Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi memastikan kenaikan tarif cukai rokok sebesar 23 persen pada 2020 untuk mengkompensasi tarif cukai hasil tembakau yang tidak mengalami kenaikan pada 2019.
"Tahun ini kita tidak menaikkan tarif, sehingga hitung-hitungannya tentu, kalau gampangnya adalah dua kali atau dua tahun. Sehingga ada lompatan dari 2018 ke 2020," kata Heru saat ditemui di Jakarta, Sabtu.
Heru menjelaskan kenaikan tarif cukai rokok dan harga jual eceran menjadi 35 persen ini dilakukan untuk mengendalikan konsumsi, melindungi kepentingan industri termasuk petani dan pekerja hasil tembakau serta menjaga penerimaan negara.
Meski demikian, tambah dia, penyesuaian tarif ini juga akan dilakukan berdasarkan golongan maupun jenis dari hasil tembakau tersebut mulai dari Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Tangan (SKT).
"Ini semua dipertimbangkan secara komprehensif. Memang kompleks tapi intinya bahwa pemerintah memberikan perhatian kepada industri padat karya. Sehingga korelasi atau implementasinya adalah SKT pasti tarifnya akan lebih rendah kenaikannya dari pada modal," kata Heru.
Selain itu, kebijakan tarif baru ini akan mempertimbangkan pengenaan tarif lebih rendah terhadap rokok yang lebih banyak mempunyai konten dalam negeri dibandingkan produk hasil tembakau yang menggunakan bahan baku impor.
"Rokok-rokok yang mempunyai konten lokal lebih tinggi tentunya kita akan perhatikan melalui kebijakan tarif dibandingkan dengan rokok-rokok yang dominan menggunakan konten impor. Prinsip itu yang akan diramu lebih detail," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan adanya kenaikan tarif cukai hasil tembakau sebesar 23 persen serta harga jual eceran menjadi 35 persen mulai 2020 yang akan diberlakukan sesuai Keputusan Presiden.
Sementara itu, kenaikan tarif cukai rokok, yang telah dipertimbangkan dari sisi industri, tenaga kerja, petani tembakau, pedagang eceran maupun penerimaan negara ini, sebelum periode 2018 rata-rata berkisar 10 persen-11 persen.
"Tahun ini kita tidak menaikkan tarif, sehingga hitung-hitungannya tentu, kalau gampangnya adalah dua kali atau dua tahun. Sehingga ada lompatan dari 2018 ke 2020," kata Heru saat ditemui di Jakarta, Sabtu.
Heru menjelaskan kenaikan tarif cukai rokok dan harga jual eceran menjadi 35 persen ini dilakukan untuk mengendalikan konsumsi, melindungi kepentingan industri termasuk petani dan pekerja hasil tembakau serta menjaga penerimaan negara.
Meski demikian, tambah dia, penyesuaian tarif ini juga akan dilakukan berdasarkan golongan maupun jenis dari hasil tembakau tersebut mulai dari Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Tangan (SKT).
"Ini semua dipertimbangkan secara komprehensif. Memang kompleks tapi intinya bahwa pemerintah memberikan perhatian kepada industri padat karya. Sehingga korelasi atau implementasinya adalah SKT pasti tarifnya akan lebih rendah kenaikannya dari pada modal," kata Heru.
Selain itu, kebijakan tarif baru ini akan mempertimbangkan pengenaan tarif lebih rendah terhadap rokok yang lebih banyak mempunyai konten dalam negeri dibandingkan produk hasil tembakau yang menggunakan bahan baku impor.
"Rokok-rokok yang mempunyai konten lokal lebih tinggi tentunya kita akan perhatikan melalui kebijakan tarif dibandingkan dengan rokok-rokok yang dominan menggunakan konten impor. Prinsip itu yang akan diramu lebih detail," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan adanya kenaikan tarif cukai hasil tembakau sebesar 23 persen serta harga jual eceran menjadi 35 persen mulai 2020 yang akan diberlakukan sesuai Keputusan Presiden.
Sementara itu, kenaikan tarif cukai rokok, yang telah dipertimbangkan dari sisi industri, tenaga kerja, petani tembakau, pedagang eceran maupun penerimaan negara ini, sebelum periode 2018 rata-rata berkisar 10 persen-11 persen.