Palangka Raya (ANTARA) - Tim dosen dan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Palangkaraya (UMPR) melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat (PkM) bertajuk “Sosialisasi Adaptasi Budaya dalam Pelestarian Kesenian Karungut di Kota Palangka Raya”.
"Kegiatan ini kami laksanakan pada Sabtu (6/12) kemarin di area Taman Pasuk Kameloh," kata Ketua Tim PkM UMPR Dr Saipul SSos MAP di Palangka Raya, Selasa.
Pada program tersebut, Dosen Program Studi Administrasi Publik, Fisipol UMPR ini turut didampingi angota peneliti Hamberi MSi serta enam mahasiswa.
Saipul mengatakan, program PkM ini bertujuan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya adaptasi budaya sebagai strategi menjaga keberlanjutan kesenian tradisional, khususnya Karungut yang menjadi identitas budaya masyarakat Dayak.
Dalam kegiatan tersebut, tim UMPR memberikan penjelasan mengenai dinamika adaptasi budaya Karungut yang terus berkembang dari generasi ke generasi.
Karungut yang awalnya bernuansa sakral dalam ritual adat kini telah merambah ke ruang publik seperti Car Free Day (CFD), sekolah, hingga media digital.
“Adaptasi budaya bukan berarti menghilangkan tradisi, tetapi cara agar seni terus hidup dan dikenal luas, terutama oleh generasi muda,” jelas Dr Saipul.
Dia mengatakan, Sesi diskusi interaktif bersama pegiat seni Karungut juga digelar untuk membahas tantangan modernisasi, seperti penggunaan alat musik keyboard dan perubahan preferensi seni di kalangan anak muda.
Menurut Saipul, antusiasme lintas etnis dan usia membuktikan bahwa Karungut masih memiliki ruang yang besar untuk berkembang.
“Banyak anak muda yang tertarik setelah melihat bagaimana Karungut bisa tampil lebih modern tanpa meninggalkan nilai-nilai lokal,” ujarnya.
Kegiatan ini juga menghasilkan sejumlah rekomendasi, antara lain penyelenggaraan event bulanan, lomba Karungut tingkat sekolah, serta penguatan digitalisasi melalui media sosial agar seni tradisi lebih mudah diakses generasi muda.
Tim pengabdian mencatat beberapa kendala, seperti kurangnya fasilitas pendukung seni tradisional dan minimnya perhatian pemerintah terhadap kesenian selain tari.
Meski begitu, kegiatan ini berhasil membuka ruang kolaborasi antara komunitas seni, lembaga pendidikan, dan masyarakat untuk terus menjaga eksistensi Karungut di tengah arus globalisasi.