Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Ilmu Tanah IPB University Prof Dr Budi Mulyanto mengingatkan kementerian teknis agar berhati-hati dengan melakukan verifikasi secara detail, transparan, dan akuntabel dalam menindaklanjuti pernyataan Presiden terkait pencabutan hak guna usaha (HGU) perkebunan yang ditelantarkan seluas 34.448 hektare.
Pasalnya, menurut dia, di Jakarta, Jumat, HGU adalah hak atas tanah (HAT) dan bukan izin, yang didasarkan pada UU No 5 Tahun 1960 beserta peraturan-peraturan turunannya.
Karena merupakan HAT atau right, HGU perkebunan mempunyai kewenangan konstitusional yang diikuti untuk harus melaksanakan berbagai peraturan-perundangan yang berlaku dan tanggung jawab.
Baca juga: Pemerintah cabut ribuan izin tambang, kehutanan, dan perkebunan
Baca juga: Pencabutan 2.078 izin pertambangan tak produktif mulai Senin
Menurut Budi, untuk mendapatkan HGU, perusahaan perkebunan harus melalui proses perizinan panjang, salah satunya pelaksanaan izin lokasi yakni pembebasan lahan/tanah.
"Tanah tersebut juga harus bebas dari ketentuan status kawasan hutan, kayu/hasil hutan, garapan masyarakat, peta moratorium, inti plasma serta konflik perizinan," kata Budi yang juga Ketua Umum Himpunan Ilmu Tanah Indonesia ( HITI).
Jika sudah mendapat HGU, Budi setuju jika lahan tersebut sebaiknya segera ditanami kalau tidak ingin dikenai PP No 11 Tahun 2010 tentang Tanah Terlantar dan HGU dicabut.
"Hanya saja, kalau lahan tersebut sudah menjadi kebun yang bagus dan ditanami, sebaiknya tidak boleh diganggu gugat," tambahnya.
Karena itu, Budi menyarankan tindak lanjut kementerian teknis harus sangat berhati-hati dalam melakukan verifikasi detail, transparan, dan akuntabel.
Menurut dia, jika tindak lanjut pernyataan Presiden Jokowi tidak dilakukan secara berhati-hati akan berpeluang menimbulkan dampak dan kesalahanpahaman seperti ini pernah terjadi di masa lalu.
Baca juga: Indonesia terbuka bagi investor yang sejahterakan rakyat dan menjaga alam
Pemerintah, tambah Budi, juga harus bersikap tegas terhadap pihak-pihak yang dengan sengaja mem-framing seolah-olah sudah ada keputusan final terkait pencabutan lahan HGU yang kini beredar di masyarakat.
"Hiruk-pikuk pencabutan perizinan ini berpeluang menurunkan ranking ease of doing bussiness atau EODB," kata Budi.
Terpisah, pakar hukum kehutanan dan lingkungan Dr Sadino mengatakan pemerintah wajib melakukan verifikasi terkait luasan HGU perkebunan yang ditelantarkan seluas 34.448 hektare.
Hal ini, kata Sadino, karena tidak semua HGU perkebunan bisa ditanami. Ada beberapa bagian seperti lahan berpasir, lahan yang diapit sungai atau masuk dalam kawasan high conservation value (HVC) tidak bisa dan tidak boleh ditanami.
"Bahkan, di sejumlah lahan perkebunan negara masih banyak lahan yang tidak bisa ditanami karena masih berkonflik dengan masyarakat sekitar," katanya.
Sadino juga mengingatkan pemerintah tidak bisa seenaknya menindak lahan HGU tanpa verifikasi yang transparan. Pasalnya, dalam HGU ada ada amanah dari pelepasan kawasan yang ditingkatkan menjadi hak atas tanah.
"Karena telah berpindah tentunya, kewenangan final di Kementerian ATR/BPN dan bukan KLHK," jelas Sadino.
