Palangka Raya (ANTARA) - Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengingatkan sekaligus meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani, agar segera merevisi Peraturan Menteri Keuangan PMK 191/PMK.05/2020 tentang tarif layanan badan layanan umum badan pengelola dana perkebunan kelapa sawit (BPDPKS).
Peraturan terbaru itu hanya untuk menyokong kepentingan para pelaku industri hilir sawit melalui program besar biodiesel B30 dan memuluskan ambisi menaikkan program biodiesel ke B40, kata Sekjen SPKS Mansuetus Darto melalui rilis yang diterima di Palangka Raya, Selasa.
"Itu terbukti dengan alokasi Rp57, 72 Triliun yang sudah diterima oleh perusahaan biodiesel dari tahun 2015-2020 dari dana pungutan CPO tersebut," ucapnya.
Kemudian program biodiesel tersebut tidak ada keterkaitannya dengan kenaikan harga CPO ataupun harga TBS saat ini. Kenaikan ini justru disebabkan oleh musim dan produksi yang menyusut sehingga kebutuhan sawit meningkat, ditambah dengan pemulihan ekonomi yang sudah membaik karena COVID-19, khususnya negara negara tujuan ekspor sawit.
Darto mengatakan bagi petani sawit, peraturan PMK 191/PMK.05/2020 ini sangat merugikan karena bisa mengurangi harga TBS petani. Harga CPO itu acuan penghitungan harga TBS yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan setiap provinsi jika ada pungutan CPO yang tinggi, maka harga CPO yang menjadi acuan tadi akan rendah padahal harga CPO sebelum pungutan itu tinggi.
Misal, lanjut dia, harga CPO pada minggu ke pertama Mei 2021 sebesar US$ 1.100-1.200/ ton. Dengan harga CPO ini, jika disimulasikan dengan PMK 191/PMK.05/2020 terbaru, maka Pungutan sebesar US$ 255/ton CPO. Kondisi itu secara langsung mengurangi harga CPO menjadi acuan harga TBS petani, serta dampaknya langsung pada penurunan harga TBS petani di lapangan.
"Dengan analisis SPKS pada pemberlakuan pungutan CPO pada harga US$ 1.100-1.200/ ton pada harga TBS petani kelapa sawit. Diperoleh, dengan pungutan sebesar US$ 255/ton CPO maka pengurangan harga TBS di tingkat petani kelapa sawit sebesar Rp600-800/kg TBS para petani sawit, baik petani plasma maupun swadaya," lanjut Darto.
Baca juga: Harga CPO naik tipis menjadi Rp10.600 per kilogram
Sekjen SPKS juga mengatakan, perusahaan-perusahaan industri hilir biodiesel B30 tidak memperhatikan petani sawit. Hal ini dapat dilihat dari belum ada koperasi atau kelembagaan petani kelapa sawit di Indonesia bermitra secara langsung dengan mereka sebagai pemasok bahan baku biodiesel.
Pengecekan SPKS di Riau misalnya, di empat Kabupaten, yakni Siak, Pelalawan, Rokan Hulu, dan Kampar, petani sawit swadaya tetap saja menjual TBS kepada tengkulak dengan harga yang rendah walaupun di sekitar mereka ada perusahaan yang terlibat dalam bisnis industri hilir biodiesel B30.
"Akibatnya, petani sawit swadaya mengalami kerugian sekitar 30% dari pendapatan yang seharusnya diterima," kata Darto.
Dia juga mengatakan di tingkat pengelolaan dana yang dilakukan oleh BPDP Sawit juga tidak ada transparansi kepada publik. Bahkan di dalam kelembagaan BPDP Sawit, ada kelompok pengusaha sawit dan biodiesel duduk sebagai komite pengarah. Hal ini tentunya ini sangat mempengaruhi alokasi penggunaan dana sawit tersebut selama ini.
Untuk itu, SPKS meminta kepada Kemenkeu dan Kemenko Perekonomian untuk segera merevisi pungutan CPO melalui PMK 191/PMK.05/2020dan serta dana pungutan dialokasikan secara adil adil terutama untuk petani sawit.
"Kami juga minta transparansi penggunaan dana oleh industri sawit dan transparansi penggunaan dana di BPDPKS, sebab hingga saat ini tidak ada laporan publik terkait penggunaan dana sawit tersebut," demikian Darto.
