Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (Aspekpir) menyatakan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 01 Tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi Pekebun mampu melindungi TBS petani.
"Kami selama ini nyaman dengan adanya Permentan 01/2018 ini," kata Ketua Aspekpir Setiyono di Jakarta, Senin.
Menurut dia, kalaupun permentan tersebut direvisi tidak akan bisa mengakomodasi petani swadaya, sebab permentan tersebut memang mengatur soal kemitraan antara petani dan perusahaan.
Jika petani swadaya ingin diakomodasi dalam Permentan 01/2018, lanjutnya, mereka harus bermitra dan membentuk lembaga terlebih dahulu.
"Yang bisa masuk dalam Permentan 01/2018 itu kan harus bermitra dan berlembaga. Kalau tidak bermitra dan berlembaga, bagaimana caranya menetapkan harganya? Tapi, kalau petani swadaya tidak mau bermitra ya (pemerintah) harus bikin aturan tersendiri," kata Setiyono.
Namun, tambahnya, kalau Permentan No 01/2018 ini akan direvisi harus ditelaah sebaik mungkin.
"Jangan sampai menyelesaikan satu masalah, tapi menimbulkan masalah lain. Permentan 01/2018 itu semangatnya memang kemitraan, bukan untuk (petani swadaya)," katanya.
Pengamat industri sawit Ponten Naibaho menyampaikan bahwa Permentan No 01 Tahun 2018 sebagai dasar mekanisme penetapan harga pembelian TBS produksi pekebun masih relevan digunakan saat ini.
Guru Besar Universitas Sumatera Utara (USU) ini menjelaskan bahwa permentan ini sebagai upaya melindungi pekebun kelapa sawit dan pabrik kelapa sawit (PKS). Pekebun kelapa sawit sebagai jaminan pembelian TBS-nya, sedangkan bagi PKS sebagai jaminan pasokan bahan baku sebagai kelangsungan industrinya.
"Jelas penetapan harga dalam permentan ini berlaku untuk semua pekebun tanpa pengecualian. Jadi, tidak ada diskriminasi," katanya.
Menurut sebagian petani kelapa sawit, hal yang menjadi polemik dalam permentan ada dalam Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi bahwa "Perusahaan perkebunan membeli TBS produksi pekebun mitra melalui kelembagaan pekebun untuk diolah dan dipasarkan sesuai dengan perjanjian kerja sama secara tertulis yang diketahui oleh bupati/wali kota atau gubernur sesuai dengan kewenangan". Pasal tersebut dianggap menjadi kendala di lapangan.
Menyikapi hal ini, Ponten menjelaskan bahwa pemahaman pekebun mitra dalam pasal dimaksud, dimaknai sebagai pekebun yang melakukan kemitraan, kesepakatan atau perjanjian kerja sama tertulis dengan PKS.
"Bukan hanya pekebun plasma yang TBS-nya bisa dibeli PKS, pekebun swadaya juga bisa, sepanjang tergabung dalam gapoktan (gabungan kelompok tani) atau kelembagaan pekebun, tentu dengan ikatan perjanjian kerja sama tertulis yang diketahui oleh bupati/wali kota atau gubernur sesuai kewenangan," katanya.
Baca juga: Petani sawit perlu pahami sertifikasi berkelanjutan adalah multiguna
Ponten menyatakan perlu adanya pemahaman dan penafsiran yang sama terhadap pemaknaan norma-norma yang berlaku di Permentan 01 Tahun 2018 ini.
Permentan ini menjelaskan definisi pekebun secara umum, tidak ada diskriminasi terhadap pekebun swadaya, sepanjang TBS pekebun swadaya memenuhi kriteria dalam permentan. Sehingga, kata dia, sebenarnya tidak perlu merevisi permentan tersebut.
"Kewajiban perusahaan perkebunan harus melakukan kemitraan usaha atas dasar saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggung jawab, serta saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar perkebunan. Prinsip ini diatur dalam Pasal 57 UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang perlu dimasifkan adalah pengawasan pemerintah," katanya.
Lebih lanjut, Ponten menegaskan Permentan 01 tahun 2018 telah memenuhi kaidah hukum keperdataan mengenai jual-beli. Jual beli merupakan hubungan perdata, salah satunya harus ada kesepakatan dan tidak bisa juga dipaksakan kalau tidak ada perjanjiannya.
Menurut dia, Permentan 01 Tahun 2018 pada prinsipnya untuk mengatur tata niaga TBS pekebun sawit dengan perjanjian bahwa TBS sebagai komoditas harus memenuhi persyaratan bahan baku PKS.
Baca juga: Kotawaringin Barat mulai lakukan pengolahan limbah sawit jadi gula merah
Baca juga: Pengusaha kelapa sawit di Kalteng berkomitmen sejahterakan masyarakat
Baca juga: Gubernur Kalteng tak takut cabut izin PBS perkebunan kelapa sawit
Baca juga: Borneo forum ke-5 diskusikan isu strategis sektor kelapa sawit
Baca juga: Pemkab Bartim verifikasi CPCL pengembangan sawit masyarakat
"Jika TBS yang diterima tidak sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam perjanjian, maka PKS berhak menolak," katanya.