Baca juga: Gubernur Kalteng rekomendasikan penghentian perpanjangan PKP2B perusahaan tambang
Baca juga: Pemerintah cabut 2.078 izin pertambangan mineral dan batu bara
Baca juga: Bupati Kotim sebut ada 59 izin perusahaan di daerahnya turut dicabut
Pasalnya, menurut dia, di Jakarta, Jumat, HGU adalah hak atas tanah (HAT) dan bukan izin, yang didasarkan pada UU No 5 Tahun 1960 beserta peraturan-peraturan turunannya.
Karena merupakan HAT atau right, HGU perkebunan mempunyai kewenangan konstitusional yang diikuti untuk harus melaksanakan berbagai peraturan-perundangan yang berlaku dan tanggung jawab.
Baca juga: Pemerintah cabut ribuan izin tambang, kehutanan, dan perkebunan
Baca juga: Pencabutan 2.078 izin pertambangan tak produktif mulai Senin
Menurut Budi, untuk mendapatkan HGU, perusahaan perkebunan harus melalui proses perizinan panjang, salah satunya pelaksanaan izin lokasi yakni pembebasan lahan/tanah.
"Tanah tersebut juga harus bebas dari ketentuan status kawasan hutan, kayu/hasil hutan, garapan masyarakat, peta moratorium, inti plasma serta konflik perizinan," kata Budi yang juga Ketua Umum Himpunan Ilmu Tanah Indonesia ( HITI).
Jika sudah mendapat HGU, Budi setuju jika lahan tersebut sebaiknya segera ditanami kalau tidak ingin dikenai PP No 11 Tahun 2010 tentang Tanah Terlantar dan HGU dicabut.
"Hanya saja, kalau lahan tersebut sudah menjadi kebun yang bagus dan ditanami, sebaiknya tidak boleh diganggu gugat," tambahnya.
Karena itu, Budi menyarankan tindak lanjut kementerian teknis harus sangat berhati-hati dalam melakukan verifikasi detail, transparan, dan akuntabel.
Menurut dia, jika tindak lanjut pernyataan Presiden Jokowi tidak dilakukan secara berhati-hati akan berpeluang menimbulkan dampak dan kesalahanpahaman seperti ini pernah terjadi di masa lalu.
Baca juga: Indonesia terbuka bagi investor yang sejahterakan rakyat dan menjaga alam
Pemerintah, tambah Budi, juga harus bersikap tegas terhadap pihak-pihak yang dengan sengaja mem-framing seolah-olah sudah ada keputusan final terkait pencabutan lahan HGU yang kini beredar di masyarakat.
"Hiruk-pikuk pencabutan perizinan ini berpeluang menurunkan ranking ease of doing bussiness atau EODB," kata Budi.
Terpisah, pakar hukum kehutanan dan lingkungan Dr Sadino mengatakan pemerintah wajib melakukan verifikasi terkait luasan HGU perkebunan yang ditelantarkan seluas 34.448 hektare.
Hal ini, kata Sadino, karena tidak semua HGU perkebunan bisa ditanami. Ada beberapa bagian seperti lahan berpasir, lahan yang diapit sungai atau masuk dalam kawasan high conservation value (HVC) tidak bisa dan tidak boleh ditanami.
"Bahkan, di sejumlah lahan perkebunan negara masih banyak lahan yang tidak bisa ditanami karena masih berkonflik dengan masyarakat sekitar," katanya.
Sadino juga mengingatkan pemerintah tidak bisa seenaknya menindak lahan HGU tanpa verifikasi yang transparan. Pasalnya, dalam HGU ada ada amanah dari pelepasan kawasan yang ditingkatkan menjadi hak atas tanah.
"Karena telah berpindah tentunya, kewenangan final di Kementerian ATR/BPN dan bukan KLHK," jelas Sadino.
Baca juga: Gubernur Kalteng rekomendasikan penghentian perpanjangan PKP2B perusahaan tambang
Baca juga: Pemerintah cabut 2.078 izin pertambangan mineral dan batu bara
Baca juga: Bupati Kotim sebut ada 59 izin perusahaan di daerahnya turut dicabut