Masyarakat Daerah Aliran Sungai Barito di Kalimantan Tengah sangat mengenal nama Panglima Batur, yang gigih melawan penjajah Belanda.
Batur bin Barui lahir tahun 1852 di Desa Buntok Baru, Kecamatan Teweh Tengah, Kabupaten Barito Utara yang merupakan desa di pinggiran Sungai Barito.
Pejuang beragama Islam itu merupakan tangan kanan pejuang lainnya bernama Sultan Muhammad Seman, anak Pangeran Antasari (Pahlawan Nasional asal Kalimantan Selatan).
Ia bersama pasukannya hanya yang hanya memiliki alat senjata sederhana melawan Belanda yang menggunakan persenjataan perang lengkap.
"Atas perjuangan melawan penjajah itulah Pemerintah Kabupaten Barito Utara mengusulkan menjadi pahlawan nasional," kata Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Barito Utara, Jainal Abidin.
Usulan tersebut sudah dilakukan sejak tahun 2010 ketika Kabupaten Barito Utara dipimpin Achmad Yuliansyah.
Saat itu sudah dibentuk Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Kabupaten Barito Utara dan Provinsi Kalteng, namun karena kepengurusan TP2GD yang lama sudah berakhir sehingga dibuat tim yang baru.
Perjalanan panjang usulan itu terus bergulir dan saat ini Bupati Barito Utara dijabat Nadalsyah kembali berupaya meneruskan usulan sebagai pahlawan nasional tersebut.
"Saat ini kami kembali membentuk Tim TP2GD yang baru dan kini masih dalam proses pembentukan yang ditangani oleh Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Barito Utara untuk menindaklanjuti dan menuntaskan usulan pahlawan nasional tersebut" kata Jainal.
Tim tersebut nantinya akan melakukan perbaikan dokumen yang sebelumnya sudah disampaikan kepada Kementerian Sosial.
Usulan Panglima Batur sebagai pahlawan nasional secara substansial sudah lengkap, tetapi harus disusun dengan sistematika sesuai ketentuan.
Di samping itu harus diadakan seminar usulan pahlawan nasional yang dihadiri pejabat dari Kementerian Sosial dan sejarawan nasional.
Usulan Panglima Batur menjadi pahlawan nasional kepada pemerintah pusat terhadap pejuang perang Barito yang terjadi tahun 1865-1905 silam itu sebagai bentuk penghormatan kepada pejuang, apalagi Panglima Batur kelahiran Kabupaten Barito Utara.
Selama ini tahapan untuk mengusulkan Panglima Batur menjadi pahlawan nasional sudah dilakukan baik seminar di kabupaten maupun provinsi.
Pemerintah Kabupaten Barito Utara juga telah membangun monumen Panglima Batur setinggi empat meter terbuat dari tembaga dengan berat 800 kilogram yang diresmikan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI George Toisutta pada 9 Maret 2010.
Monumen yang dibuat secara khusus oleh pematung I Nyoman Alim Mustapha dari Dusun Batikan Pabelan, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah di taman Seribu Riam yang terletak di depan rumah dinas bupati setempat di Muara Teweh.
Melawan Belanda
Perjuangan Panglima Batur telah dituangkan dalam buku "Jejak Langkah Perjuangan Panglima Batur" yang ditulis H Mukeri Inas. Diceritakannya, Barui, ayahanda Batur berasal dari keturunan Bakumpai Marabahan, Kalimantan Selatan.
Saat berusia 35 tahun, dia menikahi Samayap binti Kimat yang berumur 30 tahun pada tahun 1887. Istri Batur, Samayap mempunyai nama gelaran samaran Idas. Ibunda Samayap berasal dari keturunan Kapuas Kahayan orang Petak Bahandang, Kalimantan Tengah.
Kawasan yang menjadi tempat pertempuran Panglima Batur berada di sekitar Desa Buntok Baru, Butong, Lete, Mantehep (dekat Muara Teweh) bahkan sampai ke wilayah Manawing dan Beras Kuning wilayah hulu Barito.
