Jakarta (ANTARA) - Kalangan petani kakao lokal di berbagai daerah dinilai membutuhkan kebijakan pemerintah yang benar-benar dapat memberikan penjaminan kepada akses pasar terhadap hasil produksi kakao mereka.
"Petani lokal membutuhkan beberapa hal, dua di antaranya adalah perlu melakukan proses fermentasi biji kakao dan juga jalan untuk mendapatkan jaminan atas akses pasar," kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mercyta Jorsvinna Glorya di Jakarta, Jumat.
Menurut Mercyta, proses fermentasi biji kakao dinilai esensial dalam rangka mendapatkan produk turunan biji kakao yaitu bubuk kakao, sehingga proses tersebut juga dinilai akan memperluas pangsa pasar kakao produk Indonesia ke mancanegara.
Untuk itu, ujar dia, berbagai petani lokal dinilai harus diberlakukan kebijakan yang membuat mereka mendapatkan pendampingan lapangan dan informasi berdasarkan riset mengenai benih apa yang bagus untuk ditanam.
"Hal ini dilakukan agar petani-petani tersebut boleh mendapatkan sertifikasi internasional seperti UTZ & USDA Organic, dimana sertifikasi inilah yang akan menjamin bahwa produk petani-petani kakao memiliki kualitas yang tinggi dan bisa dilirik pembeli besar skala internasional," katanya.
Ia berpendapat bahwa sejumlah praktek yang dilakukan beberapa lembaga non pemerintah terhadap petani kakao dapat dijadikan evaluasi, seperti turun langsung untuk mencarikan pembeli bagi para petani.
Apalagi, Mercyta mengingatkan bahwa tanaman kakao adalah tanaman yang memiliki biaya produksi tinggi. Untuk menanam kakao pada satu hektar luas lahan, dibutuhkan 500kg pupuk dengan harga sekitar Rp5.600.000, lima liter pestisida yang harganya mencapai Rp1.400.000 dan biaya-biaya tambahan lainnya seperti bantuan buruh tani, alat-alat menggunting dan menanam, yang kira-kira membutuhkan dana sebesar Rp1.960.000.
Selain itu, ujar dia, kebanyakan yang selama ini terjadi adalah petani kakao Indonesia kerap menjual hasil produksi mereka relatif secara asal-asalan, mengingat mereka tahu persis kualitas dari biji kakao olahannya sangat rendah, diakibatkan kurangnya pemeliharan tanaman yang mereka lakukan.
Menurut data Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO), pada tahun 2017 total produksi kakao Indonesia hanya mencapai 315.000 ton/tahun. Jumlah ini menurun dari total produksi 2013, yang dilansir ASKINDO hanya mencapai angka 450.000 ton/tahun.
Sebelumnya, Atase Pertanian Indonesia untuk Belgia di Kota Brussel, Wahida, menyatakan Indonesia berkomimen untuk meningkatkan volume ekspor kakao dan produk turunannya ke Uni Eropa.
"Salah satu komoditas unggulan yang hingga saat ini memiliki trend permintaan yang meningkat adalah coklat atau kakao. Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan volume ekspor kakao dan produk turunannya yang berkualitas dan berkelanjutan," kata Wahida di Kota Brussel, Belgia, melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (2/6).
Wahida menyebutkan neraca perdagangan Indonesia untuk produk kakao dan turunannya selalu menunjukkan tren yang positif dari tahun ke tahun. Nilai ekspor kakao Indonesia ke Uni Eropa pada 2018 mencapai 215,2 juta dolar AS, atau meningkat sebesar 22 persen dibandingkan periode 2017 sebesar 201,7 juta dolar AS.
Angka ini, lanjutnya, baru 1 persen dari total nilai impor Uni Eropa (UE) untuk produk kakao dan turunannya, yang mencapai 27,4 milyar dolar AS.
Negara importir kakao ke UE terbesar adalah Pantai Gading (4 miliar dolar), Ghana (1,5 miliar dolar) dan Nigeria (672 juta dolar). Berdasarkan data yang dilansir oleh Eurostat, Uni Eropa merupakan negara pengkonsumsi kakao terbesar di dunia, yakni sebesar 8-9 kg per kapita per tahun.
