Palangka Raya (ANTARA) - Anggota DPD RI Agustin Teras Narang menyatakan bahwa informasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, capaian program perhutanan sosial sampai sekarang ini baru 6,3 juta hektar atau kurang dari 50 persen dari target Nasional yang mencapai 12,7 juta hektar.
Rendahnya capaian perhutanan sosial itu juga terjadi di Kalteng baru 400 ribu hektar dari 1,2 juta hektar yang ditargetkan, kata Teras Narang usai mengikuti rapat Komite II DPD RI bersama Kemen LHK dan akademisi Institut Pertanian Bogor dan Lembaga Bantuan Hukum, melalui pesan singkat diterima di Palangka Raya, Selasa.
"Artinya ada langkah yang masih harus digarap dan dioptimalkan, agar kuota Perhutanan Sosial yang mestinya bisa dinikmati oleh masyarakat tani, khususnya masyarakat adat, dapat segera terealisasi," ucapnya.
Berdasarkan Undang-undang nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU PLP2B), perhutanan terbuka ruang untuk agenda pertanian pangan berkelanjutan lewat berbagai program, termasuk perhutanan sosial. Namun pada sisi lain, lahan pertanian yang subur juga makin banyak dikonversi menjadi lahan industri lain.
Teras Narang mengatakan, meluasnya konversi lahan akibat banyak tantangan dalam sektor pertanian, termasuk sulitnya mendapatkan pupuk hingga kredit usaha rakyat. Belum lagi tantangan eksternal yang menyulitkan petani, misalnya fluktuasi harga komoditas hingga el nino dengan gejala kekeringan yang mengancam.
"Sementara isu ketahanan dan kedaulatan pangan merupakan isu strategis kita hari ini. Secara global, ancaman krisis pangan di tengah perubahan iklim juga semakin terbuka," kata dia.
Menurut Mantan Gubernur Kalteng periode 2005-2015 itu, ketersediaan lahan pertanian pangan berkelanjutan menjadi penting dengan berbagai riset pengembangan dan pendanaan tata kelolanya. Untuk itu, dirinya berharap pemerintah pusat bersama daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota se-Indonesia, kembali merujuk pada UU PLP2B dalam menyokong agenda ketahanan pangan.
"Pembangunan program satu peta kebijakan atau one map policy, mestinya bisa dibangun secara serius. Dengan demikian perencanaan lumbung pangan yang ada akan tetap berjalan sesuai ketentuan yang berlaku dan dapat dipertanggungjawabkan hasil evaluasinya" kata Teras Narang.
Baca juga: Matangkan demokrasi, Indonesia perlu tujuh kali pemilu secara berturut-turut
Selain itu, lanjut dia, isu strategis lain yang perlu diperhatikan pemerintah adalah lewat evaluasi total tata kelola pertanian nasional dari hulu ke hilir. Mulai dari soal ketersediaan pupuk, perlindungan harga komoditas dan kesejahteraan petani, hingga soal regenerasi petani milenial. Kemudian masalah keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, untuk mencapai kesejahteraan rakyat perlu lebih mendapat perhatian yang lebih lagi.
"Pada implementasi kebijakannya yang berdampak positif. Bukan semata pada nama proyek atau luas lahannya. Inilah pekerjaan besar negara kita, yang berideologi konstitusi dan Pancasila," demikian Teras Narang.
Baca juga: Palangka Raya jadi wadah KGM PGI bahas kondisi sospol terkini
Baca juga: Celah hukum harus dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat banyak
Baca juga: Program KEK perlu dievaluasi secara menyeluruh
Rendahnya capaian perhutanan sosial itu juga terjadi di Kalteng baru 400 ribu hektar dari 1,2 juta hektar yang ditargetkan, kata Teras Narang usai mengikuti rapat Komite II DPD RI bersama Kemen LHK dan akademisi Institut Pertanian Bogor dan Lembaga Bantuan Hukum, melalui pesan singkat diterima di Palangka Raya, Selasa.
"Artinya ada langkah yang masih harus digarap dan dioptimalkan, agar kuota Perhutanan Sosial yang mestinya bisa dinikmati oleh masyarakat tani, khususnya masyarakat adat, dapat segera terealisasi," ucapnya.
Berdasarkan Undang-undang nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU PLP2B), perhutanan terbuka ruang untuk agenda pertanian pangan berkelanjutan lewat berbagai program, termasuk perhutanan sosial. Namun pada sisi lain, lahan pertanian yang subur juga makin banyak dikonversi menjadi lahan industri lain.
Teras Narang mengatakan, meluasnya konversi lahan akibat banyak tantangan dalam sektor pertanian, termasuk sulitnya mendapatkan pupuk hingga kredit usaha rakyat. Belum lagi tantangan eksternal yang menyulitkan petani, misalnya fluktuasi harga komoditas hingga el nino dengan gejala kekeringan yang mengancam.
"Sementara isu ketahanan dan kedaulatan pangan merupakan isu strategis kita hari ini. Secara global, ancaman krisis pangan di tengah perubahan iklim juga semakin terbuka," kata dia.
Menurut Mantan Gubernur Kalteng periode 2005-2015 itu, ketersediaan lahan pertanian pangan berkelanjutan menjadi penting dengan berbagai riset pengembangan dan pendanaan tata kelolanya. Untuk itu, dirinya berharap pemerintah pusat bersama daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota se-Indonesia, kembali merujuk pada UU PLP2B dalam menyokong agenda ketahanan pangan.
"Pembangunan program satu peta kebijakan atau one map policy, mestinya bisa dibangun secara serius. Dengan demikian perencanaan lumbung pangan yang ada akan tetap berjalan sesuai ketentuan yang berlaku dan dapat dipertanggungjawabkan hasil evaluasinya" kata Teras Narang.
Baca juga: Matangkan demokrasi, Indonesia perlu tujuh kali pemilu secara berturut-turut
Selain itu, lanjut dia, isu strategis lain yang perlu diperhatikan pemerintah adalah lewat evaluasi total tata kelola pertanian nasional dari hulu ke hilir. Mulai dari soal ketersediaan pupuk, perlindungan harga komoditas dan kesejahteraan petani, hingga soal regenerasi petani milenial. Kemudian masalah keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, untuk mencapai kesejahteraan rakyat perlu lebih mendapat perhatian yang lebih lagi.
"Pada implementasi kebijakannya yang berdampak positif. Bukan semata pada nama proyek atau luas lahannya. Inilah pekerjaan besar negara kita, yang berideologi konstitusi dan Pancasila," demikian Teras Narang.
Baca juga: Palangka Raya jadi wadah KGM PGI bahas kondisi sospol terkini
Baca juga: Celah hukum harus dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat banyak
Baca juga: Program KEK perlu dievaluasi secara menyeluruh