Baca juga: Investasi asing di sektor pertanian didominasi perkebunan sawit
Peraturan terbaru itu hanya untuk menyokong kepentingan para pelaku industri hilir sawit melalui program besar biodiesel B30 dan memuluskan ambisi menaikkan program biodiesel ke B40, kata Sekjen SPKS Mansuetus Darto melalui rilis yang diterima di Palangka Raya, Selasa.
"Itu terbukti dengan alokasi Rp57, 72 Triliun yang sudah diterima oleh perusahaan biodiesel dari tahun 2015-2020 dari dana pungutan CPO tersebut," ucapnya.
Kemudian program biodiesel tersebut tidak ada keterkaitannya dengan kenaikan harga CPO ataupun harga TBS saat ini. Kenaikan ini justru disebabkan oleh musim dan produksi yang menyusut sehingga kebutuhan sawit meningkat, ditambah dengan pemulihan ekonomi yang sudah membaik karena COVID-19, khususnya negara negara tujuan ekspor sawit.
Darto mengatakan bagi petani sawit, peraturan PMK 191/PMK.05/2020 ini sangat merugikan karena bisa mengurangi harga TBS petani. Harga CPO itu acuan penghitungan harga TBS yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan setiap provinsi jika ada pungutan CPO yang tinggi, maka harga CPO yang menjadi acuan tadi akan rendah padahal harga CPO sebelum pungutan itu tinggi.
Misal, lanjut dia, harga CPO pada minggu ke pertama Mei 2021 sebesar US$ 1.100-1.200/ ton. Dengan harga CPO ini, jika disimulasikan dengan PMK 191/PMK.05/2020 terbaru, maka Pungutan sebesar US$ 255/ton CPO. Kondisi itu secara langsung mengurangi harga CPO menjadi acuan harga TBS petani, serta dampaknya langsung pada penurunan harga TBS petani di lapangan.
"Dengan analisis SPKS pada pemberlakuan pungutan CPO pada harga US$ 1.100-1.200/ ton pada harga TBS petani kelapa sawit. Diperoleh, dengan pungutan sebesar US$ 255/ton CPO maka pengurangan harga TBS di tingkat petani kelapa sawit sebesar Rp600-800/kg TBS para petani sawit, baik petani plasma maupun swadaya," lanjut Darto.
Baca juga: Harga CPO naik tipis menjadi Rp10.600 per kilogram
Sekjen SPKS juga mengatakan, perusahaan-perusahaan industri hilir biodiesel B30 tidak memperhatikan petani sawit. Hal ini dapat dilihat dari belum ada koperasi atau kelembagaan petani kelapa sawit di Indonesia bermitra secara langsung dengan mereka sebagai pemasok bahan baku biodiesel.
Pengecekan SPKS di Riau misalnya, di empat Kabupaten, yakni Siak, Pelalawan, Rokan Hulu, dan Kampar, petani sawit swadaya tetap saja menjual TBS kepada tengkulak dengan harga yang rendah walaupun di sekitar mereka ada perusahaan yang terlibat dalam bisnis industri hilir biodiesel B30.
"Akibatnya, petani sawit swadaya mengalami kerugian sekitar 30% dari pendapatan yang seharusnya diterima," kata Darto.
Dia juga mengatakan di tingkat pengelolaan dana yang dilakukan oleh BPDP Sawit juga tidak ada transparansi kepada publik. Bahkan di dalam kelembagaan BPDP Sawit, ada kelompok pengusaha sawit dan biodiesel duduk sebagai komite pengarah. Hal ini tentunya ini sangat mempengaruhi alokasi penggunaan dana sawit tersebut selama ini.
Untuk itu, SPKS meminta kepada Kemenkeu dan Kemenko Perekonomian untuk segera merevisi pungutan CPO melalui PMK 191/PMK.05/2020dan serta dana pungutan dialokasikan secara adil adil terutama untuk petani sawit.
"Kami juga minta transparansi penggunaan dana oleh industri sawit dan transparansi penggunaan dana di BPDPKS, sebab hingga saat ini tidak ada laporan publik terkait penggunaan dana sawit tersebut," demikian Darto.
Baca juga: Investasi asing di sektor pertanian didominasi perkebunan sawit