"Petani lokal membutuhkan beberapa hal, dua di antaranya adalah perlu melakukan proses fermentasi biji kakao dan juga jalan untuk mendapatkan jaminan atas akses pasar," kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mercyta Jorsvinna Glorya di Jakarta, Jumat.
Menurut Mercyta, proses fermentasi biji kakao dinilai esensial dalam rangka mendapatkan produk turunan biji kakao yaitu bubuk kakao, sehingga proses tersebut juga dinilai akan memperluas pangsa pasar kakao produk Indonesia ke mancanegara.
Untuk itu, ujar dia, berbagai petani lokal dinilai harus diberlakukan kebijakan yang membuat mereka mendapatkan pendampingan lapangan dan informasi berdasarkan riset mengenai benih apa yang bagus untuk ditanam.
"Hal ini dilakukan agar petani-petani tersebut boleh mendapatkan sertifikasi internasional seperti UTZ & USDA Organic, dimana sertifikasi inilah yang akan menjamin bahwa produk petani-petani kakao memiliki kualitas yang tinggi dan bisa dilirik pembeli besar skala internasional," katanya.
Ia berpendapat bahwa sejumlah praktek yang dilakukan beberapa lembaga non pemerintah terhadap petani kakao dapat dijadikan evaluasi, seperti turun langsung untuk mencarikan pembeli bagi para petani.
Apalagi, Mercyta mengingatkan bahwa tanaman kakao adalah tanaman yang memiliki biaya produksi tinggi. Untuk menanam kakao pada satu hektar luas lahan, dibutuhkan 500kg pupuk dengan harga sekitar Rp5.600.000, lima liter pestisida yang harganya mencapai Rp1.400.000 dan biaya-biaya tambahan lainnya seperti bantuan buruh tani, alat-alat menggunting dan menanam, yang kira-kira membutuhkan dana sebesar Rp1.960.000.
Selain itu, ujar dia, kebanyakan yang selama ini terjadi adalah petani kakao Indonesia kerap menjual hasil produksi mereka relatif secara asal-asalan, mengingat mereka tahu persis kualitas dari biji kakao olahannya sangat rendah, diakibatkan kurangnya pemeliharan tanaman yang mereka lakukan.
Menurut data Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO), pada tahun 2017 total produksi kakao Indonesia hanya mencapai 315.000 ton/tahun. Jumlah ini menurun dari total produksi 2013, yang dilansir ASKINDO hanya mencapai angka 450.000 ton/tahun.
Sebelumnya, Atase Pertanian Indonesia untuk Belgia di Kota Brussel, Wahida, menyatakan Indonesia berkomimen untuk meningkatkan volume ekspor kakao dan produk turunannya ke Uni Eropa.
"Salah satu komoditas unggulan yang hingga saat ini memiliki trend permintaan yang meningkat adalah coklat atau kakao. Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan volume ekspor kakao dan produk turunannya yang berkualitas dan berkelanjutan," kata Wahida di Kota Brussel, Belgia, melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (2/6).
Wahida menyebutkan neraca perdagangan Indonesia untuk produk kakao dan turunannya selalu menunjukkan tren yang positif dari tahun ke tahun. Nilai ekspor kakao Indonesia ke Uni Eropa pada 2018 mencapai 215,2 juta dolar AS, atau meningkat sebesar 22 persen dibandingkan periode 2017 sebesar 201,7 juta dolar AS.
Angka ini, lanjutnya, baru 1 persen dari total nilai impor Uni Eropa (UE) untuk produk kakao dan turunannya, yang mencapai 27,4 milyar dolar AS.
Negara importir kakao ke UE terbesar adalah Pantai Gading (4 miliar dolar), Ghana (1,5 miliar dolar) dan Nigeria (672 juta dolar). Berdasarkan data yang dilansir oleh Eurostat, Uni Eropa merupakan negara pengkonsumsi kakao terbesar di dunia, yakni sebesar 8-9 kg per kapita per tahun.