"Kami selama ini nyaman dengan adanya Permentan 01/2018 ini," kata Ketua Aspekpir Setiyono di Jakarta, Senin.
Menurut dia, kalaupun permentan tersebut direvisi tidak akan bisa mengakomodasi petani swadaya, sebab permentan tersebut memang mengatur soal kemitraan antara petani dan perusahaan.
Jika petani swadaya ingin diakomodasi dalam Permentan 01/2018, lanjutnya, mereka harus bermitra dan membentuk lembaga terlebih dahulu.
"Yang bisa masuk dalam Permentan 01/2018 itu kan harus bermitra dan berlembaga. Kalau tidak bermitra dan berlembaga, bagaimana caranya menetapkan harganya? Tapi, kalau petani swadaya tidak mau bermitra ya (pemerintah) harus bikin aturan tersendiri," kata Setiyono.
Namun, tambahnya, kalau Permentan No 01/2018 ini akan direvisi harus ditelaah sebaik mungkin.
"Jangan sampai menyelesaikan satu masalah, tapi menimbulkan masalah lain. Permentan 01/2018 itu semangatnya memang kemitraan, bukan untuk (petani swadaya)," katanya.
Pengamat industri sawit Ponten Naibaho menyampaikan bahwa Permentan No 01 Tahun 2018 sebagai dasar mekanisme penetapan harga pembelian TBS produksi pekebun masih relevan digunakan saat ini.
Guru Besar Universitas Sumatera Utara (USU) ini menjelaskan bahwa permentan ini sebagai upaya melindungi pekebun kelapa sawit dan pabrik kelapa sawit (PKS). Pekebun kelapa sawit sebagai jaminan pembelian TBS-nya, sedangkan bagi PKS sebagai jaminan pasokan bahan baku sebagai kelangsungan industrinya.
"Jelas penetapan harga dalam permentan ini berlaku untuk semua pekebun tanpa pengecualian. Jadi, tidak ada diskriminasi," katanya.
Menurut sebagian petani kelapa sawit, hal yang menjadi polemik dalam permentan ada dalam Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi bahwa "Perusahaan perkebunan membeli TBS produksi pekebun mitra melalui kelembagaan pekebun untuk diolah dan dipasarkan sesuai dengan perjanjian kerja sama secara tertulis yang diketahui oleh bupati/wali kota atau gubernur sesuai dengan kewenangan". Pasal tersebut dianggap menjadi kendala di lapangan.
Menyikapi hal ini, Ponten menjelaskan bahwa pemahaman pekebun mitra dalam pasal dimaksud, dimaknai sebagai pekebun yang melakukan kemitraan, kesepakatan atau perjanjian kerja sama tertulis dengan PKS.
"Bukan hanya pekebun plasma yang TBS-nya bisa dibeli PKS, pekebun swadaya juga bisa, sepanjang tergabung dalam gapoktan (gabungan kelompok tani) atau kelembagaan pekebun, tentu dengan ikatan perjanjian kerja sama tertulis yang diketahui oleh bupati/wali kota atau gubernur sesuai kewenangan," katanya.
Baca juga: Petani sawit perlu pahami sertifikasi berkelanjutan adalah multiguna
Ponten menyatakan perlu adanya pemahaman dan penafsiran yang sama terhadap pemaknaan norma-norma yang berlaku di Permentan 01 Tahun 2018 ini.
Permentan ini menjelaskan definisi pekebun secara umum, tidak ada diskriminasi terhadap pekebun swadaya, sepanjang TBS pekebun swadaya memenuhi kriteria dalam permentan. Sehingga, kata dia, sebenarnya tidak perlu merevisi permentan tersebut.
"Kewajiban perusahaan perkebunan harus melakukan kemitraan usaha atas dasar saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggung jawab, serta saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar perkebunan. Prinsip ini diatur dalam Pasal 57 UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang perlu dimasifkan adalah pengawasan pemerintah," katanya.
Lebih lanjut, Ponten menegaskan Permentan 01 tahun 2018 telah memenuhi kaidah hukum keperdataan mengenai jual-beli. Jual beli merupakan hubungan perdata, salah satunya harus ada kesepakatan dan tidak bisa juga dipaksakan kalau tidak ada perjanjiannya.
Menurut dia, Permentan 01 Tahun 2018 pada prinsipnya untuk mengatur tata niaga TBS pekebun sawit dengan perjanjian bahwa TBS sebagai komoditas harus memenuhi persyaratan bahan baku PKS.
Baca juga: Kotawaringin Barat mulai lakukan pengolahan limbah sawit jadi gula merah
Baca juga: Pengusaha kelapa sawit di Kalteng berkomitmen sejahterakan masyarakat
Baca juga: Gubernur Kalteng tak takut cabut izin PBS perkebunan kelapa sawit
Baca juga: Borneo forum ke-5 diskusikan isu strategis sektor kelapa sawit
Baca juga: Pemkab Bartim verifikasi CPCL pengembangan sawit masyarakat
"Jika TBS yang diterima tidak sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam perjanjian, maka PKS berhak menolak," katanya.