Batur diangkat menjadi Panglima dan menjadi tangan kanan Sultan Muhammad Seman, sebagaimana Temanggung Surapati yang diangkat menjadi tangan kanan Pangeran Antasari karena telah membuktikan pengabdian dan keterampilan dalam menyelesaikan tugas yang diembannya.
Pada akhir Desember 1904, Panglima Batur dipercaya menjadi utusan Sultan Muhammad Seman menghadap Raja Pasir Kalimantan Timur meminta bantuan senjata dan mesiu untuk persiapan amunisi cadangan.
Tetapi saat, dia kembali dari Kalimantan Timur ternyata Benteng Bara Kuning telah runtuh terbakar diserang oleh Letnan dua Christoffel dan serdadu marsosenya.
Sultan Seman selanjutnya bertahan ke Benteng Kalang Barah Manyakau, saat itulah kurang lebih dari 40 hari merupakan detik-detik menjelang keruntuhan Seman penguasa tanah pegustian di Barito Hulu.
Selanjutnya Panglima Batur tetap terus bertekad mengorbankan perlawanan di wilayah Barito Tengah dengan menyusun kekuatan sendiri bersama pengikutnya di Desa Buntok Kacil.
Beberapa pembantu Batur waktu itu, Panglima Bitik Bahe (Lanjas), Demang Luntung (Pendreh), Deman Laju (Jingah), Temanggung Danom dan Angis (Montallat), Raden Joyo, Panglima Inti, Upeng dan Temanggung Jadam (Sungai Teweh) serta Panglima Bahi dan Temanggung Lawas (Sungai Lahei).
Batur meminta mereka melakukan penyerangan Benteng, penyergapan patroli Belanda serta melakukan pencegahan barang masuk terutama garam yang masuk ke wilayah Barito Tengah, maka terjadilah kekacauan, ketidakamanan, ketidaktertiban ketika itu sehingga Batur dicap sebagai pemberontak dan berbahaya yang tak mau menyerah dan tak mau diajak berunding.
Bahkan dalam sebuah operasi militer, Belanda menyerang dan membakar rumah Batur beserta keluarganya di Desa Buntok Kacil, sedangkan Batur yang bersembunyi di pondok Muara Mariak bersama ibundanya juga diserang habis-habisan.
Meski Batur dapat meloloskan diri tetapi ibundanya meninggal dunia, ibunda Batur dikuburkan di Sampanga sekitar dua kilometer dari Buntok Kacil.
Lokasi penyerangan Belanda itu kini berada di kawasan perkebunan kelapa sawit PT Antang Ganda Utama PIR Butong Kecamatan Teweh Selatan.
Pada akhirnya Batur menghadapi sandungan yang amat berat karena banyak keluarganya yang ditangkap dan dimasukkan ke penjara di Muara Teweh dan dijadikan sandera untuk memancingnya agar mau memenuhi panggilan Belanda.
Penyiksaan terhadap keluarga yang ditangkap cukup berat, bahkan sepasang pengantin yang sedang bersanding di Desa Lemo Kecamatan Teweh Tengah juga ditangkap karena pengantin wanita yang merupakan keponakan Batur dikira anak Batur.
Disamping itu ditambahkan juga berita bahwa seluruh anak laki-laki di Desa Lemo dan Buntok Kacil akan ditangkap apabila Batur tidak memenuhi panggilan ke Muara Teweh, sehingga terjadilah pertemuan antara Panglima Batur dengan saudaranya H Dumajid di Muara Pariak tempat persembunyiannya.
H Dumajid menyampaikan berita tentang penangkapan 80 orang penduduka Lemo akan terus berlanjut apabila Batur tidak memenuhi panggilan Belanda ke Muara Teweh.
Batur pun bersedia memenuhi panggilan Asisten Residen ke Muara Teweh untuk berunding tetapi nyatanya dia ditangkap oleh Letnan Christoffel dibantu Letna VH Vink pada tanggal 15 Mei 1905, dua pekan lamanya Batur memdekam di penjara Muara Teweh lalu dibawa ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Sebagai tanda kenang-kenangan bersama ketiak Panglima Batur ditangkap, maka ditanamlah pohon ulin (Eusideroxylon zwageri) di pinggiran Sungai Barito sekarang di kawasan tugu Pendopo Muara Teweh, namun sayang pohon yang berusia ratusan tahun itu ditebang.
