OJK bagikan tips agar tidak terjebak fintech bodong
Jakarta (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membagikan enam kiat agar masyarakat tidak terjebak perusahaan financial technoloy (fintech) bodong atau gadungan, yang banyak ditemukan belakangan ini.
"Dengan cara ini, diharapkan teknologi finansial ilegal bisa dieliminasi," kata Analis Grup Inovasi Keuangan Digital OJK, Kurniatul Khasanah, saat webinar "Generasi Djempolan" dari Kredivo untuk anak muda di Bandung, Jumat.
Baca juga: Riset: Inovasi teknologi dorong ekonomi hijau dan berkelanjutan
Pertama, sebelum memutuskan mendaftar ke salah satu teknologi finansial, masyarakat sebaiknya memahami manfaat yang diberikan layanan tersebut dan tujuan mendaftar ke layanan.
Setelah itu, pastikan legalitas perusahaan, salah satunya mengecek apakah perusahaan tersebut sudah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
Jika legalitas perusahaan penyelenggara layanan teknologi finansial sudah jelas, masyarakat harus membaca dan memahami syarat dan ketentuan yang ditawarkan tekfin tersebut.
Calon pengguna juga sebaiknya sudah mencari tahu kinerja perusahaan itu. Selain kinerja, cek juga bagaimana reputasi perusahaan tersebut.
Bagian yang tidak kalah penting, cek apakah perusahaan teknologi finansial tersebut punya kanal pengaduan yang mudah diakses dan memberikan respons, untuk mengantisipasi jika ada masalah dengan layanan tersebut suatu hari nanti.
Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) OJK pada 2019, indeks literasi keuangan secara nasional berada di angka 38,03 persen.
Sementara itu, indeks inklusi keuangan mencapai 76,19 persen. Indikator ini naik dari 2016, sebesar 8,33 persen untuk indeks literasi keuangan dan 8,39 persen untuk indeks inklusi keuangan.
Meski pun tren naik, Kurniatul melihat tingkat kesadaran masyarakat untuk keuangan digital dan inklusi keuangan masih tergolong rendah.
Dari survei yang sama, baru 36 persen dari sekitar 12 ribuan responden yang mengetahui layanan keuangan digital.
Responden yang pernah menggunakan layanan keuangan digital baru 31,26 persen. Sebanyak 68,74 persen tidak pernah memakai layanan keuangan digital.
Mereka yang tidak pernah menggunakan layanan keuangan digital mengaku tidak butuh, tidak mengerti atau tidak percaya.
"Dengan cara ini, diharapkan teknologi finansial ilegal bisa dieliminasi," kata Analis Grup Inovasi Keuangan Digital OJK, Kurniatul Khasanah, saat webinar "Generasi Djempolan" dari Kredivo untuk anak muda di Bandung, Jumat.
Baca juga: Riset: Inovasi teknologi dorong ekonomi hijau dan berkelanjutan
Pertama, sebelum memutuskan mendaftar ke salah satu teknologi finansial, masyarakat sebaiknya memahami manfaat yang diberikan layanan tersebut dan tujuan mendaftar ke layanan.
Setelah itu, pastikan legalitas perusahaan, salah satunya mengecek apakah perusahaan tersebut sudah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
Jika legalitas perusahaan penyelenggara layanan teknologi finansial sudah jelas, masyarakat harus membaca dan memahami syarat dan ketentuan yang ditawarkan tekfin tersebut.
Calon pengguna juga sebaiknya sudah mencari tahu kinerja perusahaan itu. Selain kinerja, cek juga bagaimana reputasi perusahaan tersebut.
Bagian yang tidak kalah penting, cek apakah perusahaan teknologi finansial tersebut punya kanal pengaduan yang mudah diakses dan memberikan respons, untuk mengantisipasi jika ada masalah dengan layanan tersebut suatu hari nanti.
Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) OJK pada 2019, indeks literasi keuangan secara nasional berada di angka 38,03 persen.
Sementara itu, indeks inklusi keuangan mencapai 76,19 persen. Indikator ini naik dari 2016, sebesar 8,33 persen untuk indeks literasi keuangan dan 8,39 persen untuk indeks inklusi keuangan.
Meski pun tren naik, Kurniatul melihat tingkat kesadaran masyarakat untuk keuangan digital dan inklusi keuangan masih tergolong rendah.
Dari survei yang sama, baru 36 persen dari sekitar 12 ribuan responden yang mengetahui layanan keuangan digital.
Responden yang pernah menggunakan layanan keuangan digital baru 31,26 persen. Sebanyak 68,74 persen tidak pernah memakai layanan keuangan digital.
Mereka yang tidak pernah menggunakan layanan keuangan digital mengaku tidak butuh, tidak mengerti atau tidak percaya.