Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi I DPR RI Sukamta memandang perlu kontranarasi dalam menghadapi "pasukan siber" (cyber troop) yang memanipulasi persepsi publik dalam sejumlah narasi kebijakan pemerintah.
"Pasukan siber ini memanfaatkan keanoniman yang sangat dimungkinkan di internet dan susah dilacak serta divalidasi identitasnya. Apa yang disebarkan pasukan siber justru disinformasi karena itu penting peran diseminasi informasi yang benar sebagai kontranarasi," kata Sukamta di Jakarta, Kamis.
Ia mengemukakan hal itu terkait dengan penelitian LP3ES, Universitas Diponegoro, Universitas Islam Indonesia, Drone Emprit; University of Amsterdam dan KITLV Leiden yang dipublikasikan pada tahun 2021 yang menemukan bahwa pasukan siber berperan dalam memanipulasi persepsi publik dalam sejumlah narasi kebijakan pemerintah.
Sukamta berharap Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebagai humas harus bisa memerankan fungsi komunikasinya dengan baik dan transparan, harus seimbang dengan peran informatikanya.
Ia meminta Kominfo bisa mengomunikasikan kebijakan publik kepada masyarakat luas sehingga jangan sampai komunikasi publik yang buruk memunculkan dugaan-dugaan di benak masyarakat yang pada akhirnya masyarakat punya kesimpulan sendiri yang sering kali menjadi hoaks.
"Kehadiran pasukan siber ini memang merepotkan kita. Dia entitas yang sulit dilacak dan diketahui identitasnya, apalagi sekarang pasukan siber tidak hanya user manusia, tetapi juga bisa saja robot," ujarnya.
Ke depannya, lanjut dia, robot dengan artificial intelligence, logika algoritma, otomatisasi, bisa "mandiri" tanpa kendali manusia lagi sehingga akan lebih rumit dan repot lagi.
Sukamta mencontohkan kasus terbarudi bidang forex dan robot trading, ada kasus "kesalahan" yang dibuat robot trading sehingga para investor terkena margin call massal, yang intinya uang investor raib.
"Cara yang perlu dilakukan tentu dengan membatasi ruang gerak pasukan siber. Hal ini harus dibarengi dengan imunitas masyarakat," katanya.
Menurut dia, literasi digital harus terus digalakkan terhadap masyarakat agar bisa memilah mana konten yang positif, sehat, dan valid dengan konten yang negatif, hoaks.
Apabila literasi digital masyarakat tinggi, kata dia, tentu konten-konten disinformasi akan terminimalisasi karena kurang diminati.
"Pada akhirnya, jika kita melihat gambaran dan alur besarnya, bisa saja kehadiran pasukan siber tetap memberi dampak positif untuk demokrasi ke depannya. Kita belum tahu akhir dan ujung dari semua ini 'kan, kita masih dalam proses," ujarnya.
Ia melihat sisi positif pasukan siber bisa sebagai pemantik dan agitator diskusi dan perdebatan karena merupakan pendewasaan.
Menurut dia, pada akhirnya masyarakat akan sampai pada titik jenuh. Mereka tidak mau terlalu ribut-ribut di dunia maya sehingga akhirnya terbentuk sikap bijak dan saling menghargai.
"Kritis namun tetap konstruktif. Itu demokrasi sejati yang kita idamkan," katanya.
Berita Terkait
Panglima TNI mengoptimalkan satuan siber dan pesawat nirawak
Jumat, 1 Desember 2023 15:49 Wib
KPU sudah bentuk gugus tugas keamanan siber Pemilu 2024
Rabu, 8 November 2023 20:54 Wib
Menkominfo : Peretasan YouTube DPR terkait dengan keamanan siber
Rabu, 6 September 2023 17:42 Wib
Pengamanan Pemilu 2024, BSSN anggarkan Rp110 miliar
Selasa, 5 September 2023 23:43 Wib
Polri berencana bentuk Direktorat Siber di 9 polda
Minggu, 3 September 2023 16:15 Wib
Pengembang AI diajak bentuk sistem keamanan siber
Kamis, 10 Agustus 2023 15:29 Wib
Indonesia dan Jepang ungkap kejahatan siber peretas kartu kredit
Rabu, 9 Agustus 2023 6:53 Wib
Berikut tujuh cara cegah penipuan siber
Sabtu, 29 Juli 2023 20:20 Wib