satu tugas utamanya dapat berjalan maksimal.

"Maka apabila Kementerian PPPA akan mengumumkannya dalam website, itu harus dilakukan secara serius dan profesional. Juga disosialisasikan dengan maksimal, agar tidak kontraproduktif,” ujarnya.

HNW mengingatkan bahwa pada tahun 2020, kejahatan seksual terhadap anak mengalami peningkatan. Berdasarkan data yang dirilis oleh KemenPPPA pada Agustus 2020, tercatat ada 4.833 kasus kejahatan terhadap anak, dan 2556 anak yang menjadi korban kejahatan seksual.

“Dan data menunjuk kejahatan tersebut meningkat di era pandemi Covid 19,” ujarnya.

Oleh karena itu, HNW juga tidak henti-hentinya untuk menyuarakan perlunya maksimalisasi perlindungan Anak melalui pemberatan hukuman bagi kejahatan luar biasa kepada anak, melalui revisi UU Perlindungan Anak, dengan mencantumkan pidana maksimal hukuman mati bagi predator seksual anak.

Ketentuan itu sangat diperlukan untuk kasus-kasus kejahatan yang sangat biadab kepada anak-anak. Misalnya, kasus pencabulan 305 anak oleh WNA Perancis beberapa waktu lalu, walau akhirnya tersangka ditemukan bunuh diri.

“Untuk kasus-kasus semacam itu pidana maksimal hukuman mati sangat diperlukan, agar menghadirkan negara yang betul-betul lindungi anak, dan menghasilkan efek jera dan preventif terhadap orang lain yang ingin melakukan kejahatan sejenis,” kata Nur Wahid.