Tunggul bekas tebangan kayu ulin itu sebagai sebagai saksi yang mengingatkan di sana dahulu Panglima Batur naik ke darat.
Batur ditahan di penjara di Banjarmasin mulai bulan Mei 1905 hingga Juni 1906, sampai dengan Landraad Marabahan, Pengadilan Tinggi Belanda di Surabaya, Jawa Timur dan Mahkamah Konstitusi Belanda di Batavia menetapkan bawah Panglima Batur bersalah atas tuduhan makar.
Atas kesalahan itu maka Pengadilan Belanda atas nama Sri Baginda Ratu Belanda memutuskan memperkuat keputusan Pengadilan Tinggi Surabaya bawah Batur dihukum gantung tahun 1906.
Dibawa ke Banjarmasin kemudian dihukum gantung dengan tuduhan makar, namun saat mau dieksekusi di tiang gantung salah satu alatnya tidak berfungsi dan saat itu rencana hukum gantung ditunda.
Seorang tentara Belanda yang menghukum gantung pejuang rakyat pedalaman Barito ini juga merupakan pelaku yang mengeksekusi pejuang rakyat Aceh yang juga pahlawan Nasional bernama Teuku Umar.
Setelah tertunda sepekan, pejuang yang dicari-cari Belanda dengan hadiah 1.000 gulden apabila tertangkap itu kembali akan dihukum gantung, namun saat itu Belanda terkejut karena Panglima Batur sudah meninggal dunia.
Jasad pejuang itu tetap dibawa ke tiang gantungan untuk diperlihatkan kepada masyarakat bahwa Panglima Batur benar-benar dihukum gantung dan jenazahnya dikubur di Kuin Banjarmasin, selanjutnya pada 21 Aril 1958 makamnya dipindahkan ke Komplek makam Pahlawan Banjar di kawasan Masjid Jami, Sungai Jingah, Banjarmasin.
Saat ini cucu buyut Panglima Batur yang masih tersisa yakni Anang Syachrani putra Khairul yang bermukim di Anjir Barunai Kilometer 18 Kabupaten Barito Kuala, Kalsel.
Anang Syachrani ketika ditanya kenapa Batur gigih menentang Belanda dia menjawab bahwa moyangnya itu berjuang demi kesetiaan sumpah bersama :"Haram menyarah waja sampai kaputing, Lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup dijajah".
Buku Sejarah
Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Barito Utara, Jainal Abidin mengatakan pemerintah di kabupaten pedalaman Kalteng itu juga telah menyusun buku sejarah tentang perjuangan Panglima Batur bersama rakyat Barito lainnya melawan Belanda.
"Data pendukung juga sebagian dihimpun langsung dari ahli waris beliau, saat ini ada yang masih hidup, serta kunjungan ke museum di negeri Belanda," katanya.
Buku sejarah perjuangan Panglima Batur dan tenggelamnya kapal Onrust yang ditulis seorang tokoh masyarakat Barito Utara, Mukri Inas yang kini menetap di Kota Malang, Jawa Timur.
Sementara mantan Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia Barito Utara, Yaser Arapat meminta Pemerintah Daerah memasukkan sejarah perjuangan Panglima Batur dan tenggelamnya kapal Onrust ke dalam mata pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah daerah aliran sungai (DAS) Barito.
"Ini merupakan salah satu rekomendasi dari bedah buku perjuangan Panglima Batur kepada Pmerintah Daerah pada beberapa waktu lalu," kata dia.
Rekomendasi lainnya, pemerintah mengusulkan Panglima Batur menjadi pahlawan nasional, merehabilitasi dan melestarikan situs-situs bersejarah perjuangan Barito, di antaranya bangkai kapal onrust yang ditenggelamkan salah seorang pejuang rakyat asal Barito, Tumenggung Surapati pada 26 Desember 1859 di kawasan Lebo Laluntung Tour, Kecamatan Teweh Tengah atau sekitar tiga kilometer selatan ibu kota Barito Utara, Muara Teweh.
Bangkai kapal yang kini tertimbun pasir dan lumpur di pedalaman Sungai Barito itu hanya dapat dilihat saat kemarau panjang.
Batur bin Barui lahir tahun 1852 di Desa Buntok Baru, Kecamatan Teweh Tengah, Kabupaten Barito Utara yang merupakan desa di pinggiran Sungai Barito.
Pejuang beragama Islam itu merupakan tangan kanan pejuang lainnya bernama Sultan Muhammad Seman, anak Pangeran Antasari (Pahlawan Nasional asal Kalimantan Selatan).
Ia bersama pasukannya hanya yang hanya memiliki alat senjata sederhana melawan Belanda yang menggunakan persenjataan perang lengkap.
"Atas perjuangan melawan penjajah itulah Pemerintah Kabupaten Barito Utara mengusulkan menjadi pahlawan nasional," kata Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Barito Utara, Jainal Abidin.
Usulan tersebut sudah dilakukan sejak tahun 2010 ketika Kabupaten Barito Utara dipimpin Achmad Yuliansyah.
Saat itu sudah dibentuk Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Kabupaten Barito Utara dan Provinsi Kalteng, namun karena kepengurusan TP2GD yang lama sudah berakhir sehingga dibuat tim yang baru.
Perjalanan panjang usulan itu terus bergulir dan saat ini Bupati Barito Utara dijabat Nadalsyah kembali berupaya meneruskan usulan sebagai pahlawan nasional tersebut.
"Saat ini kami kembali membentuk Tim TP2GD yang baru dan kini masih dalam proses pembentukan yang ditangani oleh Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Barito Utara untuk menindaklanjuti dan menuntaskan usulan pahlawan nasional tersebut" kata Jainal.
Tim tersebut nantinya akan melakukan perbaikan dokumen yang sebelumnya sudah disampaikan kepada Kementerian Sosial.
Usulan Panglima Batur sebagai pahlawan nasional secara substansial sudah lengkap, tetapi harus disusun dengan sistematika sesuai ketentuan.
Di samping itu harus diadakan seminar usulan pahlawan nasional yang dihadiri pejabat dari Kementerian Sosial dan sejarawan nasional.
Usulan Panglima Batur menjadi pahlawan nasional kepada pemerintah pusat terhadap pejuang perang Barito yang terjadi tahun 1865-1905 silam itu sebagai bentuk penghormatan kepada pejuang, apalagi Panglima Batur kelahiran Kabupaten Barito Utara.
Selama ini tahapan untuk mengusulkan Panglima Batur menjadi pahlawan nasional sudah dilakukan baik seminar di kabupaten maupun provinsi.
Pemerintah Kabupaten Barito Utara juga telah membangun monumen Panglima Batur setinggi empat meter terbuat dari tembaga dengan berat 800 kilogram yang diresmikan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI George Toisutta pada 9 Maret 2010.
Monumen yang dibuat secara khusus oleh pematung I Nyoman Alim Mustapha dari Dusun Batikan Pabelan, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah di taman Seribu Riam yang terletak di depan rumah dinas bupati setempat di Muara Teweh.
Melawan Belanda
Perjuangan Panglima Batur telah dituangkan dalam buku "Jejak Langkah Perjuangan Panglima Batur" yang ditulis H Mukeri Inas. Diceritakannya, Barui, ayahanda Batur berasal dari keturunan Bakumpai Marabahan, Kalimantan Selatan.
Saat berusia 35 tahun, dia menikahi Samayap binti Kimat yang berumur 30 tahun pada tahun 1887. Istri Batur, Samayap mempunyai nama gelaran samaran Idas. Ibunda Samayap berasal dari keturunan Kapuas Kahayan orang Petak Bahandang, Kalimantan Tengah.
Kawasan yang menjadi tempat pertempuran Panglima Batur berada di sekitar Desa Buntok Baru, Butong, Lete, Mantehep (dekat Muara Teweh) bahkan sampai ke wilayah Manawing dan Beras Kuning wilayah hulu Barito.
Batur diangkat menjadi Panglima dan menjadi tangan kanan Sultan Muhammad Seman, sebagaimana Temanggung Surapati yang diangkat menjadi tangan kanan Pangeran Antasari karena telah membuktikan pengabdian dan keterampilan dalam menyelesaikan tugas yang diembannya.
Pada akhir Desember 1904, Panglima Batur dipercaya menjadi utusan Sultan Muhammad Seman menghadap Raja Pasir Kalimantan Timur meminta bantuan senjata dan mesiu untuk persiapan amunisi cadangan.
Tetapi saat, dia kembali dari Kalimantan Timur ternyata Benteng Bara Kuning telah runtuh terbakar diserang oleh Letnan dua Christoffel dan serdadu marsosenya.
Sultan Seman selanjutnya bertahan ke Benteng Kalang Barah Manyakau, saat itulah kurang lebih dari 40 hari merupakan detik-detik menjelang keruntuhan Seman penguasa tanah pegustian di Barito Hulu.
Selanjutnya Panglima Batur tetap terus bertekad mengorbankan perlawanan di wilayah Barito Tengah dengan menyusun kekuatan sendiri bersama pengikutnya di Desa Buntok Kacil.
Beberapa pembantu Batur waktu itu, Panglima Bitik Bahe (Lanjas), Demang Luntung (Pendreh), Deman Laju (Jingah), Temanggung Danom dan Angis (Montallat), Raden Joyo, Panglima Inti, Upeng dan Temanggung Jadam (Sungai Teweh) serta Panglima Bahi dan Temanggung Lawas (Sungai Lahei).
Batur meminta mereka melakukan penyerangan Benteng, penyergapan patroli Belanda serta melakukan pencegahan barang masuk terutama garam yang masuk ke wilayah Barito Tengah, maka terjadilah kekacauan, ketidakamanan, ketidaktertiban ketika itu sehingga Batur dicap sebagai pemberontak dan berbahaya yang tak mau menyerah dan tak mau diajak berunding.
Bahkan dalam sebuah operasi militer, Belanda menyerang dan membakar rumah Batur beserta keluarganya di Desa Buntok Kacil, sedangkan Batur yang bersembunyi di pondok Muara Mariak bersama ibundanya juga diserang habis-habisan.
Meski Batur dapat meloloskan diri tetapi ibundanya meninggal dunia, ibunda Batur dikuburkan di Sampanga sekitar dua kilometer dari Buntok Kacil.
Lokasi penyerangan Belanda itu kini berada di kawasan perkebunan kelapa sawit PT Antang Ganda Utama PIR Butong Kecamatan Teweh Selatan.
Pada akhirnya Batur menghadapi sandungan yang amat berat karena banyak keluarganya yang ditangkap dan dimasukkan ke penjara di Muara Teweh dan dijadikan sandera untuk memancingnya agar mau memenuhi panggilan Belanda.
Penyiksaan terhadap keluarga yang ditangkap cukup berat, bahkan sepasang pengantin yang sedang bersanding di Desa Lemo Kecamatan Teweh Tengah juga ditangkap karena pengantin wanita yang merupakan keponakan Batur dikira anak Batur.
Disamping itu ditambahkan juga berita bahwa seluruh anak laki-laki di Desa Lemo dan Buntok Kacil akan ditangkap apabila Batur tidak memenuhi panggilan ke Muara Teweh, sehingga terjadilah pertemuan antara Panglima Batur dengan saudaranya H Dumajid di Muara Pariak tempat persembunyiannya.
H Dumajid menyampaikan berita tentang penangkapan 80 orang penduduka Lemo akan terus berlanjut apabila Batur tidak memenuhi panggilan Belanda ke Muara Teweh.
Batur pun bersedia memenuhi panggilan Asisten Residen ke Muara Teweh untuk berunding tetapi nyatanya dia ditangkap oleh Letnan Christoffel dibantu Letna VH Vink pada tanggal 15 Mei 1905, dua pekan lamanya Batur memdekam di penjara Muara Teweh lalu dibawa ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Sebagai tanda kenang-kenangan bersama ketiak Panglima Batur ditangkap, maka ditanamlah pohon ulin (Eusideroxylon zwageri) di pinggiran Sungai Barito sekarang di kawasan tugu Pendopo Muara Teweh, namun sayang pohon yang berusia ratusan tahun itu ditebang.
Tunggul bekas tebangan kayu ulin itu sebagai sebagai saksi yang mengingatkan di sana dahulu Panglima Batur naik ke darat.
Batur ditahan di penjara di Banjarmasin mulai bulan Mei 1905 hingga Juni 1906, sampai dengan Landraad Marabahan, Pengadilan Tinggi Belanda di Surabaya, Jawa Timur dan Mahkamah Konstitusi Belanda di Batavia menetapkan bawah Panglima Batur bersalah atas tuduhan makar.
Atas kesalahan itu maka Pengadilan Belanda atas nama Sri Baginda Ratu Belanda memutuskan memperkuat keputusan Pengadilan Tinggi Surabaya bawah Batur dihukum gantung tahun 1906.
Dibawa ke Banjarmasin kemudian dihukum gantung dengan tuduhan makar, namun saat mau dieksekusi di tiang gantung salah satu alatnya tidak berfungsi dan saat itu rencana hukum gantung ditunda.
Seorang tentara Belanda yang menghukum gantung pejuang rakyat pedalaman Barito ini juga merupakan pelaku yang mengeksekusi pejuang rakyat Aceh yang juga pahlawan Nasional bernama Teuku Umar.
Setelah tertunda sepekan, pejuang yang dicari-cari Belanda dengan hadiah 1.000 gulden apabila tertangkap itu kembali akan dihukum gantung, namun saat itu Belanda terkejut karena Panglima Batur sudah meninggal dunia.
Jasad pejuang itu tetap dibawa ke tiang gantungan untuk diperlihatkan kepada masyarakat bahwa Panglima Batur benar-benar dihukum gantung dan jenazahnya dikubur di Kuin Banjarmasin, selanjutnya pada 21 Aril 1958 makamnya dipindahkan ke Komplek makam Pahlawan Banjar di kawasan Masjid Jami, Sungai Jingah, Banjarmasin.
Saat ini cucu buyut Panglima Batur yang masih tersisa yakni Anang Syachrani putra Khairul yang bermukim di Anjir Barunai Kilometer 18 Kabupaten Barito Kuala, Kalsel.
Anang Syachrani ketika ditanya kenapa Batur gigih menentang Belanda dia menjawab bahwa moyangnya itu berjuang demi kesetiaan sumpah bersama :"Haram menyarah waja sampai kaputing, Lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup dijajah".
Buku Sejarah
Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Barito Utara, Jainal Abidin mengatakan pemerintah di kabupaten pedalaman Kalteng itu juga telah menyusun buku sejarah tentang perjuangan Panglima Batur bersama rakyat Barito lainnya melawan Belanda.
"Data pendukung juga sebagian dihimpun langsung dari ahli waris beliau, saat ini ada yang masih hidup, serta kunjungan ke museum di negeri Belanda," katanya.
Buku sejarah perjuangan Panglima Batur dan tenggelamnya kapal Onrust yang ditulis seorang tokoh masyarakat Barito Utara, Mukri Inas yang kini menetap di Kota Malang, Jawa Timur.
Sementara mantan Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia Barito Utara, Yaser Arapat meminta Pemerintah Daerah memasukkan sejarah perjuangan Panglima Batur dan tenggelamnya kapal Onrust ke dalam mata pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah daerah aliran sungai (DAS) Barito.
"Ini merupakan salah satu rekomendasi dari bedah buku perjuangan Panglima Batur kepada Pmerintah Daerah pada beberapa waktu lalu," kata dia.
Rekomendasi lainnya, pemerintah mengusulkan Panglima Batur menjadi pahlawan nasional, merehabilitasi dan melestarikan situs-situs bersejarah perjuangan Barito, di antaranya bangkai kapal onrust yang ditenggelamkan salah seorang pejuang rakyat asal Barito, Tumenggung Surapati pada 26 Desember 1859 di kawasan Lebo Laluntung Tour, Kecamatan Teweh Tengah atau sekitar tiga kilometer selatan ibu kota Barito Utara, Muara Teweh.
Bangkai kapal yang kini tertimbun pasir dan lumpur di pedalaman Sungai Barito itu hanya dapat dilihat saat kemarau panjang.